Tampilkan postingan dengan label Lombok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lombok. Tampilkan semua postingan

Cerita Singkat Di Kota Tua Ampenan

Kota, tua, Ampenan, lombok, Nusa tenggara, barat
Salah satu ruas jalan Kota Tua Ampenan

Pertama kali menginjak Pulau Lombok, to be honest, I had no idea at all what to do other than staying in one of the Gili's. Setelah kapal berhenti di pelabuhan Lembar, Lombok Barat, saya langsung keluar pelabuhan dan disambut dengan banyaknya bapak-bapak yang menawarkan mobil travel menuju Mataram. Setelah berjalan cukup jauh, sekitar 2 kilometer dari pelabuhan, akhirnya saya bisa menemukan angkutan umum jurusan Mataram. Entah sebuah kebetulan atau gimana, I Googled apa-apa yang menarik di sini dan tibalah di Kota Tua Ampenan.

I went there sekitar dua minggu sebelum gempa besar Lombok tahun 2018. Singkat sekali waktu yang dihabiskan di sini. Menurutku Kota Tua Ampenan tidak kalah bagus dengan kawasan kota tua di daerah lain. Di sini banyak bangunan tua dan peninggalan kolonial, beberapa ruas jalan jarang dilewati kendaraan sehingga cukup nyaman untuk dijelajahi hanya dengan jalan kaki. 

Banyak toko-toko yang jual makanan di kawasan ini. Saya mencoba mencicipi salah satu kedai mie dengan citarasa oriental. Bangunan-bangunan tua bagus sekali untuk dijadikan objek fotografi. Yang menarik di sini adalah masyarakatnya yang heterogen. Ada Jawa, Tionghoa, Bugis bermukim di sini, di samping suku-suku lainnya. Mungkin karena dulu kawasan ini adalah pelabuhan / dekat dengan laut, di mana kontak langsung dengan dunia luar terjadi melalui perdagangan.

Signage, penunjuk jalan, Kota Tua Ampenan, Lombok, nusa tenggara, barat
Penunjuk jalan dengan 3 bahasa di Kota Tua Ampenan, Lombok

Selain itu, saya menemukan signage jalan yang menggunakan aksara Latin, huruf Jawi dan aksara Bali. Di signage itu tertulis "Jl. Niaga" dalam huruf Latin dan Bali yang masing-masing bisa saya baca dan pahami. Tapi, untuk huruf Jawi hanya bisa membaca Niaga saja. Kata pertama mungkin bahasa Sasak atau bahasa lainnya. I'm not sure

Jujur, ingin sekali mengunjungi kota tua ini sekali lagi. Menghabiskan beberapa hari, melihat dinamika aktivitas keseharian dan merasakan beberapa kuliner yang belum sempat saya coba. Tak lupa, matahari sore sayang untuk dilewatkan menyambut senja. Semoga.

Share:

Melihat Upacara Ngaben Di Lombok

Ngaben, HIndu, Bali, Bakar, Jenazah
Pembakaran jenazah saat upacara Ngaben di Lombok


Mungkin judulnya mengundang tanya “Lho kok bisa di Lombok? Bukannya di Bali?” tapi begitulah ceritanya. Anyway di sini saya mau bercerita tentang pengalaman melihat prosesi Ngaben dan kesan yang saya tangkap dari prosesi tersebut. 

Sebenarnya awal dari semua ini tidak direncanakan alias kebetulan. Berawal dari perjalanan dengan kapal laut dari Labuan Bajo menuju Bali, tapi di tengah perjalanan ketika kapal berlabuh sebentar di Pelabuhan Lembar, Lombok, saya akhirnya memutuskan untuk turun saja, karena memang saya belum pernah ke Lombok. Kebetulan itu dilanjutkan dengan saya memesan kamar di penginapan di Kota Mataram dengan memilih harga yang terjangkau (sesuai kantong), dan kebetulan pada saat check-in itulah, di depan penginapan tersebut ada acara yang membingungkan. Sekilas seperti pagelaran budaya tapi sesaat kemudian saya mengerti bahwa ternyata bukan. Saya bertanya kepada pemilik penginapan dan ia menjawab bahwa mereka mengadakan Ngaben. Wow, what a coincidence!

Apa itu Ngaben?

Ngaben sendiri adalah prosesi pembakaran jenazah yang dilakukan oleh umat Hindu Bali, yang bertujuan untuk menyucikan roh yang telah meninggal dan mempercepat proses kembalinya jasad yang telah meninggal ke alam asalnya.

Mungkin karena factor kedekatan geografis, di Lombok, terutama di Kota Mataram juga terdapat komunitas Hindu Bali yang jumlahnya cukup signifikan. Jadi tidak mengherankan apabila di sini pun kita bisa menyaksikan Ngaben. Tentunya, faktor keberuntungan juga berperan karena we’ll never know exactly when it will be held, not to mention as a visitor. Jadi, saya merasa sangat beruntung sekali.

Prosesi Ngaben

Prosesi Ngaben yang saya saksikan mulai dari prosesi di rumah keluarga yang sedang berduka, arak-arakan jenazah sampai akhirnya menuju tempat dilangsungkannya pembakaran jenazah. Saat prosesi di rumah duka saya hanya melihat dari teras penginapan, dan mereka memainkan kidung atau mungkin doa diiringi dengan alunan music tradisional Bali. Selanjutnya adalah prosesi pengarakan jenazah. Semua ikut serta mengantarkan jenazah, lengkap dengan alat music dan sesaji untuk ritual nantinya. 

Yang menarik adalah jenazah ditempatkan di sebuah peti (yang terlihat seperti tempat tidur, jujur saja) ditemani oleh anak laki-laki (kurang tahu pasti anak tertua atau bungsu. Ada yang tahu?) dan ditandu bersama-sama oleh para pria dewasa dan trust me ini bukan hal yang biasa ditemui. Mereka menghabiskan waktu beberapa menit saat di perempatan jalan melakukan ritual dengan tetap peti jenazah mereka pikul. Jarak dari rumah duka ke tempat Ngaben kurang lebih 2-3 kilometer. Jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki ditambah harus memikul jenazah. Tapi itulah letak semangat kekerabatan dan kegotongroyongan yang saya lihat. Mereka sangat menjaga itu. Atau mungkin, bisa dikatakan mereka menjaga nilai agama dan budaya Bali dan dengan sendirinya solidaritas itu tergambarkan dari rangkaian ritual Ngaben tersebut. 

Ngaben, Hindu, Bali, Bakar, Jenazah
Jenazah dibawa ke tempat pembakaran prosesi Ngaben di Lombok

Sesampainya di tempat pembakaran, doa dilantunkan dan music tradisional Bali pun dimainkan. Sebelumnya saya meminta izin kepada pihak keluarga apakah saya bisa melihat sedikit lebih dekat dan apakah saya boleh merekam / mengambil gambar seperti halnya yang lain lakukan. Dan syukurlah mereka mengizinkan. Anyway, tidak mudah untuk melakukan Ngaben ini karena banyak pertimbangan, seperti pemilihan hari yang baik yang, bahkan, bahkan bisa memakan waktu berhari-hari.

Jenazah diletakkan di tempat pembakaran. Doa-doa dilantunkan oleh pendeta. Dan tiba saatnya pembakaran jenazah. Yang mengejutkan adalah bahwa yang saya lihat tidak sepenuhnya seperti yang saya lihat di televisi atau video, di mana jenazah diletakkan di tumpukan kayu bakar yang tinggi. Melainkan, jenazah diletakkan di atas tumpukan kayu (sedikit saja), di dalam sebuah kolom yang terbuat dari semen sebagai pembatas dan selanjutnya pembakaran menggunakan LPG. Ya, saya juga sempat terkejut. Jadi tabung LPG melon dihubungkan ke pipa yang selanjutnya akan mengeluarkan api yang bisa diarahkan dengan tangan. Mungkin untuk efisiensi dengan tidak menghapus esensi. I mean, all needed was ash, wasn’t it?

It was my very first time to see in person how a dead body was burnt. Beneran, pertama lihat jasad dibakar dan sempat nggak tega awalnya tapi karena dari awal sudah tahu akan berakhir seperti itu jadi lebih cepat tenang. That's the tradition and there's philosophy in it and it's deep. Ada yang menanyakan kepada saya “Apa tercium bau seperti daging bakar atau sejenisnya?” dan bisa dibilang tidak ada bau semacam itu. I expected that too to be honest but luckily no such thing smelled.

Setelah prosesi pembakaran jenazah, abu akan dilarung ke laut. Namun sayang saya tidak bisa mengikuti prosesi tersebut karena keterbatsan waktu. Somehow, berkesempatan menyaksikan prosesi sampai dengan pembakaran jenazah aja sudah privileged.


Share: