Tampilkan postingan dengan label Banjarmasin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banjarmasin. Tampilkan semua postingan

Cobain Sate Bulus Siong Banjarmasin


sate, bulus, Banjarmasin
Sate bulus siong Banjarmasin


Suka sama saté? Sate ayam atau sate kambing? Tunggu dulu, ada yang sedikit berbeda satenya kalau main ke Banjarmasin, yakni sate bulus.


Wait, what?

Iya. Sate bulus. Hewan jenis labi-labi ini selain terkenal dengan minyaknya, dagingnya juga bisa diolah sebagai sate. So actually I've known this place for a year already, tapi baru sempat coba. It's a small warung yang ada di ujung jalan Simpang Ulin, tembusannya Jalan Veteran Banjarmasin. Warung ini dikelola secara turun temurun, dan sekarang adalah generasi ketiga. Warung ini buka setelah tengah hari, mulai jam 2 siang sampai petang. 

Untuk harganya Rp7,500 per tusuk. Ada 4 potongan daging bulus di setiap tusuknya. Saya beli 1 tusuk saja, karena ini benar-benar pertama kali dan sayang nanti kalau tiba-tiba berubah pikiran sate ini akan terbuang sia-sia. Mau dikasih ke orang juga mereka belum tentu mau. I mean, it's a little bit unusual (okay, mungkin lebih tepatnya weird).

Rasanya?

Personally, rasanya enak. Just good. Kan ada 4 potongan daging, 3 diantaranya berupa daging dan 1 seperti lemak kenyal. Rasa dagingnya enak, warna dagingnya cokelat muda dan berserat. Namun tidak seperti daging sapi yang terkadang terasa sekali serat-seratnya. Dan ada bau khas I dunno how to describe, tidak terlalu mencolok tapi lumayan. 

Untungnya ada saos yang menjadi penyelamat. Saya yang terbuat dari cabe kering dan bawang merah ini mengurangi kesan "aneh" dari daging bulus dan membuatnya lebih diterima oleh lidah. Tapi tetap saja, bagian yang kenyal tidak aku makan because it's just too weird for me. 

Hmmm...penasaran gimana buatnya...

Tempat ini hanya membeli bulus yang masih hidup, jadi mereka mengolah sendiri dari proses awal. Dan tidak ada bulus yang disimpan di lemari es karena rasanya akan berbeda. Pengolahannya sendiri membutuhkan waktu sekitar 4 jam. 

Oh iya, selain sate, di sini juga ada minyak bulus yang dijual dengan berbagai ukuran. Mulai botol kecil sampai botol kemasan 100 ml. Minyak bulus ada yang berwarna kuning dan ada yang berwarna putih. Harga yang kuning lebih murah dibandingkan yang putih. Ini karena minyak bulus yang berwarna putih didapat melalui penjemuran bulus di bawah sinar matahari, bisa dibilang sedikit intervensi jadi lebih pure

Manfaat minyak bulus sendiri banyak, bisa Google aja sih. Haha. Karena penasaran, aku coba oleskan di punggung telapak tangan. Its just normal, like olive oil or sort of. Sampai akhirnya tercium bau yang sangat menonjol, dan tidak mengenakkan. It's just distinctively gross, to be honest. I mean, the smell. 

Overall, sate bulus is unique dan ini salah satu makanan yang relatively okay lah, apalagi ada saosnya. Not really bad at all. Though I'm still unsure whether I can take the complete portion at one time. 


Share:

Uniknya Air Terjun Janda Beranak Tiga

air, terjun, janda beranak tiga, kalimantan selatan
Salah satu tingkatan Air Terjun Janda Beranak Tiga


Ya. Air Terjun Janda Beranak Tiga. Nama yang unik untuk sebuah air terjun. Nama ini lebih unik daripada Rumah Jomblo dan penampakannya. Atau mungkin aneh? Well...

Kok bisa namanya "Janda Beranak Tiga"?

Saya coba tanya ke orang-orang di sekitar area tentang asal nama tersebut. Dan mereka memberikan jawaban yang kurang meyakinkan. Penamaan itu dilakukan agar menarik aja. Biar unik. So I got the point. Pada dasarnya bisa saja tempat ini diberi nama selain "janda dan predikat lain setelahnya", asalkan menarik. Jadi dari nama yang "nyeleneh" ini orang akan penasaran dan mulai mencari info dan mungkin saja berkunjung, dan itu sebenarnya tujuan utamanya: menarik pengunjung. 

Belum puas dengan penjelasan tadi. Jadi mulai bangun asumsi. Mungkin saja karena di air terjun ini ada tiga tingkatan utama (keliatan tinggi sehingga lebih seperti air terjun, bukan sebatas sungai terjal), dan mungkin air terjun tersebut berasal dari sumber tunggal (makanya disebut janda). Entahlah. Karena kita harus naik ke hulu untuk tahu exactly sumber-sumber air yang supply  debit air terjun ini. Jadi, lupakan asumsi tidak penting ini. It failed itself.

Dan akhirnya jawaban ditemukan di Google. Tentu saja! Jadi air terjun ini baru-baru saja ditemukan secara tidak sengaja oleh warga yang membuka jalur track. Penamaannya berkaitan dengan lokasi air terjun yang dulunya hutan tempat persembunyian warga dan keluarganya di era penjajahan Jepang, berdasarkan cerita kakek nenek. So basically, unsur historis yang menjadi dasar penamaan air terjun ini. Whatever they named it lah ya, however, nama Air Terjun Janda Beranak Tiga ini  unik dan mampu menarik masyarakat untuk mengetahui seperti apa sih. Dan kembali lagi, tujuan utama adalah membuat orang-orang berkunjung, pendapatan masuk, dan operasional tetap berjalan bahkan berkembang nantinya. That's the point!


Okay, setelah sampai lokasi terus...?

Tidak semudah itu, Alfonso. Jadi ada beberapa hal menarik di tempat ini. 

Karena tempat ini baru (ditemukan), fasilitas penunjang pun belum siap 100%. Seperti toliet umum dan tempat sampah, dua hal esensial untuk tempat wisata. Ini penting karena pengunjung akan membawa makanan, minuman dan lain-lain yang akhirnya menjadi sampah. Dan kebiasaan banyak pengunjung membuangnya sembarangan. Di negara bekas koloni Belanda satu ini memang dilematis ketika ada tempat baru yang menarik. Apalagi wisata-wisata alam. Dilematisnya adalah masyarakat ingin menikmati alam tapi kesadaran menjaga lingkungan juga masih rendah, seperti membuang sampah sembarangan. Sangat selfish ketika pengunjung datang, foto-foto, bawa makanan terus ditinggal begitu saja. Pengen tak hiihhhh!

Saya sengaja tidak foto sampah-sampah karena ini bukan slum tourism di Jakarta. Setidaknya, sampah-sampah itu tidak di sungai jadi tidak mencemari air. Dan dengan pengembangan nantinya, saya yakin masalah ini akan teratasi, at least tidak ada sampah. Atau sampah dibuang di tempat sampah. It would be enough kok, nggak muluk-muluk. 



tanah merah, jalan, air terjun, janda beranak tiga
Jalan menuju ke air terjun berupa tanah merah

Jalan menuju air terjun masih berupa tanah merah yang becek (berlumpur) sehabis hujan. Personally, I like it. Lebih adventurous aja, entah jalan kaki atau naik motor atau bersepeda. Ditambah ada sungai kecil jernih yang harus diseberangi. Kalaupun nanti jalan dibangun, I hope it's not the fancy road they build. Jadi, yang jalan kaki nyaman, yang naik motor atau sepeda masih bisa merasakan serunya medan. Apalagi jalannya naik turun. Uh!

Yang menarik adalah bahwa di kawasan ini dilarang membuang puntung rokok / membuat api sembarangan. Memang kawasan ini bukan hutan belantara (It's hard to find jungle here anyway. Too bad. I mean, it's Borneo and no jungle?), tapi lebih ke bukit kecil dengan semak-semak tinggi. Bisa jadi saat musim kemarau, tempat ini rawan kebakaran. Dan bisa jadi debit air juga akan berkurang.

Setelah sekitar 15 menit perjalanan (8 menit kalau dengan kecepatan berjalan orang Singapore), akhirnya sampai juga di air terjun. Dan yang pertama kali terlintas di pikiran adalah airnya jernih sekali. Air terjun ini memiliki setidaknya 3 tingkatan (yang terlihat tinggi). Dua tingkat berada di bawah dan jaraknya berdekatan, sedangkan yang satu sedikit jauh di atas. Ini berdasarkan hasil tracking saya yang terbatas. Bisa jadi ada banyak lagi tingkatan air terjun kalau naik lagi ke arah hulu. Yang pasti, airnya di sini sangat jernih dan segar. Banyak yang bisa dilakukan di sini, seperti menikmati suara aliran sungai, main air, foto-foto, membaca buku sambil menikmati suara air (that's what I had then actually). Enaknya adalah karena air terjun ini tidak terlalu tinggi dan kita bisa naik melalui jalan setapak di samping sungai, jadi ada banyak spot untuk menikmati pemandangan. Dan ketika banyak tingkatan yang bisa diakses, semakin banyak pula tempat untuk bersantai.

Jadi kesimpulannya adalah...

Air terjun ini memiliki keunikan mulai dari penemuannya, penamaannya, jalan menuju ke sana yang adventurous serta banyaknya tingkatan air terjun. Terlepas dari keunikannya dan manfaat ekonomi, dari pembukaan tempat wisata baru ini, masyarakat nanti bisa lebih aware sih dengan lingkungan. Seperti "Hey, kita nggak mau air terjun ini debit airnya terganggu." Jadi secara tidak langsung mengingatkan semuanya untuk menjaga tidak hanya sepanjang sungai tapi sumber asal di hulu, simply because it's the core of the attraction: water.


Informasi dasar:

  • Air terjun Janda Beranak Tiga berada di desa Kiram. Dari Banjarmasin berjarak ±50 kilometer, atau ±18 kilometer dari Banjarbaru. Sudah ada di Google maps, just seach it there.
  • Akses menuju ke sana cukup mudah. Dari bundaran Banjarbaru, lurus ke arah Mandiangin. Setelah ada pertigaan, ambil jalur kanan ke arah Mandiangin, setelah itu ada pertigaan lagi ambil kanan menuju arah Gunung Mawar. Ikuti saja jalan itu sampai ada pertigaan dengan banner mengarah ke kiri. Then you just follow the signages. Et voilà! Sampai!
  • Pengunjung harus jalan kaki ±1 kilometer dengan melewati setidaknya 2 sungai kecil. Bisa juga menggunakan jasa ojek dengan membayar Rp15,000.
  • Tidak ada tiket masuk, hanya kontribusi parkir untuk kendaraan. Siapkan saja uang pecahan Rp2.000 dan Rp5.000.


Referensi:
Di Balik Nama Wisata Baru Air Terjun Janda Beranak Tiga Di Desa Kiram
https://klikkalsel.com/di-balik-nama-wisata-baru-air-terjun-janda-beranak-tiga-di-desa-kiram/




Share:

Mencari Batu Akik Di Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Batu akik, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Batu akik sebelum diolah menjadi perhiasan. Lokasi: Banjarbaru, Kalimantan Selatan


Beberapa tahun lalu batu akik sempat populer, bahkan (meskipun tidak pernah membeli) in my opinion, it's over rated tapi tetap menjadi incaran tidak hanya kolektor tapi juga berbagai kalangan. Harganya langsung melejit gila-gilaan. Time change, people change. Trend berubah dan batu ini seperti tinggal sejarah. Namun, banyak yang tidak mengetahui sebenarnya batu akik itu bentuknya seperti apa sebelum menjadi pajangan di etalase.

Di daerah Cempaka, Kota Banjarbaru, kita bisa melihat wujud asal dari batu akik. Lokasinya tidak jauh dari Rumah Jomblo. Tempatnya lebih seperti bukit gersang, dengan tanah berbatu dan berpasir. Daerah ini merupakan daerah galian, jadi tanah-tanah di sini diambil untuk berbagai keperluan sampai sebagian besar permukaannya sekarang rata. 

Satu atau dua orang datang untuk mencari batu akik di sini. Mereka mencarinya dengan membawa stick untuk mencungkil tanah atau batuan. Tidak ada alat canggih atau khusus untuk mendapatkan batu ini, selama bisa membedakan mana batu akik mana yang bukan. Batu yang bisa diolah ketika disenter harus ada cahaya yang menembus. I tried to pick up some stones and still could not see which one is what I'm looking for. Sepertinya hanya pencari batu akik saja yang tahu dan bisa membedakannya, bahkan hanya dengan mata telanjang. 


batu akik, banjarbaru, gunung kupang, kalimantan selatan
Tempat mencari batu akik di Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan


Setelah hujan adalah waktu yang tepat untuk mencari batu akik. Aliran air hujan yang membawa tanah dan lumpur ke bawah sekaligus membersihkan batuan sehingga memudahkan para pencari. Batuan-batuan ini nantinya akan dibawa ke pengrajin di Desa Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, masih di wilayah kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru. Daerah Cempaka memang terkenal dengan pengrajin intan karena memang ada pendulangan intan. Dan pastinya, tidak hanya intan saja yang didapatkan, namun juga batu akik. 

Satu buah batu seperti di gambar di atas bisa diolah menjadi 2 batu akik. Untuk harga batu akik kualitas biasa / standard dengan rangka stainless steel mulai dari Rp150.000 per buah. Dalam sebulan bisa 2-3 buah batu akik terjual. Atau bisa juga membawa batu akik untuk diolah oleh para pengrajin di sana dan cukup membayar biaya jasa saja. It's not pricey, compared to its searching and processing. 

Anyway, batu akik yang dulu pernah hype sekarang bahkan sudah tidak terdengar lagi vibe-nya. Mungkin nanti batu ini akan trending lagi, but who knows when. By the way, ada yang pernah beli batu akik? 








Share:

Mengenal Budaya Banjar Di Pasar Terapung Lok Baintan Banjarmasin

Pasar Terapung Lok Baintan, Kalimantan Selatan. 
Sumber: ranggainthezone


Generasi 90an mungkin masih ingat slogan RCTI Oke yang menampilkan ibu-ibu di pasar terapung. Waktu kecil saya bertanya-tanya kok bisa ya jualan di atas perahu di atas sungai, karena maklum di Jawa tidak ada sungai yang besar. Rasa penasaran terjawab ketika mengunjungi Pasar Terapung Lok Baintan di Kalimantan Selatan. 

Pasar terapung ini berlokasi di daerah aliran Sungai Martapura, Banjarmasin, dan satu-satunya pasar terapung yang genuine yang ada di Indonesia. Mungkin ada yang bilang "Siapa bilang? Di Sumatra juga ada, di Jawa Barat juga ada." Ya, itu juga pasar terapung tapi itu artificial. Sedangkan pasar Lok Baintan sudah ada sejak jaman Kesultanan Banjar (sekitar abad ketujuh belas). Itu saja? Tentu tidak. Pasar terapung di Lok Baintan sebagai bentuk budaya masyarakat Banjar yang tidak lepas dari air / sungai. Dulu sebelum adanya pembangunan transportasi darat, masyarakat Banjar mengandalkan sungai untuk mendukung mobilitas mereka, yang pada akhirnya mendukung perekonomian mereka dengan adanya interaksi jual beli dan barter oleh masyarakat. 

Sekarang emang sudah nggak lagi? Masih bertahan, walaupun sebagian besar mulai beralih ke pasar tradisional pada umumnya. Namun, dari pasar terapung ini kita bisa mengenal lebih banyak budaya Banjar. Apa aja emang? Nanti. Pero un momento, por favor, ada hal teknis yang perlu dijelaskan.

Lokasi Dan Waktu Berkunjung

Pasar ini terletak di Sungai Martapura, Banjarmasin. Waktu berkunjung di pagi hari, setelah subuh sampai menjelang siang sekitar jam 10:00 WITA.

Akses Ke Lok Baintan

Ada beberapa pilihan untuk pergi ke sana. Ini berdasarkan pengalaman kami (2 orang).

  1. Sewa klotok (perahu bermotor) yang bisa dijumpai di Siring Tendean, Banjarmasin. Harga Rp 400,000 an. Akan sedikit menguras kantong kalau pergi sendiri atau berdua. Selain itu harus cari tempat penginapan yang dekat dengan Siring Tendean karena harus berangkat pagi sekali. Otherwise you have to hire a taxi. Share cost kisaran @Rp300,000 / orang untuk sewa klotok dan penginapan.
  2. Menginap di Swiss-Belhotel Banjarmasin. Akhirnya pilihan kami jatuh ke sini. Hotel ini menyediakan fasilitas trip ke Lok Baintan secara gratis untuk tamu yang menginap. Share cost juga hampir sama, plus nggak repot. Bisa minta wake-up call, dan tinggal jalan ke depan untuk naik klotok. Hotel ini berada di pinggir aliran Sungai Martapura anyway. Disclaimer: ini bukan endorsement ya, simply for sharing information based on our experience. Dan kebijakan ini bisa berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Atau mungkin ada banyak opsi serupa yang bisa dicari di internet, based on your preference.
  3. Lewat darat dengan naik motor. Tinggal ikuti aja peta Google et...voilà! Selain itu, kalau lewat darat bisa sekalian ambil foto dari atas jembatan Lok Baintan.

Rumah Lanting terlihat mengapung sepanjang Sungai Martapura. Sumber: koleksi pribadi.

The experience starts here.

Kami berangkat pukul 05:00 WITA dengan naik klotok. Perjalanan ditempuh selama 30-40 menit. Karena masih gelap, tidak banyak yang bisa dilihat sepanjang sungai. Namun, saat langit semakin terang, pemandangan sekitar mulai tampak. 

Rumah-rumah khas Banjar berdiri di kiri-kanan tepi sungai. Ada satu yang menarik perhatian, yakni rumah lanting. Rumah ini adalah rumah terapung yang dibuat untuk bisa berpindah-pindah mengikuti atau menyesuaikan arus sungai. Jika rumah adat Banjar kita bisa melihat jelas tiang penyangga yang menancap di sungai, hal itu tidak berlaku dengan rumah lanting yang terlihat pres dengan permukaan sungai. Seperti hanyut. Rumah ini seperti portable house yang mobile. Kalau di Kaimana ada bagan yang berfungsi sebagai rumah sekaligus tempat menangkap ikan, hanya saja bagan di laut dan memiliki ukuran lebih besar daripada rumah lanting.

Banyak sekali jembatan penyebrangan di atas sungai yang bisa dilihat dari klotok. Aktivitas pagi masyarakat Banjarmasin bisa kita lihat di sini. Kita bisa melihat matahari terbit dari atas klotok, warna jingga yang terpantulkan aliran sungai.

Suasana sangat vibrant ketika sampai di Lok Baintan. Banyak jukung yang berlalu lalang. Jukung adalah perahu kecil yang digunakan oleh para penjual untuk menjajakan dagangannya. Mayoritas penjual di sini adalah ibu-ibu, orang lokal menyebutnya acil. Mereka biasanya memakai tanggui, topi khas Banjar yang terbuat dari daun nipah. 

Saat melihat para acil, kami bertanya-tanya kenapa wajah mereka tertutup bedak tebal seperti masker yang dibiarkan mengering atau lupa dibilas. Ternyata sebagian masyarakat di sini terbiasa memakai bedak khas Banjar yang dinamakan pupur (bedak) basah / pupur dingin dan pupur bangkal. Pupur basah terbuat dari beras yang dihaluskan, dan ada juga dari bengkoang. Bedak ini berwarna putih. Sedangkan pupur bangkal terbuat dari kayu pohon bangkal yang dikerik lalu ditumbuk. Bedak ini berwarna kekuningan.

Di pasar ini, mereka umumnya menjual buah-buahan musiman, dan tidak jarang buah khas Kalimantan seperti buah mentega, kasturi, kuweni (sejenis mangga tapi aromanya sangat harum), buah kapul, tiwadak, salak, duku / langsep dan masih banyak lagi. Ada juga jajanan tradisional seperti kue cincin (seperti cucur tapi memiliki tekstur keras dan kering di bagian dalam, serta berbentuk piringan dengan 4 lubang), roti pisang (seperti kue lumpur tapi berbahan pisang. Jujur ini enak banget!), untuk (roti goreng ada isiannya), pais, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang jual pulsa! Seriously!



Pedagang dengan aneka buah di atas jukung. Sumber: ranggainthezone


Selain itu banyak makanan kering dan souvernir yang bisa dijumpai di sini, di atas jukung tentunya. Beberapa dibungkus dengan kerajinan tas dari purun, yakni sejenis tanaman yang digunakan sebagai bahan anyaman. 

Kalau ingin makan nasi, bisa juga beli nasi kuning bumbu habang (merah) dengan hintalu (telur) atau ikan. FYI, beras Banjar berbeda dengan beras yang biasa digunakan di Jawa. Beras Banjar lebih "terpisah-pisah" dan seringkali bagi orang yang baru pertama kali memakannya kadang terasa "nyereti". Kita bisa sarapan di atas klotok sambil menikmati suasana pasar terapung. Atau bisa juga mencoba naik jukung penjual, tapi harus hati-hati karena perahunya hanya selebar badan dan butuh keseimbangan agar tidak oleng. 

Di sini kita juga mengenal akad jual-beli. Pedagang akan menyebutkan kata “jual /dijual” dan pembeli akan menyahut dengan kata “tukar/ditukar” yang berarti membeli saat transaksi dilakukan (sempat bingung saat belum tahu arti tukar adalah beli kalau di Banjarmasin). Kalau masih bingung nanti akan dibimbing oleh acil penjual. 

Budaya akad jual-beli tidak lepas dari pengaruh agama Islam yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) melalui kitabnya, Sabilal Muhtadin. Akad itu lambang sahnya jual-beli. Kalau sekarang mungkin seperti yang sering diucapkan di acara televisi itu. Deal? Deal!

Yang unik lainnya dari pasar terapung Lok Baintan adalah adanya acil bapantun, yakni ibu-ibu yang pandai sekali berpantun. Entah dilatih atau spontan, pantun-pantun itu bisa menyesuaikan dengan konteks obrolan. Mungkin Denny Cagur dan Raffi Ahmad belajar berpantun dari mereka. 

Para pengunjung bisa naik ke atap perahu untuk mengambil gambar karena pemandangan lebih luas. Mungkin tidak banyak yang indah dalam hal pemandangan bagus seperti di tempat-tempat wisata lainnya dengan bangunan ikonik, tapi keberadaan pasar ini sendiri sudah menjadi ikon dengan segala nilai sejarah dan budaya masyarakat yang menjalankan keseharian di sini. This place is not artificial, if you're looking for something more than fancy. Dan itu cukup worth to visit jika berkunjung ke Banjarmasin, mengenal budaya Banjar lewat pasar terapung dengan naik kapal menyusuri sungai Martapura. 




Referensi
Pasar Terapung Lok Baintan
http://pidii.info/index.php?option=com_content&view=article&id=900:pasar-terapung-lok-baintan&catid=35:investasi-news&Itemid=101?&tmpl=component#:~:text=Pasar%20Terapung%20Lok%20Baintan%20telah,Pemerintah%20Pusat%20Banjarmasin%2C%20Kalimantan%20Selatan.&text=Di%20sepanjang%20pesisir%20aliran%20Sungai%20Martapura%20Lokbaintan%20terlihat%20konvoi%20jukung,Banjar)%20menuju%20lokasi%20pasar%20terapung.

Bedak Bangkal, Bedak Tradisional Banjar Khas Kalimantan Selatan Kebanyakan Pembelinya Orang Jawa

Rumah Lanting: Kilas Kronologi Dan Eksistensinya Saat Ini

Share:

Explore Banjarmasin: The Teletubbies Hill

Teletubbies Hill, South Kalimantan

It was an ordinary Monday but it turned out different. I decided to explore this province (South Kalimantan) so I was off to the southwest part.


It was located in Pelaihari, 70 km away from Banjarmasin, the province's capital. You can get there by motorbike, car or taking public transportation. For those on budget bacpacking, the latter can be considerend. So, just take a shared taxi (angkot, but locals here called it taxi) from Banjarmasin (Pal 6) to Liang Anggang. It only costs you IDR8,000 or around 60 cents. From Liang Anggang you take another taxi to Pelaihari. It took 90 minutes to get there.


For those with motorbikes or car, just go straight eastward from Banjarmasin, then you will find a roundabout (second roundabout to be exact) then turn right (southward). Then just follow the road. It's easy to find as there's only one main road--Jalan Ahmad Yani--and the hill is quite visible from the road. You need to walk and climb for about 15 minutes to reach the top. It was magnifique view you will find. So it paid off every single step.



Things to note:

1. Bring your camera, make sure the battery is on its full condition, and is the memory card.

2. PLEASE DO NOT LITTER!

3. Have a good time!!!


Share:

Banjarmasin: A City “Where Darkness Is Common”

And the lights out!

Yup! That’s what I experienced during my three-month time here in the capital city of South Kalimantan Province.  It is too bad and very ironic to admit since this island is full of energy resources on the ground and (more resources) underground.  The scheduled blackouts have become part of people’s daily life here. In the city area, the scheduled begin at around six in the evening. Could it be a moment, one hour or more is something we can never predict.

Just so you know that electricity industry is run by state owned company named PLN (Perusahaan Listrik Negara), and that’s it. Various fees the people have to pay, depends on the area they’re living in and the type of electricity they use, either for household or industrial purpose. Now, is it really worthy for us to pay them for the service we get?


signage, blackout, electricity
A signage stating apology for the scheduled lights out by PLN

Electricity as the basic need for society

The issue of energy crisis becomes highlight in some regions in Indonesia, even the government in Jakarta admitted that factors such as regulations and multi-layers complicated permission procedures has become issues for investments including in electricity industry that eventually constraint  the even electricity distribution for all. What they often neglect is the fact that electricity is something people can’t live without, it’s a basic need.

When the government issued a plan to increase the fuel or electricity price, people seemed like nearly at the point of no alternative, especially regarding the latter as it’s just monopolized. Thus, like it or not they will pay for it like no matter what, because it’s basic and monopolized. I’m sorry to say that the government failed in this case. 

The excuse they’ve been (PLN) saying is they’re so lack of energy resources that they have to make the scheduled daily blackouts. It’s a bit confusing as this land is rich of coal, unless the commercialized natural resources is something they cannot afford and yeah, we understand. That this coal-rich province is getting as dark as its coal, we understand. But still, should we make any complain or even big street-protest, if we question whether or not they’re capable to run it and should we let private company in, it’s understandable. Moreover, we are so far familiar with privatization. We keep buying mineral water by Danone as we know it’s good, we use Indosat and other telecommunication products as it is good, and affordable, even cheap.

What if…

Can you imagine the small little things that will turn out big in our daily life that make us consider that it’s a big issue?

  • For students in their house they should do homework under minimum light and it sooner or later affect their vision’s health.
  • Let’s say the hospital has its own generator, but still, what if they need more electricity for a bigger surgery? What if there is more patients need medical treatment? What if the devices do not work due to technical issues related to the electricity problem?
  • For other industries, such as hotels and manufactures, when they have to have their own generators for energy supply, and they have to pay the fuels, the rocket their budget will be, they know it’s costly. How to attract investors if they have to pay a lot?

These are the things the government and all of us should consider. We do not mind of private sectors get involved, though expansion and innovation and management reform in PLN itself is good to see as well.

Share: