Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

NadiA

         

“Kamu ga bakalan marah kan, Fad?” Kedengarannya begitu serius, pikirku. Aku memainkan sedotan, memutar-mutarnya dalam gelasku. Sedangkan Nadia memegang erat-erat gelas minumannya seakan-akan itu adalah piala Oscar pertamanya. Memang, dari tadi Nadia tampak tidak seperti biasanya. Tingkah lakunya, gaya bicaranya, atau yang lain. Yang masih terlihat sama darinya adalah penampilannya. Dengan memakai tanktop putih bergambar lidah Rollingstones, dan celana pendek jeans Volcom yang memperlihatkan kakinya yang putih dan panjang, serta sandal santai hitam berhiaskan manik-manik kesayanganya, ditambah wajah Indo-nya, praktis orang akan menganngap dia bule nyasar di CafĂ© Borneo tempat kami nongkrong sekarang.


            “Fadil, kok malah diem sih?” Ia beralih memainkan rambut ikal cokelatnya dengan jari telunjuknya.


            “ Ya nggak lah, Nad. Lagian kamu serius gitu. Jadi bingung, tau?”


           Ia menatapku. Terlihat jelas bola matanya yang berwarna hijau kecokelatan—dulu saat masa orientasi di kampus aku sempat mengira dia memakai soft lens—sampai ia berkata, “ Aku lesbian.”


            Aduh! Sama sekali di luar dugaan, itulah hal pertama yang terlintas dalam benakku.  Cewek yang selama ini berteman sangat akrab denganku ternyata anti laki-laki. Parahnya lagi, aku tidak menyadari hal itu. Sudah lah, bukan saatnya untuk mrnghakimi atau bersikap sinis terhadapnya. Dia ngomong begitu karena dia percaya sama aku. Itulah yang terpenting. Apakah aku harus menghindari dia, sementara ia sudah bersikap terbuka, berkata jujur, ngasih kepercayaan kepadaku tentang hal paling pribadi dalam dirinya? Bukankah itu berarti aku egois, dan itu ga etis? Benar, kan?


            Selama ini aku dan Nadia adalah teman dekat. Sahabat dekat, lebih tepatnya. Dia adalah treman sekelasku di kampus. Kami satu angkatan. Namun bukan karena itu sebenarnya kami dekat. Kedekatan kami berawal ketika aku sedang makan siang di rumah makan Sunda di dekat kampus.  Kebetulan aku lihat dia sedang asik selfie. Mungkin karena sama-sama sendirian, aku coba sapa dia sekedar basa-basi, dan kami pun berkenalan. Keesokan harinya kami mulai menceritakan tentang kebiasaan, hobby sampai kebiasaan masing-masing. Semenjak itulah kami semakin dekat.


            Nadia adalah cewek berdarah Jawa-Rumania, yang lebih kelihatan Rumania-nya ketimbang Jawa-nya. Nadia Demetra Harjoabdi, dengan tinggi 172cm –hanya terpaut satu sentimeter lebih tinggi dariku—banyak teman di kampus menganggap kami adalah pasangan serasi. Bahkan cowok-cowok lain  enggan mendekati Nadia—atau cewek-cewek lain enggan mendekatiku, ah...—karena mengira kami pacaran. Padahal kami sama-sama mahasiswa yang sangat santai menjalani hidup, ga terlalu repot dengan masalah pasangan atau yang lain semacam itu.


            Nadia bukan tipe cewek pecinta Limp Bizkit atau Jimmy Hendrix. Dia juga bukan aktivis feminisme yang –katanya–anti laki-laki. Dia justru feminine, seperti cewek-cewek lain. Manja, suka diperhatikan, mempermasalahkan rambutnya. Cewek banget lah.


            Pernah suatu sore saat kami pulang bareng aku bertanya padanya apakah dia ga merasa sendiri. Gampangnya, apakah dia tidak ingin menjalin hubungan serius dengan cowok-cowok keren di kampus.


            “Bukannya kita dah sama-sama tahu kalau kita ga repot-repot dengan masalah begituan?” jawabnya ringan.


            “Tapi coba lihat, banyak cowok di kampus yang berharap sama kamu. Andry misalnya. Tahu sendiri lah,siapa sih yang ga kenal dia. Dan tahu juga kan, dia suka sama kamu. Belum lagi Rama, trus anak HI angkatan atas. Apa di antara mereka ga ada yang cocok buat kamu?” tanyaku.


            “Kalo mereka ga ada yang cocok sama aku, apa kamu mau pacaran sama aku?” Tawaran yang bagus, batinku.


            “ Kalo kamu mau, kenapa nggak?” jawabku ga tanggung-tanggung.


“Tai bener lo!” Kami berdua tertawa sepanjang perjalanan pulang sore itu.


Namun saat ini terjawab sudah mengapa di antara cowok-cowok yang menyukainya tidak seorang pun yang cocok baginya, mengapa ia selama ini memberikan harapan kosong kepada mereka.


“ Kamu ga bakalan jauhin aku kan, Fadil?” lanjutnya. Ia masih menatapku.


”Hey,” jujur, aku masih ngerasa ”gimana ya” menyadari kalau dia seorang lesbian. ” Ga lah, Nad. At least aku ga perlu khawatir tentang gosip kalo kita bener-bener pacaran.”


Dia masih terlihat gugup, bingung seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri,”Kenapa bego banget ya aku ngomong terus terang ke dia?


” Tenang, I’ll keep it in secret, okay?” janjiku.


Dia menjadi sedikit santai. Tatapan seriusnya pun hilang, digantikan senyuman manis wajahnya.


”Eh,” aku mencoba menghangatkan suasana, ”Temen-temenku di Skype cantik-cantik, gila bener deh. Mau aku kenalin? Ada kok e-mail-nya, ato langsung nomor telepon, barangkali?” godaku.


Oh, please.... I need it, honey.” Bahkan sifat manjanya sudah nampak kembali.


I love you, Fadil...” Dengan rengekan yang keras dan manja itu ia mengatakannya padaku. Semua mata tertuju pada meja kami. Maksudku, pada kami berdua. Aku tahu kalau kata L itu berarti ga lebih dari seorang sahabat. Aku tahu semua orang menatap dengan iri kepada kami berdua. Terutama cowok-cowok yang menatapku seakan-akan berkata ”Huh. Sok pamer mentang-mentang punya pacar cantik keturunan Indo. Basi lo!” Padahal...ck..ck..ck..!!!


Share:

Ramadan, Vicky & Helm

Click. Click.


Aku menekan “shut down” di monitor dan bergegas pulang. Senang banget kalau Ramadan seperti ini karena jam kerja berkurang satu jam, yang biasanya pulang jam 5 sekarang menjadi jam 4 sore.

“Pulang pulang!” aku membaca pesan Whatsapp dari Vicky.

“Ni lg beres2 mau balik” jawabku singkat, tak lupa dengan ikon sepeda motor di akhir pesan dan melanjutkan “how’s ur day, buddy?”

“A mess! I hate Ramadan. Gak produktif” begitulah Vicky. Dia kadang sangat kontroversial dan ektrim. Sebenarnya aku mau benanyakan “why?” tapi kulihat ada tulisan “typing…” Oh, dia pasti sangat kesal.

“masa td ksana jam10 aja udh gk ada. Okay lah maybe meeting or smthing. But still, jam stgh 2 udh bubar jalan. Sepi itu kntor. Gila aja kyknya sbulan ini gak krja gt deh,” balasnya

Maksud dia adalah kantor pemerintahan. Bisa dimaklumi Vicky bekerja sebagai sales executive di salah satu hotel di sini dan dia in charge untuk segmen government.

“Emg gk bsa ditelpon, buddy?” aku membalas. “Buddy” adalah versi lain dari “sayang” di antara kami. Lucu sekali sebenarnya, namun, semenjak aku kenal dia di acara D&D perusahaan tahun lalu, rasanya kami seperti sudah puluhan tahun berhubungan.

“Gk dtlpon pun hrusnya ada donk. I mean, staff mreka aja bilng sudh pulang. Sklian safari Ramadan lah apalah. Males bgt. Wajar sih. I mean, gk bulan puasa aja kdg pulang cepet, aplg Ramadan gni. Susah deh klo Ramadan dijadiin excuse.” Balasnya panjang lebar.

“Sabar ya J” aku coba menghibur.

Tapi memang ada benarnya kata Vicky. Ramadan seringkali dijadikan excuse oleh beberapa pegawai di instansi. Maksudku, gimana nggak, bahkan hari biasa aja mereka kadang pulang lebih cepat, apalagi bulan puasa kayak gini. Pasti lah. Ironis memang.

Aku melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 4.15. Masih cukup untuk mempersiapkan buka puasa di rumah. Maksudku, beli takjil dan kroni-kroninya, tentunya, karena entah bagaimana deretan makanan yang dijajakan sepanjang jalan menjelang maghrib itu sangat menggoda dan seringkali memenuhi pikiran selama berpuasa. Kolak pisang, bubur kacang merah, kacang hijau, es cendol, sup buah, jajanan pasar, cake, es pisang ijo, kurma—dan masih banyak lagi—akan ludes dalam waktu 2 jam menjelang maghrib. Bagaimana Ramadan menjadi peluang bisnis musiman yang sangat menjanjikan karena tingkat konsumerisme masyarakat meroket, seakan beruang yang baru selesai hiberasi dan mendapati rombongan salmon melompat-lompat indah di sungai ketika mereka bangun. Kadang aku menyayangkan bagaimana Ramadan menjadi seperti festival kuliner dan diskon besar-besaran selama sebulan, bukan lagi pada esensi puasa itu sendiri. Tapi, bukannya perayaan keagamaan sekarang seperti itu?

Anyway, aku bekerja di salah satu perusahaan di bidang engineering di Batam, sebuah pulau yang hanya berjarak 20 mil saja dari Singapore namun memiliki perbedaan 20 tahun kebelakang secara infrastruktur, sosial dan ekonomi. Mungkin sedikit membingungkan, tapi sedikit bocoran aja bahwa tempatku bekerja ini memproduksi integrated circuit untuk industry otomotif.

Aku keluar kantor dan langsung menuju area parkir motor. Ternyata mendung menggantung sore ini di atas Batam, seakan siap menumpahkan segala isinya dalam beberapa saat. Aku bergegas menghampiri Scoopy putihku berhiaskan bendera Jepang saat Perang Dunia II di kedua sisinya. Itu semua ulah adikku. Di tambah lagi stiker bergambar seperti keong di kedua spion yang ternyata adalah lambang Naruto. Dan keong-keong itu tumpah ruah di helm bersama dengan stiker Hello Kitty—demi Tuhan!

Ngomong-ngomong, di mana helmku? Aku mencari dan bertanya kepada karyawan lainnya yang berada di sana. Karena tidak membuahkan hasil, aku menuju pos security karena pasti di sana ada CCTV kan? Namun ternyata yang kudapat adalah jawaban “tidak tahu”. Mungkin karena mereka terlalu sibuk dengan The Voice di YouTube. Sialan.

Percuma saja tidak ada hasil, aku memutuskan untuk pulang saja meskipun tanpa helm. Asal tahu saja, tempat kerjaku berada di komplek industri dan pastinya, sekeluar dari gerbang komplek adalah jalan raya yang setiap sore ada polantas stand by untuk mengatur lalu-lintas selama jam sibuk. Aku menghindari keramaian yang—sesuai tebakanku—ternyata adalah para “warga yang malang” karena kena jaring razia polisi. Mungkin aku beruntung kali ini karena aku berhasil lolos dengan berputar melalui jalan perumahan.

Aku sebel banget dengan siapapun yang mengambil helmku. Bagaimana hanya karena helm saja bisa sangat merepotkan, justru karena kita tidak menggunakannya. Yang harusnya aku bisa melenggang dengan santai sekarang harus berputar jauh karena tidak ada helm—dan tidak jadi beli takjil, menyebalkan sekali. Bagaimana jika tiba-tiba—at worst scenario—mengalami hal-hal buruk dengan kepala selama berkendara karena tidak memakai helm? Maksudku, bukan karena helmnya, namun lebih kepada akibat dari perbuatan mereka mencuri itu. 

Ini aja baru sebuah helm. Bagaimana dengan para koruptor yang mencuri miliaran uang negara yang harusnya bisa digunakan untuk membangun jembatan yang rusak, fasilitas kesehatan, pendidikan atau untuk pembangunan lainnya, karena tindakan mereka masa depan banyak orang yang menjadi korban. Atau, bagaimana mencuri hak hidup seseorang—katakanlah, menghilangkan nyawa—sama halnya dengan mengorbankan masa depan bagi seorang anak, atau seorang ibu, atau seorang ayah, dan harapan keluarga yang terenggut karena tindakan “mencuri”. I mean, belajar dari hilangnya helm Hello Kitty-ku, bukan tindakan apa yang kita lakukan kepada orang lain, namun, apa akibat dari tindakan tersebut untuk orang lain. Itu yang penting.

Aku tiba di rumah dalam kondisi basah kuyup. Ketika aku masuk ruang tamu, ada Vicky duduk menonton TV dengan adikku.

“Sudah pulang, Dika? Ini ada Vicky tadi bawain soup buah buat buka puasa.” Tiba-tiba ibuku sudah mentereng aja di depanku dengan hebohnya. “Kamu basah kuyup gini, cepetan ganti baju, terus buka puasa. Itu Vicky udah nungguin.” Sambungnya sambil melihat Vicky dan tersenyum, kemudian meminta adikku ikut dengannya menghambur ke dapur. Dasar ibu-ibu.

“So, how’s your day?” nggak peduli basah kuyup, aku menghampiri Vicky di sofa.

“Better now…you?” tanyanya balik.

“Never better,” aku meraih tangannya dan tersenyum.




Share:

Awal Sebuah Kehidupan


Aku, Rheina, Hazil.


Kami bertiga menyusuri sebuah lorong panjang tak berujung. Kami dimabukkan oleh permainan warna yang menghiasi sisi-sisi lorong. Begitu pudar, berpendar, gairah yang sangat nyata tersirat dalam warna-warna yang terus bergerak. Seakan mengikuti kami bertiga…ya…menyusuri lorong ini.

Aku bisa merasakan Rheina ingin pulang ke rumah secepat mungkin, karena takut ibunya memarahinya habis-habisan dan tidak mengijinkannya makan malam bersama saudara-saudaranya yang lain.

Aku bisa merasakan Hazil terbebas dari belenggu yang mengungkungnya selama ini. Aku merasakan ketidaktahuanku atas semua yang aku alami…lorong..warna yang tidak henti berganti…perasaan sahabatku…Kohesivitas emosi di antara kami bertiga.


Aku menggigil kedinginan…


“Kenapa?” Rheina mengambil sebuah safir di bawah kakinya.


“Dingin.” jawabku singkat


Sementara Hazil berjalan di depan kami. Bahkan setengah berlari.


“Kenapa kita ada di sini?” Rhiena terlihat bingung, “Aku harus pulang.”


“Kita telah sampai,” Hazil berteriak, memberi instruksi agar kami berjalan mengikutinya.


Ya. Kami sudah sampai. Begitu banyak pilar berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Terkesan menakutkan.

“Di sinilah kita bertiga harus memilih,” Hazil menunjuk ke deretan pilar-pilar itu. Memang Hazillah yang mengajakku dan Rhiena untuk masuk ke lorong ini. Dari mana kami memasukinya, kami tidak tahu. Hazillah yang selalu mendengungkan kebebasan kepada kami, yang akan kami temukan hanya dengan memasuki lorong ini.


“Kita bertiga akan bebas…dan dari sinilah kehidupan kita mulai,” tanpa menoleh kepada kami ia bergegas memasuki deretan pilar itu.


Tidak ada salam perpisahan atau hal semacam itu dari Hazil. Aku bisa merasakan Rheina ingin pulang secepat mungkin.


“Apakah aku bisa pulang ke rumah lewat pilar itu?” ia kelihatan gelisah.


“Mungkin,” jawabku ragu, benar-benar ragu.


“Kita akan berpisah di sini?”lanjutnya


“Mungkin. Atau kita akan bertemu di balik pilar itu.”


“Setelah kita memasukinya?” dari dulu ia memang sering bertanya.


“Bye,” aku mengucapkan salam perpisahan padanya. Rheina memelukku.


“Kita akan bertemu di sana. Dan juga Hazil.” ia mencoba meyakinkan diri.

Aku memasuki salah satu pilar. Dan sebuah lorong panjang terbentang menyambutku. Aku melihat segala sesuatu yang belum pernah kulihat selama ini. Kupandangi sekelilingku. Terasa asing semua ini bagiku.


“Apa yang harus aku lakukan?”tanyaku dalam hati.


“Kita akan bebas...” kata-kata Hazil terlintas di benakku.


Aku tahu. Ya. Aku tidak harus melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.


“Dan dari sinilah kehidupan kita dimulai.” Aku bisa mendengar Hazil berbisik di telingaku. Aku berpaling ke belakang. Tak seorang pun di sana. Aku sendiri.

“Benar, kau sendiri!” suara Hazil terdengar di seluruh lorong.

“Dan aku bebas,” kataku spontan, ”dan dari sinilah kehidupanku dimulai.” Aku mengulangi kata-kata Hazil.


Terdengar olehku tawa Rheina, dan Hazil, tawa kami bertiga. Di lorong panjang tiada batas…yang menyambut kami.



*pernah dimuat di https://blog.djarumbeasiswaplus.org/ranggayanwar/ 


Share: