Tampilkan postingan dengan label life story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label life story. Tampilkan semua postingan

Si Pecundang Dan Cinta



Iya. Sebutan apa lagi yang pantas diberikan kepada si Pecundang selain pecundang itu sendiri. Bukankah pecundang selalu menghindari apa yang seharusnya ia hadapi? Menghindari realita, menghindari tantangan, menghindari cita-cita? Atau ia bukannya menghindari, tapi berlari. Berlari secepat angin menyapu ombak di pantai. Berlari menjauhi realita, berlari menjauhi tantangan, bahkan berlari dari hal yang belum tentu terjadi. Berlari dari mimpi. Apa pun mimpi itu. Iya, ia berlari, seakan dengan itu ia bisa bebas. Tapi lihat saja apa si Pecundang akan merasakan kebebasan pada akhirnya, setidaknya, kelegaan.

Selama bertahun-tahun bernafas, banyak hal yang telah ia alami. Hasrat. Benci. Dendam. Menahan. Impian. Cita. Cinta. Semua orang memiliki hasrat dalam berbagai hal, dengan berbagai cara, tak terkecuali si Pecundang. Semua orang membenci hal-hal dengan cara mereka. Semua  orang dendam dengan hal-hal yang mereka anggap menyakitkan dan mereka menuntut keadilan. Perasaan-perasaan itu sudah inheren dan karenanya, manusiawi. Setiap orang menyikapi perasaan-perasaan itu dengan berbagai cara yang mereka bisa, tidak terkecuali si Pecundang. Ia menyikapi perasaan-perasaannya dengan caranya sendiri: berlari...menjauh...

Berkali-kali ia merasakan perasaan itu. Berkali-kali pula ia membiarkannya. Berkali-kali pula ia berlari darinya. Berkali-kali pula ia terkurung penyesalan karenanya. Cinta. Kata lima huruf yang oleh si Pecundang begitu bermakna dalam hidupnya. Ia bahagia mengenal cinta. Ia semakin bahagia ketika merasakan cinta. Ia tak berdaya menghadapi cinta. Sampai akhirnya, ia memilih berlari, menjauhi cinta.

Si Pecundang merasa kesulitan dalam mengutarakan cinta kepada orang yang ia cintai. Entah kenapa lidah menjadi kelu, seperti digodam palu, dan mulut menjadi bisu. Berkata "cinta" adalah hal tersulit. Seperti pembohong yang tak mampu berkelit. Ia membela ketidakberdayaannya dengan berkata bahwa verbalisasi cinta tidaklah sebanding dengan perasaan itu sendiri. Tapi, tidakkah ia melihat begitu berartinya perasaan itu sehingga verbalisasi menjadi sangat bermakna? Ia mencoba membela, lagi, dengan berkata bahwa justru karena itulah verbalisasi tidak sebanding, dan bersikeras dengan merasakan tanpa mengungkapkan. Ia berkata bahwa gestur lebih bermakna dari pada sekedar verbalisasi. Iya, karena ia menyangkal realita bahwa verbalisasi membuatnya terlihat konyol, karena verbalisasi membuatnya serasa terhimpit, gestur lah yang ia besar-besarkan. Tapi, apa itu cukup? Si Pecundang bilang, itu cukup.

Ia tidak memilih verbalisasi. Ia menghindari verbalisasi. Ia memilih gestur. Ia menyimpannya tanpa pernah mengutarakannya. Seperti cairan yang ia minum setiap harinya, ya, ia menyimpannya. Cairan-cairan itu membuatnya tidak kehausan, tetap hidup. Tapi, tidak tahukah ia bahwa pada satu titik cairan-cairan itu menjadi usang? Seperti besi dengan karatnya? Tidak tahukah ia bahwa cairan usang itu harus dikeluarkan pada akhirnya? Karena cairan-cairan itu malah akan meracuninya dan membuatnya tidak berdaya lagi. Namun, si Pencundang tetap menyimpannya. Ia menghindari semua itu. Namun, ia tidak bisa mengindari realita bahwa "kecukupan" yang ia banggakan berkurang dan terus berkurang. Kecukupannya menjadi ketidakcukupan. Tidak cukup.

Si Pecundang berkaca, dan melihat di depannya sesosok figur yang penuh dengan ... ketidakberdayaan. Ia menyadari bahwa ketidakcukupan mulai menghantuinya. Verbalisasi menghantuinya. Cairan-cairan itu telah meracuninya. Penolakan dengan berlari menjauhi realita yang ada berujung pada sebuah kontemplasi. Bukan itu sebenarnya alasan mendasar mengapa si Pecundang menghindari verbalisasi. Bukan karena verbalisasi tidak sebanding. Bukan gestur itu lebih bermakna dan itu sudah cukup. Bukan itu. Ia menjauhi verbalisasi karena sebenarnya, jauh di dalam dirinya, ia takut kesenangan karena cinta yang selama ini ia simpan berubah menjadi duka yang akan menghantuinya karena verbalisasi. Ia takut tersakiti. Karenanya ia menghindari verbalisasi. Ia takut ketika cairan-cairan itu tidak ada ia takkan lagi bertahan hidup. Ia takut kehilangan. Tapi, tidakkah ia tahu bahwa semakin lama ia menyimpan cairan-cairan itu, semakin ia teracuni, tak berdaya, dan mati karenanya?

Sekarang ia melihat, tidak ada kebebasan dalam dirinya. Bahkan, kelegaan terkecil pun tak tampak. Ia terjebak dalam kecukupannya. Semakin tak berdaya karena cairan usang yang sekarang meracuninya, yang disimpannya. Ia tetap berlari...menjauh...dengan kesenangan yang sekarang menyiksa... Sampai akhirnya ia mati....





Share:

Songs When I Die


Dua Lipa, future nostalgia, love again
Love Again by Dua Lipa 


Berbicara tentang kematian, tentu saja kita tidak akan pernah tahu kapan itu terjadi. Yang pasti, itu akan terjadi, semua akan mengalaminya. Nah, beberapa orang sudah mempersiapkan hal-hal yang diinginkan ketika mereka nanti menemui ajal. Bisa mereka ingin kucing atau anjingnya diberikan ke orang lain nantinya, bisa minta dimainkan piano dengan lagu favorit mereka saat prosesi persemayaman, minta abu mereka dilarung di laut, atau ingin benda-benda kesayangan ikut serta dikuburkan dengan mereka. Dan masih banyak lagi. 


Nah, salah satu yang ingin ada setelah saya meninggal adalah mereka memutar lagu-lagu yang saya suka. It was like the last chance to get me exposed to the music sebelum cosplay jadi singkong. Selain itu, meskipun mungkin lagu-lagunya cenderung slow, namun mereka juga bisa memutar lagu-lagu ceria setelah itu. They need to celebrate life, still, no matter who's gone.


So ya here's the list of songs I'd like them to play when I die:


1. Joanne by Lady Gaga

I love Lady Gaga and this is one of the most meaningful song of hers. It's about farewell and sounds so personal. I want it to be played when I die.


2. Back To Black by Amy Winehouse

I love Amy. Dan lagu ini sepertinya cocok. Lihat deh video musiknya. Meskipun makna lagu ini sedikit kelam, tapi bagus juga. Biar lebih dramatis. 


3. Caderita by Cely Vasquez

This gonna be fun of you play this song during my funeral. Let the angels fly and dance with me to this catchy beat. Te tiene loco loco. Really. 


4. Toujours Un Ailleurs by Anggun

It's more like that I'm already in some other places but I'll always remember you, guys! 


5. Breakaway by Avril Lavigne

Sama seperti Toujours Un Ailleurs, ini seperti saya departing to somewhere else for the better. It's always for the better and I'll be missing you, guys!


6. Ghost by Justin Bieber

I love this song a lot! It's so meaningful, like it's saying "Please always bear in mind to spend your time with the people you love for we have no idea at all about what life might lead us to". 


7. Memories by Maki Otsuki

Ini perannya hampir sama seperti penutup cerita series anime itu. Kayak ada kesan bahwa ini menjadi a memorable farewell. 


8. Love Again by Dua Lipa

Setelah atmosfer low dan nyenyenyenye, lagu ini seperti awal untuk next chapter untuk mereka-mereka yang masih hidup. Life goes on as it naturally should. Let yourself dance to this song. 


9. The Nights by Avicii

Ini seperti pengingat seberapa berat pun hidup, masih ada hal baik untuk disyukuri. Lagu ini seperti lagu sejuta umat untuk menikmati hidup. 





Share:

Cara Mudah Beli Sabun Dove Batangan Secara Online

Dove, sabun batangan, online
Dove Beauty Bar (batangan)


Belakangan ini cari sabun Dove Beauty Bar atau biasanya orang bilang Dove batangan, tapi susah sekali didapat. Pernah cek di banyak minimarket di Banjarbaru dan Martapura tapi nyatanya tidak ada jual (setidaknya tidak ada di rak tokonya). 

Loh, emang kenapa kok sampe nyari sabun Dove batangan segitunya? Karena ini sabun cocok untuk kulit sensitif dan alergi. Setidaknya di ibuku cocok (karena ada alergi jadi kulit sering kering dan kadang bercak merah). Itu juga atas rekomendasi dokter kulit untuk pake sabun yg lembut (he mentioned the name actually). Selain itu, harga juga cukup terjangkau dibanding sabun cair dengan merk yang sama.


Okay, back to the point. Karena gak ada pas saya cari, jadilah beli secara online. Dan langsung saja, di sini I would like to share pengalaman beli Dove Beauty Bar secara online melalui aplikasi Blibli. Sebelumnya, I need to make disclaimer ya ini bukan endorse or some sorts, it's just kongsi pengalaman saja and it's easy and worth to try. Apalagi karena stok Dove batangan ini memang bisa dibilang jarang sekali di pasaran.

Langkah pertama, buka aplikasi Blibli dan langsung aja cari di kolom search dan ketik "Dove Beauty Bar". Nanti akan keluar hasilnya. Klik tombol "Filter" dan scroll ke bawah, lihat "pengiriman" pilih "click & collect", klik "Apply / terapkan".

Dove, sabun batangan, online
Klik pilihan "Click & Collect" kemudian "Terapkan"


Nanti akan muncul hasilnya. Klik saja "lihat lebih detail", setelah itu akan muncul tampilan di bawah ini. Klik "Ambil di toko". 

Dove, sabun batangan, online
Klik "Ambil di toko"


Setelah itu akan keluar daftar Alfamart terdekat dari lokasi tempat tinggal. Di sana ada keterangan apakah stok masih tersedia atau sudah habis. Setelah dipilih, kita lakukan pembayaran. Saya pakai pembayaran menggunakan e-wallet karena lebih praktis. Setelah pembayaran selesai, akan ada notifikasi seperti di bawah, artinya barang sudah siap diambil di Alfamart yang kita pilih pada jam kerja. 

Dove, sabun batangan, online


Nanti tinggal ditunjukkan saja bukti pembayaran di hape kepada petugas Alfamart. And that's it. Mudah sekali kan?



Share:

Pengalaman Vaksinasi Covid-19 Dosis Kedua

Setelah tertunda sekitar empat bulan, finally I could get my second jab alias vaksin dosis kedua pada 18 November 2021. I'm just gonna share how come vaksin kedua bisa tertunda sangat lama, serta efek yang saya rasakan dari vaksin kedua ini.

Kenapa vaksin kedua bisa tertunda

1. Sakit

Vaksin pertama dilakukan tanggal 13 Juli 2021, dan jadwal vaksin kedua sebulan setelah itu. Namun tiga dua hari sebelum vaksin I fell sick, demam jadi otomatis tidak bisa.

2. Setelah sembuh dari sakit, I felt not really well. Mungkin masih dalam tahap penyembuhan. Kalau dipaksakan vaksin takutnya tubuh tidak bisa cope with it.

3. Vaksinasi belum se-reguler seperti sekarang, karena kendala stok vaksin. Jadi sering miss juga, di samping juga faktor kesibukan.

4. Jatuh dari motor dan tentu saja minum obat. Menyebalkan sekali.

Sampai akhirnya November ada info vaksin dosis kedua di RS Sjamsuddin Noor Banjarbaru. Tanpa pikir panjang, langsung saja saya ikut vaksin.


Hari H Vaksinasi

Vaksin yang saya dapat adalah Coronavac. Alur vaksinasi kedua ini sama dengan vaksinasi pertama. Hanya saja saya datang jauh lebih awal karena tidak ada jadwal pasti seperti saat vaksin pertama. It's more like first come first serve gitu. 

Menariknya, kalau vaksin pertama jab-nya di lengan kanan, vaksin kedua ini jab-nya di lengan kiri. Dan to be honest, it's pain in the ass alias sakit banget. 


Efek setelah vaksin

Hari H

Efek vaksin kedua ini cepat sekali. Setelah vaksin I felt like catching some headache dan mual serta demam. Dan itu berlanjut sampe sore hari. Pusingnya itu loh.


H+1

Keesokan harinya pusing masih berlanjut, tapi siang hari demam sudah reda, dan masih ada mual. Kayak dibawa tidur pusing, gak tidur juga pusing. Damnit.


H+2

Semua gejala sudah gak ada. Cuma masih lemes buat jalan. Telapak kaki terasa aneh pas nyentuh lantai. I was like "should I fly instead?" "Am I gonna die or something?" Well, seemed everything went back to normal though. 


Yang harus dipersiapkan sebelum vaksin adalah vitamin supplement dan obat basic seperti paracetamol in case ada demam. Minum air putih yang banyak juga sih to stay hydrated.

Well, semoga dengan vaksin yang massive ini bisa at least keeping the spread lower and lower and lessen the chance for severe symptoms. Apalagi sekarang ada variant Omicron. Meskipun beberapa sources menyatakan ini di bawah delta variant, but still, prevention is a must. So, ya, stay safe, put your mask on and get vaxxed!








Share:

Wake Me Up When My Life Ends

 As you'd killed me with love you'd given to me. I didn't even know what's so bad with you.


As the path you'd taken to find me. I couldn't even understand that this' so much true.


You gave me strength whenever I got weak

gave damn that tastes so sweet

What should I do if there ain't , nobody like you?


Surely I can hardly catch my breath

like I did when I firstly saw you

I take death, not after you

I want my life 

to end

sooner than yours


to ease the pain I should've eased off

just wake me up

when my life ends

As I'm addicted to the stuff

I only understand

of you

I do





Share:

Pengalaman Vaksinasi Covid-19 Dosis Pertama


Vaksin, Sinovac, Covid-19, sertifikat
Sertifikat vaksin dosis pertama


Setelah lebih dari satu tahun pandemi, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga: vaksin Covid-19. Di sini akan membahas tentang mekanisme mendapatkan vaksin mulai dari registrasi hingga notifikasi jadwal vaksinasi, dan efek yang dirasakan dari vaksin.

Alur registrasi vaksin

In my case, registrasi dilakukan secara online, tinggal follow salah satu akun puskesmas yang ada di sini dan klik link yang ada di bio. Link itu terhubung ke Google Form untuk diisi. Data yang harus dilengkapi adalah:


Nama:
Tanggal lahir:
NIK:
Alamat:
Nomor telpon:
Penyakit penyerta: (bila ada, ditulis selengkap-lengkapnya).

Setelah lengkap dan terkirim, dalam tempo 3-5 hari akan ada notifikasi melalui WhatsApp / SMS tentang jadwal vaksinasi. Di sini, tidak ada keharusan alamat KTP sama dengan domisili. Yang penting ada KTP asli, that's all. 


Dalam notifikasi tersebut terdapat nama, nomor urut, lokasi vaksinasi dan kisaran waktu yang telah ditentukan. 

Vaksinasi, Covid-19, Sinovac
Notifikasi jadwal vaksinasi dosis pertama



Hari H Vaksinasi

Saya datang ke puskesmas terdekat, dengan membawa KTP asli. Setelah itu, undangan yang dikirim melalui text message ditunjukkan ke bagian registrasi. Setelah itu adalah proses skrining. Petugas kesehatan cek tekanan darah, suhu tubuh dan menanyakan kondisi kita secara general (sehat hari ini? Ada sakit dalam beberapa hari terakhir? Apakah punya darah tinggi? Penyakit lainnya?) and all you had to do was to give the real answers, jadi mereka bisa determine apakah bisa lanjut vaksin atau tidak. Intinya harus jujur kalau pernah sakit jawab pernah, kalau ada penyakit lain sebut saja semuanya, kalau sedang medication jawab aja iya dan sebutkan obatnya apa saja. Setelah selesai dan fit, mereka memberikan lembar persetujuan dan saya masuk ke ruangan vaksin. 

Petugas hanya meminta membuka lengan baju bagian kiri, meminta untuk tenang and you got the jab! It was so quick! Setelah itu saya menyerahkan lembar persetujuan tadi beserta KTP asli untuk proses surat keterangan vaksin dosis 1. They call it certificate, I dunno why. Whatever. Setidaknya mereka tidak meminta fotokopi E-KTP. Oh anyway, jenis vaksinnya adalah Coronavac by Sinovac.

Setelah vaksin, akan diminta untuk tetap di lokasi setidaknya 15 menit, in case ada reaksi dari tubuh seperti pusing, mual dan reaksi tidak mengenakkan lainnya yang sekiranya butuh perawatan dan tentunya merepotkan beberapa orang. 

Tapi sepertinya saya harus di sana lebih dari 15 menit karena menunggu antrian surat itu. Selama masa tunggu itu petugas menanyakan apakah ada keluhan pusing atau yang lain kepada para peserta vaksin, which is good. Di surat itu tertera keterangan sudah vaksin, jadwal vaksin dosis kedua dan contact person yang bisa dihubungi kalau-kalau ada efek vaksin yang dirasakan cukup berat. Setelah dapat surat itu, you can continue your schedule and do your shxts. 

Efek setelah vaksin

Hari H: tidak ada yang signifikan selain rasa lapar dan lemas. Jadi bawaannya makan terus dan badan terasa lemas. Tidur bisa sangat nyenyak.

H+1 vaksinasi: lengan kiri bekas suntikan terasa ngilu sekali, pagi hari sedikit pusing dan demam, menjelang siang sekitar pukul 10:00 nafas sedikit berat. Saya bawa istirahat dan tengkurap, miring, while listening to some music. Siang hari everything went back to normal, kecuali rasa lemas dan ngilu di lengan like damnit! I asked my friend yang sudah vaksin, dan ternyata memang itu beberapa efek samping vaksin. Kebetulan dia dapat AstraZeneca dan setelah ia jelasin efek samping yang dia rasakan, I feel not really bad. At least gak mual atau muntah. It's very technical to talk about each kind of vaccines actually, all I want to say is: vaksin aja dulu apapun merk vaksinnya.

H+2 vaksinasi: Masih lemas tapi tidak selemas sebelumnya. Tapi keesokan harinya sudah tidak terasa apa-apa lagi, kecuali lengan kiri yang kadang masih ngilu. Did they jab it through my bone or what?  

Yang harus disiapkan setelah vaksin adalah paracetamol in case nanti demam, dan vitamin agar tubuh tetap fit. Tapi bahkan in my case I didn't take any of them, instead I had a very large portion of meal alias jadi lapar banget, makan buah banyak dan minum banyak tentunya. But it depends seberapa kuat efek yang dirasakan then you think you need to take the pills.

Oh iya, you'll get notified tentang sertifikat vaksin pertama and it'll be sent through SMS with a link in it. Just click the link and you'll spend sometime wondering alias lemot banget LMAO. Or you can download aplikasi PeduliLindungi, it's less complicated.

It's supposed to be in the second week of August I'll be having my second dose of vaccine but, turns out ada pengumuman kalau vaksinasi dosis kedua ditunda sampai waktu yang TIDAK ditentukan and I was like "What?!"

Anyway, get vaccinated, people! Mending divaksin daripada dipajang di cover surat Yasin. Ain't it? 

So, how's your vaccine experience?














Share:

Day 6: Hari Tanpa Social Media

Day 6

27 April 2021, 

I'm not sure if I'm going to log back into my accounts on 29 April. I pretty much enjoy my time without social media. Beneran. On practical level, should my friends or some people want to contact me, they can reach me through WhatsApp, text me or simply call me or send me some e-mail, that's all. 

Maybe I can watch TV sometimes or reading news , tune into radio, some really basic things that will not potentially overwhelm me with things that I actually do not need to know. 

So you're going conservative? No. Because my mind is not.

I can spend much time to read books without significant distractions, edit some photos, cook some shit that I like. I need not scroll up and down, slide and swipe and put my face against screen.

But, let's see what I'll decide tomorrow. 

Share:

Day 5: Hari Tanpa Social Media

Day 5

26 April 2021

It's Monday and nothing much happened today. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa tanpa social media. Anyway tadi aku unsubscribe 2 lagi, so totalnya 50 subscription! Unbelievable like damnit!

What makes me wonder is siapa pemenang Oscar tahun ini. Haha. Aku gak tahu, or maybe I'll find out on 29 April when I'm back online, only if goes along the schedule. 

Tidak ada topik yang bisa dibagi saat ini. Mungkin besok. I'm just gonna enjoy my day. 

Share:

Day 4: Hari Tanpa Social Media

Nothing much happened today. No distractions and I can start taking conclusion that basically I'm fine without social media. But, still, who knows for tomorrow.

Oh, iya I unsubscribe 4 more shits today. The total will be 48 shits I unsubscribedm cool!

I'm actually going to share my opinion on how I use my Twitter. Okay, he we go. You know what, better I put it on the different posting. Haha.


Share:

Day 3: Hari Tanpa Social Media

I received less emails today. Yay!!!

I have something to share here. But, disclaimer first: it's not merely and mutually exclusive, because of not using social media, but you can have one less excuse anyway.

Jadi, aku bisa tidur jam sepuluh malam. It's like Moses split the red sea alias gak paham lagi dah. Dan ternyata salah satunya karena aku gak lagi cek-cek or scrolling timeline di Twitter or Instagram. Pas udah ngantuk, tidur aja. Letakin hape dan zzzzzz. 

Ah, tapi kalau emang dah ngantuk, ya ngantuk aja. Nggak perlu bawa-bawa socmed dan lainnya. Pasti ada yang bilang gitu. 

That's why aku kasih disclaimer di atas. Setidaknya, saat kita gak pakai social media, dan saat tubuh kita bilang "istirahat", kita istirahat aja. Karena, pernah nggak sih pas ngantuk, terus bela-belain melek dengan dalih "bentar lagi deh", "ntar ini dikit lagi", "nanggung lagi seru ni" dan sejenisnya dan akhirnya malah bablas sampai after midnight kita masih melek? Dan mungkin jadi overthinking dan bangun pagi harinya kepikiran hal-hal itu. 

Karena biasanya sebelum tidur aku masih asik ber-socmed, dengan absent-nya social media tersebut, I have less excuses to extend my "stay awake" for the sake of entahlah, yang pada akhirnya aku bisa istirahat aja. Tidur nyenyak. Mungkin ada yang mengalaminya juga, hal yang sama persis atau dengan variabel berbeda. I dunno. 

Emang nggak ada yang WhatsApp jam segitu? Ada, but it's groups. So I just left it that way. 

Oh, wait. Jadi aku ada delapan group WhatsApp yang aktif (maksudnya, chatting di sana. Bukan aku yang chat anyway. I'm stranger and I feel better and glad to act like or to be like one, setidaknya di beberapa group itu) and it's like non-stop. Like, really. Jesus. 

Jadi aku mute aja beberapa group itu. Kok nggak leave aja? Kan sama halnya kayak email subscription? 

Mmm...tidak sama actually. It's more like komunikasi 2 arah whatever. Group bisa bikin kita tetap dekat dengan kawan-kawan yang kita kenal in real life. But, anyway it's preference.

Oh iya, one last thing, tadi aku dengar katanya kapal selam sudah ditemukan(?). I mean, it didn't sound good. I have nothing to comment, just wish for the best. 







Share:

Day 2: Hari Tanpa Social Media

Day 2

23 April 2021

Aku tidak tahu apa-apa saja yang sedang trending di dunia maya. Siapa spill aib siapa, siapa yang blunder tentang apa, dan apapun lainnya yang biasanya langsung menyapa seperti influx. Aku tidak buka Twitter karena sudah uninstall kemarin, tapi tadi tanpa sengaja buka Instagram. Lagi-lagi, it's not signed in, luckily. Kenapa nggak dihapus saja? Tidak, karena nanti setelah ini berlalu aku juga akan buka Instagram lagi, entah dengan perspektif yang totally berbeda atau hanya sedikit bergeser. Jadi daripada install lagi, ribet. Lagian, I keep it there to test me. 

Ada email yang cukup penting, and I felt like kenapa ya emailnya seakan nyelip? Dan ternyata memang iya, karena banyak sekali email "subscription" yang masuk setiap hari. Dan email sebanyak itu ujung-ujungnya kena skip. 

Unsubscribe many things

Jadi aku mulai cek dan unsubscribe. Totalnya? 10? Bukan. 20? Bukan. 30? Bukan. 40? Yup. 44 subscription yang sudah aku unsubscribe. Mulai dari forum, media, promosi e-commerce apapun itu, dan masih banyak lagi.

Unsubscribe, berhenti berlangganan, subscribe
I unsubscribe many things


I hope dengan unsubscribe tadi email nantinya lebih clean dan tidak seperti tempat sampah yang dipentingkan. Really. Selain itu, dengan unsubscribe sadar atau tidak kita juga menyortir mana-mana saja yang memang kita butuh. Tidak hanya sekedar update. For the sake of "updates". I'm not gonna die for I stop subscribing those things. Dan email juga gak penuh. 

Oh, iya. Salah satu aku masukin e-commerce dalam daftar "tidak akan digunakan mulai 22-28 April 2021" adalah karena aku tinggal di luar pulau Jawa, tidak berada di sekitar kawasan hub yang dekat dengan kota besar di pulau Jawa. Jadi, ongkos kirim jelas berlaku. There is no such thing as "bebas ongkir". Dan aku juga hanya beli yang memang susah didapat di sini, seperti beberapa jenis produk perawatan tubuh. That's all. Jadi memang, tidak begitu urgent. Unless, nantinya aku mulai berbisnis di sana. Who knows.

So, better you check your email again dan sortir apa yang benar-benar perlu di-subscribe dan apa yang bisa dibuang. Bersih-bersih.


:D

Share:

Day 1: Hari Tanpa Social Media

Pernah kepikiran nggak sih untuk “puasa” atau tanpa social media? 

To be honest penasaran bagaimana, so I’m considering to stop using social media / information sources untuk satu atau dua minggu. Aku akan stop penggunaan social media yang selama ini aku gunakan, yakni:

  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook (meskipun aku bahkan sudah nggak tahu lagi cara menggunakannya)
  • Google news
  • Muatan berita di televisi (meskipun terkadang ini tidak bisa dihindarkan. I mean, we’re watching TV sometimes dan running text berita dengan polosnya ada di baris bawah).
  • YouTube
  • Online shop / e-commerce
  • Tentunya, akun-akun alter juga termasuk

Ada juga pengecualian seperti:

  • Whatsapp, karena biarpun aku nggak akan update status dan cek story, I’ll be using this apps. Ini seperti versi advance dari fitur SMS. So ya, I’ll be using this apps.
  • Email. In case ada email penting tentang pekerjaan, misalnya. Meskipun bahkan akun email “penting” isinya sebagian besar adalah subscription dan bulk dan spam yang pastinya akan automatically skipped by my eyes.
  • Blog. I’ll be using my blog to update about what’s going on when I’m not using social media for a while.

Jadi aku tidak akan menggunakan aplikasi di atas mulai tanggal 22 April 2021 sampai dengan 28 April 2021. Kalaupun nanti aku di tanggal 28 April ingin melanjutkan lagi untuk seminggu ke depan, aku tinggal menjalankan apa yang sudah berjalan satu minggu sebelumnya, which is pretty much under control, I expect.

Ada yang harus aku “clear”-kan agar teman-teman (di dunia maya) tidak mengira aku hilang atau gimana. 

  • Malam sebelumnya aku mengumumkan melalui akun Instagram (story dan feed) dan Twitter bahwa dari 22-28 April 2021 I’ll be stopping using social media, dan ada kemungkinan untuk ditambah tujuh hari lagi.
  • Selanjutnya aku keluar dari akun-akun social media yang selama ini aku gunakan. I logged out of my Twitter and Instagram accounts. Untuk Twitter aku “force stop” aplikasi karena, entah kenapa, biasanya setelah log out selalu saja auto log-in dan notifikasi langsung membanjiri layar. Aku buang widget news karena it’s pretty much distracting.  So, everything is clear. Alles klaar. 

So let’s kick it off with…


DAY 1

22 April 2021


Biasanya saat baru bangun pasti sebagian besar orang akan merah ponselnya, cek jam berapa, notifikasi tentang apapun, hanya sekedar tahu atau memang ditunggu dan penting. Apapun itu. Sama, aku bangun pagi ini, tetap meraih ponselku dan cek pukul berapa. Namun, karena sudah bear in mind bahwa no social media, jadi aku tidak terlalu risau. 

Biasanya aku bangun pagi dan sudah dibanjiri dengan informasi dan pesan-pesan, balasan, tentang isu yang sedang hangat. Hari ini aku tidak tahu apa-apa saja yang sedang trending, siapa yang melakukan apa, siapa yang melecehkan siapa, pejabat mana yang korupsi apa, buzzer mana yang menyerang siapa, buzzer mana yang membela siapa, meme tentang siapa, penambahan jumlah Covid-19 berapa, dan apa-apa lainnya. 

Berita terakhir yang aku tahu adalah tenggelamnya kapal selam di perairan Bali. Semoga saja segera ditemukan, I hope so, amen. Selain itu, tidak ada. Aku melakukan rutinitas seperti biasa. Membaca buku. Membalas pesan Whatsapp dari teman. Olahraga. Nothing’s exceptional. Oh iya, aku mimpi bertemu Nicholas Saputra. Jadi, di mimpiku aku melihat sepeda Nicholas Saputra terparkir and I was like “oh, it’s his!” the I turned around and found him grab the bike dan lanjut gowes sambil dilihatin berpuluh pasang mata. He’s just having pit-pitan. That might be counted exceptional. 

Menjelang siang, entah seperti sudah tertanam di alam bawah sadar ketika cek ponsel aku tidak sengaja menekan tombol Instagram. Luckily, it’s not signed in. Then I just went back out. Beberapa lama kemudian aku tidak sengaja menekan Twitter dan hampir saja aku melihat Home. Ini benar-benar refleks saja karena sudah menjadi rutinitas. Akhirnya, aku uninstall Twitter. 

Aku masih meraba-raba seberapa substansial kah penggunaan social media secara pribadi. Mungkin terlalu dini dan naif kalau menyimpulkannya sekarang karena ini baru saja satu hari. Tapi dari semua hal yang sudah aku coba uraikan, sebenarnya adalah bagaimana sebenarnya kemudahan menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Yup. Itu yang terlintas di pikiranku. Begini penjelasannya.

Aku pernah “tinggal” di Pulau Aiduma di Kaimana, Papua Barat. Pulau itu berjarak setidaknya dua jam perjalanan boat 2x40 PK dari pusat kota Kaimana. Tidak ada sinyal telepon di sana. Hanya tersedia telepon dan WiFi satelit dan itu sangat mahal. Jadi untuk penggunaan WiFi pun seringkali dibatasi karena harus berbagi juga dengan tamu. 

Dengan keterbatasan yang ada, setiap orang harus mulai memprioritaskan apa-apa saja yang essensial, dan apa-apa saja yang bisa di-skip seperti “ini bisa nanti”. Bahkan dalam hal komunikasi, seperti urusan suplai makanan selama seminggu dan permintaan khusus tamu dan bahan bakar. It’s a factor of condition.

Di tempat-tempat lain di mana koneksi jaringan internet cepat dan semua berjalan lebih cepat, seseorang akan perlahan beradaptasi, atau malah diharuskan untuk beradaptasi. Tujuannya adalah agar lebih mudah nantinya mengikuti perkembangan dan dalam hal penggunaan demi kemudahan. 

The thing is aku kadang bingung atau mungkin sudah larut dengan apa-apa saja yang baik untuk diikuti. Tapi ternyata ada dua hal yang berbeda:

  1. Perkembangan, transformasi dan adaptasi. Perkembangan teknologi dan bagaimana ia mengubah aspek-aspek kehidupan adalah niscaya dan kemampuan manusai untuk beradaptasi adalah penting. And that’s what we “have to” do.
  2. Produk dari perkembangan itu sendiri. We’re talking about products so ya ini termasuk social media, informasi terkini, media informasi, dan mungkin ada yang bisa menyebutkan lebih banyak lagi?

Kemampuan beradaptasi adalah penting karena demi keberlangsungan dan manfaat dan kemudahan yang akan didapat. Tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru, mengetahui bagaimana ia bekerja, atau kalau perlu mendalaminya. Apalagi sekarang hal-hal baru sangat mudah dicoba dan digunakan, karena pada dasarnya kita sudah mengenalnya. Seperti maraknya social media yang baru dan orang dengan mudah menggunakannya. Seperti log-in dengan email dan voila sudah jadi. We know the first step of how to use it, then it’ll go along with passion.

Nah, dengan semakin mudahnya dan banyaknya pilihan, kita kadang berada di grey area di mana itu seakan menjadi prioritas dan entitled to our existence. Ini yang perlu disortir. Ada dorongan untuk selalu mendapatkan informasi terkini atau apapun terkini, dan ada dorongan untuk sekedar ‘ada” di situ. So, like, your existence is defined by them. The products. You may think it’s partially true but what you start neglecting is that it’s not. Karena apa-apa yang ada di social media atau virtual world, or simply we can call it online identity is not 100% true about you. Mungkin saja orang posting karena tuntutan atau hobi. Musik, fotografi, masak, seni, DIY. But, it’s not defining you. It’s not defining me. Hanya karena stop di media social, so I start vanished. No. 

Ini penting for me, personally karena kalau tidak disortir, maka bisa saja aku “kecanduan” tanpa sadar apa sebenarnya itu. Moreover it’s virtual. Mungkin beda konteks ketika penggunaan untuk bisnis dan komersial, yang bahkan hal itu juga semakin jauh dari “definisi diri”. Because your product is not you, somehow. Atau tentang isu-isu penting, yang hanya karena kita tidak membicarakannya bukan berarti kita ignorant. Dan hanya karena membicarakannya bukan berarti kita terlihat alpha secara pemikiran. Lebih parah kalau kita malah jadi arogan. It’s a topic, so chill.

Dari kemudahan-kemudahan itu, timbul “kebutuhan-kebutuhan”, dan untuk menyortir mana-mana saja yang penting, berhenti menggunakan social media adalah salah satu cara yang aku ambil. Berbeda dengan di Papua Barat dengan keterbatasan jaringan dan koneksi, di sini koneksi cepat dan orang membicatakan satu hal ke hal lainnya dalam hitungan detik. 

Mungkin ada yang bertanya “Jadi kamu membatasi, menyulitkan atau menyiksa diri gitu?”

Mungkin. Tapi dari keadaan terbatas ini hopefully I know what defines me and what becomes my priority. Life is not floating in the unlimited virtual arena. And I don’t wanna be drowning deep or flying high in it. It’s just not the real world. 

 

Share:

Setelah Kematian

Sedikit tergelitik karena banyak sekali berita kematian belakangan ini. Mungkin beberapa di antara kita ada yang "Oh, meninggal. Innalillahi" atau "Omigod. Nggak percaya" dengan berbagai ekspresi, mulai wajar sampai terkejut atau bahkan takut. Sebenarnya apa yang terjadi setelah kita meninggal nanti?

Ada berbagai versi apa yang terjadi setelah kematian, dalam beberapa agama meskipun secara teknis berbeda tapi pada intinya akan menuju ke hal yang sama: kehidupan abadi. Tapi seperti apa kehidupan abadi itu? Jadi konsep kehidupan kembali setelah kita mati adalah apa yang sebagian besar berlaku dipercaya oleh sebagian besar orang. Terutama mereka yang beragama, entah agama Abrahamik atau agama-agama besar Asia lainnya. Dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam mengenal kebangkitan setelah kematian, dan adanya konsep surga dan hukuman, meskipun secara teknis sedikit berbeda satu sama lainnya tapi intinya kurang lebih sama. The big picture is basically the same. Agama lainnya mengenal konsep reinkarnasi, terulangnya kehidupan sampai tercapainya kesempurnaan rohani, mencapai nirvana. Semua bermuara ke kehidupan abadi bahagia. 

Mungkin bagi yang skeptis dengan penjelasan di atas akan mengernyitkan dahi dan mengangkat alis. Ya, karena itu bagian dari doktrin agama dari kecil. Ada versi yang lebih mudah diterima tentang apa yang terjadi setelah kematian yakni proses peleburan tubuh dengan alam. Sederhana saja, tubuh akan mengalami kematian sel, diikuti dengan pembusukan organ-organ dan akhirnya tubuh akan terurai. Ini akan berlaku entah tubuh yang telah mati dibiarkan tergeletak begitu saja, atau dimakamkan. Tentunya perlakuan-perlakuan tersebut akan berbeda dalam cepat tidaknya pembusukan. Seperti, orang yang dimakamkan dengan dimasukkan langsung ke liang lahat akan mempunyai kemungkinan pembusukan lebih cepat, karena adanya peran organisme pengurai di dalam tanah. Ada juga yang lama mengalami proses penguraian, misalnya karena berada di daerah permafrost, jadi tubuh seperti disimpan di freezer. Namun ada juga campur tangan lain seperti mumifikasi, atau pembakaran jenazah dan kremasi, sebelum akhirnya dilarung kembali ke alam, atau sekedar disimpan di guci di ruang keluarga. 

Mungkin ada yang beranggapan bahwa kehidupan kembali setelah kematian (afterlife) hanya sebagai obat keputusasaan dan rasa takut akan kematian itu sendiri. Karena pengalaman manusia di dunia ini adalah hidup. Jadi seperti "Tenang, kamu akan baik-baik saja. Ada kedamaian yang lebih besar dan kekal nanti", padahal juga tidak diketahui dengan pasti seperti apa nantinya. Setidaknya, dibentuknya keyakinan akan konsep tersebut memberikan kekuatan kepada individu dalam menerima konsep kematian itu sendiri, jadi orang bisa lebih menikmati hidup. 

Terlepas dengan adanya kehidupan setelah kematian, bisa dipastikan secara fisik tubuh akan kembali ke alam. Entah zat-zat dalam tubuh bermanfaat untuk mendukung kehidupan baru di dalam tanah, memberikan nutrisi dengan abu-abu yang dilarung ke sungai atau laut atau luar angkasa, kematian memberikan gambaran tentang siklus kehidupan yang tetap memberikan manfaat tanpa kita sadari. Bukankah banyak yang ingin tetap bermanfaat bahkan setelah meninggal? Mungkin bukan berupa legacy nilai-nilai kehidupan yang berdampak besar, atau penemuan-penemuan revolusioner, tapi dengan betapa signifikan tubuh yang terurai berperan dalam kehidupan selanjutnya bisa sedikit memberikan gambaran yang pasti. Ya, mungkin bukan kehidupan abadi di surga yang indah, tapi setidaknya tahu pasti kemana akan kembali: alam akan mengabadikan kita dalam proses kehidupan organisme yang akan terus berlanjut.


Share:

Love Hurts In The End

Aku pernah memasukkan kalimat itu ke dalam lyrics lagu yang kutulis beberapa bulan yang lalu. Lebih tepatnya "Love pleases but then hurts in the end". Mungkin ada yang bertanya mengapa aku tiba-tiba menulis tentang itu? Well...


Cinta. C I N T A. I don't like this 5-letter word. Tapi aku bersyukur pernah mengenalnya. Sering merasakannya. Menurutku, cinta adalah buah tangan Tuhan yang paling indah yang  pernah di build-in-kan  ke dalam jiwa setiap manusia. Banyak kejadian historis yang ujung-ujungnya jika kita drag penyebabnya romansa dua insan. Kisah Troy, misalnya. Bagaimana Helene jatuh cinta kepada Paris pada pandangan pertama (terlepas intrik dan intervensi cupid ato pihak-pihak lain yang tidak diharapkan).Mereka akhirnya kabur dari Yunani, dan, terjadilah perang. Kisah segitiga Romeo-Juliet-Paris yang berujung pada tewasnya mereka bertiga. Bukan hanya tragedi, namun, perdamaian tercipta juga karena cinta. Flower Generation, misalnya. Mereka yang anti Perang Vietnam begitu berperan dalam menyebarkan perdamaian lewat musik. Sebut saja The Beatles, The Rolling Stones, Big Brother and the Holding Company. Peristiwa di tahun 1960-an itu sangat berpengaruh terhadap musik, seni, fashion, bahkan politik yang mempromosikan perdamaian dan kebebasan, karena mereka mencintai perdamaian dan kebebasan. Cinta. Masih banyak lagi kisah cinta yang berperan dalam peradaban manusia. We are raised in it.


Aku percaya tidak ada yang gratis dalam kehidupan ini. Begitu pula dengan cinta. Ketika kita jatuh cinta, banyak hal yang tidak terasa telah kita korbankan. Mulai dari hal-hal yang tak kasat mata, semisal pikiran kita dan waktu. We keep thinking of someone we're in to, don't we? Padahal, instead of  thinking of it, kita bisa saja fokus ke hal-hal lainnya yang lebih urgent, seperti kuliah, pekerjaan, hobby. Sedangkan hal yang bersifat materiil yang secara tidak sadar kita korbankan lebih banyak lagi. Mulai dari hal-hal yang paling daily, seperti pulsa (we keep texting, trying to make a call, chatting, apps-ing, stalking, tweeting, ANYTHING! Just to keep in touch with them), hadiah, uang jalan, uang bensin, banyak sekali. Bukannya bermaksud menjadi sangat perhitungan. Tidak. Ini hanya deskripsi dan...sedikit elaborasi. Harap jangan miskonklusi. See? :)


Banyak hal yang kita lakukan demi mendapatkan cinta, memilikinya, menjaganya, atau sekedar--sok tegar--melepaskannya. Nah, di sinilah ambivalensi cinta bekerja. Mulai dari awal kita jatuh cinta, kita pasti merasakan perasaan bahagia, namun tidak sedikit pula rasa khawatir beradu. Love pleases but then hurts in the end


Ketika kita melakukan verbalisasi cinta kepada, let's say, target, perasaan khawatir dan bahagia benar-benar beradu. Mungkin kebahagiaan akan tetap ada dan bahkan semakin besar ketika cinta kita berbalas. Begitu juga sebaliknya. Putus asa, hampa, terluka, mencoba bahagia--meskipun sulit--kita rasakan ketika cinta kita hanya one side. Love pleases but then hurts in the end.


Ketika kita memasuki jenjang hubungan yang lebih serius, pacaran misalnya, ambivalensi cinta tetap bekerja. Perasaan cemburu, sayang yang berlebihan, posesif adalah contohnya. Mungkin kebahagiaan itu akan berlanjut. Namun, bisa saja tidak. Putus, misalnya. Entah karena memang sudah tidak ada kecocokan lagi, atau bosan, atau selingkuh, whatever. Love pleases but then hurts in the end.


Memasuki jenjang hubungan yang jauh lebih serius lagi, pertunangan atau pernikahan, tetap saja sama. Hubungan itu bisa langgeng sampai menjadi keluarga ideal, bahagia, dengan anak-cucu dan segala tetekbengeknya. Namun, bisa saja tidak. Perceraian, perselingkuhan--yang berujung pada perpisahan--misalnya. Kalaupun--kembali lagi ke keluarga bahagia--iya, tetap saja kematian juga yang ambil alih. It's all about time.  Love pleases but then hurts in the end.


Wajar kalau kita takut kehilangan. Wajar kita ingin selalu memiliki. Tapi, kita juga harus menyadari bahwa there's a price to pay, somehow, in this life, isn't it? Kehidupan terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Let love colour our life journey. It's not that bad. Bahkan seperti kisah Romeo-Juliet-Paris sekalipun. It's not that bad. But one for sure: deal with it. That it is: Love pleases but then hurts in the end.



with love, as usual
Rangga
  

Share:

Pernikahan, Kematian, Kelahiran

Sedikit cerita tentang pengalaman saya tahun lalu, ketika dalam dua hari menghadapi tiga hal yang sebenarnya sebuah awal: pernikahan, kematian, dan kelahiran. Semuanya adalah sebuah awal. Pernikahan adalah awal kehidupan baru dalam membangun keluarga dan beregenerasi. Kematian adalah awal dari proses manusia secara fisik untuk kembali ke alam. Kelahiran adalah awal dari sebuah kehidupan manusia.

Bedanya, pernikahan dan kelahiran bisa diprediksi dan ya, it is expected. Sedangkan kematian, meskipun mungkin bisa diprediksi tapi tetap saja, pikiran menolak ide itu. Parahnya kematian itu pasti. Proses menuju kematian itu loh yang seringkali menghantui.⁣

Dulu pernah mengalami momen berada di antara kematian. Ini terjadi ketika keponakan yang baru lahir harus dirawat di rumah sakit, dan setiap hari menyaksikan kematian demi kematian selama seminggu berada di sana. Dulu saya orang yang takut dengan kematian, sampai akhirnya dihadapkan dengan kematian itu sendiri, yakni keponakan. And you know what happened? Saya jadi nggak takut lagi. Otak sudah memproses bahwa itu hal yang alami, pasti, siklus semesta untuk "endure"... melepaskan yang lama digantikan dengan wajah-wajah baru.⁣

Saya benar-benar bersyukur karena bisa keluar dari “ketakutan yang sangat menakutkan” itu. I mean, selama di rumah sakit itu semacam kita harus ambil terapi alergi, sedikit demi sedikit yang pada akhirnya menjadi terbiasa. Dan itu melegakan! Thank God! ⁣

And you know what, it's such a big deal for me. Because how we embrace the concept of death has impacts on how we embrace life. Our life. And live it. ----terlepas mereka orang beragama yang percaya kehidupan setelah kematian, atau mereka yang tidak percaya. ⁣

Ya setiap orang beda-beda ngalaminnya. Ada yang sudah pernah dihadapkan dengan kematian, dan langsung make decision to do something yang dari dulu pengen dilakuin, ada yang masih skip, ada yang harus berkali-kali baru sadar. Karena like it or not ya, se-enjoy²-nya kita nikmatin hidup, pasti masih dibayangi kengerian itu. Dan nanti akan ada waktu when there's only you and death, and better you think about it, deal with it, accept it, luangkan beberapa saat untuk embrace konsep itu. ⁣

Share:

Makna Idul Fitri


Maybe selama Ramadan kadang tidak bisa menahan diri dari godaan takjil-dkk and overwhelming appetite setelah bedug maghrib. Maybe the next two days will be filled with joy, love, forgivng dan larut dalam festival makan besar, opor ayam- and-friends. It's okay, karena, maybe, Ramadan datang lagi tahun depan.


Most people say besok hari kemenangan, and hopefully we always note bahwa setiap hari adalah perjuangan. Semoga self-control ini tidak memudar bersama gema takbir dan suara petasan. Semoga selalu ingat bahwa Ramadan bukan hanya pelengkap untuk sebelas bulan, namun sebagai pelita sepanjang kehidupan.


Semoga kontrol diri tidak sebatas menahan air dan nasi, namun melawan belenggu fanatisme dan intoleransi.


Selamat Idul Fitri.

Mohon maaf lahir & batin.





Share:

Ramadan: Bulan Ketika Aku Meragukan-Nya


Sebagai salah satu dari setidaknya 200 juta orang Indonesia yang secara administratif beragama Islam, pastinya Ramadan adalah salah satu hal yang yang paling kunantikan setiap tahunnya. Mulai serunya bangun jam 3 pagi untuk sahur, ngabuburit, melimpahnya menu berbuka, bagaimana menjadi religious itu begitu menyenangkan meskipun euphoria itu hanya bertahan tidak lebih dari seminggu saja ketika segalanya akhirnya terlihat hanya sebatas festival kuliner sebulan dan diskon besar-besaran, sama seperti festive season lainnya. Namun yang tidak habis pikir buatku adalah bagaimana sesuatu yang diluar dugaan bisa terjadi,  terutama karena ini menyangkut hubunganku dengan Tuhan, saat Ramadan pula.

Siang itu sama seperti hari-hari biasa—panas, berdebu—ditambah harus menahan lapar dan dahaga. Aku tiduran sambil nonton TV. Killing time lah. Banyak sekali iklan sirup dan biscuit sepanjang Ramadan, yang menurutku “Ramadan Banget!”  Gak afdol dunia pertelevisian kalau belum ada iklan-iklan itu, ditambah sinetron-sinetron yang “mendadak Syariah” dan beberapa kisah orang-orang yang menjadi muslim yang—entah bagaimana caranya—terlihat sangat meyakinkan, seperti pernyataan brand ambassador iklan”ini adalah shampoo yang akan kugunakan selamanya karena menjawab semua kebutuhan rambutku”. Sampai suatu ketika aku melihat iklan obat kumur edisi Ramadan.

“Siapa bilang setan dibelenggu saat Ramadan?” suara mas-mas terdengar bersama dengan ilustrasi kuman berbentuk setan yang menginvasi mulut, dan berakhir dengan tampilan merk produk itu sendiri.

Mungkin itu terlihat sepele dan sebatas strategi marketing yang—jujur saja—okay. Tapi, ternyata hati dan pikiranku menuntunku jauh ke dalam, apa sebenarnya maksud dari iklan itu.

Menurutku, segala sesuatu yang kita lakukan adalah tanggungjawab kita sendiri, atas dasar kesadaran manusia untuk mencerna, membuat konsiderasi, keputusan dan tindakan. Paham pahala-surga dan dosa-neraka yang diajarkan kepadaku selama ini sangat mengundang sekaligus intimidatif. Dan aku sangat menyayangkan bagaimana sampai dengan sekarang belajar agama hanya sebatas belajar alif-ba-ta dan doktrin-doktrin yang “tidak bisa ditembus” dengan pertanyaan-pertanyaan awam sebagai manusia bebas.  

Ketika tindakan dan akibat yang ditimbulkan adalah manifestasi dari dalam diri manusia, hal itu bisa juga berlaku dengan paham-paham tentang dunia setelah mati (after life). Bagaimana akhirat adalah gambaran akan harapan manusia, karena pada dasarnya manusia ingin terus hidup dan sempurna dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan bahkan dengan begitupun manusia masih tidak akan puas. People can’t get enough. Dan ketika mereka bertemu dengan kematian, gambaran selanjutnya adalah kehidupan itu sendiri, karena kehidupan adalah satu-satunya yang ada dalam diri, dan (manusia)  tidak siap dengan ketiadaan.

Di situ aku mulai less attached dengan apa yang telah diajarkan selama ini. Tentang harapan surga dari kebaikan yang kita lakukan, atau bayangan siksaan karena keburukan, itu pun masih seputar after life…another life we dream on.

Aku sadar bahwa salah satu esensi dari puasa adalah “menahan”.  Tidak seperti yang sekarang terjadi, puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus selama 14 jam, dan pada 3 jam terakhir kita disibukkan dengan berbelanja menu-menu untuk berbuka yang bisa di luar ukuran sehari-hari ketika tidak sedang berpuasa. Dari situ saja sebenarnya kita tidak bisa—menahan  untuk menuruti keinginan gastronomis. Percaya atau tidak, bahwa banyak sekali hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting tapi bisa kita anggap penting hanya karena ini Ramadan. Yang paling gampang adalah membeli baju –dan pelaku bisnis sangat memahami ini, sialan!—dan barang-barang lainnya akan menjadi justifiable karena Ramadan dijadikan excuse. Ini menjadi 30 hari yang penuh dengan supply-(enforced) demand.

Memang tidak semuanya, karena beberapa memaknai Ramadan sebagai kontemplasi dan introspeksi. Memulai kebaikan dari diri sendiri, secara sadar dan ikhlas. Bahwa kebaikan itu dilakukan agar mendapat reward dari Tuhan. Namun, aku juga menyadari bahwa sebenarnya kebaikan dan keburukan itu pasti adanya meskipun tanpa atribut-atribut religi. Bahwa “memberi pertolongan akan meringankan mereka yang membutuhkan” akan tetap begitu adanya meskipun itu tidak dilakukan atas nama / demi / untuk agama, Tuhan, atau dilakukan dengan tulus atau terpaksa. Dari sini aku mulai meragukan Tuhan.

Mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang ketika aku baru yakin akan takdir setelah sekilas mendengarkan percakapan di serial “Prison Break”. Ada beberapa hal yang memang di luar kuasa kita, seperti halnya di film “About Time”, wajar manusia akan terus mencari dan tidak akan pernah puas.

Sama halnya seperti alur semesta yang menuju ke kenegativan, aku pun percaya akan hal itu. Karena itulah manusia menua dan membusuk, alam semesta semakin menjauh seiring menurunnya gravitasi, dan keseimbangan akan goyah.  Aku percaya adanya kehancuran galaxy, tempat peradaban manusia mengukir cerita demi cerita. Ketika semesta menuju kehancuran, dan kehidupan menghilang, aku bertemu dengan kekosongan dan ketiadaan.

Dan apa yang ada dalam ketiadaan itu?

Mungkin di situlah aku akan melihat Tuhan. Karena manusia tidak bisa dengan ketiadaan dan kekosongan, atau aku akan membiarkan ketiadaan dan kekosongan begitu saja.




Share:

Kisah Hidupku (The Story of My Life)

Bermula dari saling pandang antara ayah dan ibuku dan berujung dengan percampuran cairan genital (entah secara sadar atau karena khilaf), kedua sel itu berevolusi dengan cepat menjadi homo sapiens bernama Rangga.

Tidak begitu kuingat bagaimana fase awal kehidupanku. Hanya beberapa kenangan, seperti bagaimana kami – aku dan teman-temanku – selalu menirukan apapun yang kami tonton di televisi saat itu. Mulai dari kita menghias kaca depan dan samping rumah dengan tanaman menjalar dan bunga-bunga yang ada  untuk ritual berhala seperti yang ada di serial Siluman Ular Putih, bagaimana kami bermain Power Rangers yang beranggotakan sampai sepuluh orang dan kami berebut warna karena kenyataannya Power Rangers cuma ada lima dan tak seorangpun mau menjadi Alpha, sampai percaya bahwa Bona dan Rongrong adalah nyata dan rajawali bisa bicara meskipun disertai keheranan bagaimana mungkin murid bisa pacaran sama guru ceweknya.

Banyak  sekali hal-hal konyol lainnya yang ada di pikiranku. Dulu aku yakin sekali kalau tahu yang dimasak setiap harinya dipetik dari pohon, dan semangka menggantung seperti jambu. Beberapa takhayul juga sangat dipegang teguh, seperti jumlah benjolan yang ada di pergelangan tangan bagian dalam adalah banyaknya anakmu kelak, ketika kuku dipendam di tanah maka setelah tiga hari akan berubah menjadi uang Rp50 dan akan menjadi Rp500 kalau itu berupa sekaleng penuh kelereng. Namun sayang sekali karena tidak sesuai dengan yang kami bayangkan, kami terus memaksakan harapan bodoh itu dengan memperpanjang waktu dari tiga hari menjadi seminggu, sebulan bahkan setahun. Untungnya kami cepat melupakan hal itu.

Beberapa hal yang kurang mengenakkan juga terjadi, seperti bagaimana aku selalu dibanding-bandingkan dengan saudaraku. Kenapa aku tidak setangkas, sepintar, serapi, tidak ceroboh atau se-lebih-baik dari apa yang saudaraku lakukan, di samping fakta bahwa aku tidak seperti anak laki-laki lainnya yang bisa main sepak bola dan olahraga lain. Kadang itu hanya berupa ucapan dari orangtua, atau sekedar ejekan dari teman-teman kakakku dan kakakku atau juga dari teman-teman ketika aku masih sekolah dasar. Untungnya aku terbiasa dengan hal itu dan diam adalah satu-satunya cara yang kuanggap tepat karena aku bakal bete seharian kalau aku meladeni hal-hal begituan yang berujung dengan aku menangis sendirian.

Fase selanjutnya adalah  saat usiaku beranjak sebelas tahun, dunia putih merah berubah menjadi putih biru dan aku lebih percaya diri dan terbuka. Mungkin karena tempat dan teman-teman baru. Namun, perlakuan tidak mengenakkan juga kualami di tahun pertama dunia baruku. Bagaimana siswa-siswa satu kelas menjadikanku bulan-bulanan karena mereka menganggapku … I dunno what to say…berbeda? Atau apapun. Di samping mereka kesal karena aku berteman dengan para kakak kelas. Aku sudah mulai memasuki fase “aku tidak mau ambil pusing” dengan sikap-sikap seperti itu. Sempat kuingin sekali bilang karena mereka tidak mau berteman denganku makanya aku berteman dengan senior karena mereka mau berteman denganku (sederhana, kan?), tapi kuurungkan dan terus melanjutkan rutinitas sehari-hari dan semuanya berakhir setelah satu tahun.

Masa putih biru pun berubah menjadi putih abu-abu di mana aku menjad pribadi yang lebih terbuka dan lebih berekspresi. Aku mengenal dunia seni melalui teater dan dunia hitam putih melalui kelompok debat. Mungkin dunia teater sangat berperan penting dalam membentuk karakterku yang lebih ekspresif dan tidak ada tedeng aling-aling. Sedangkan dunia debat mengajarkanku bagaimana menjadi konsisten dan menerima rasionalitas dan berelaborasi berargumen. Bahkan nantinya hal itulah yang menjadikanku selalu bertanya-tanya tentang berbagai hal dan membuatku tahu lebih banyak tentang lingkungan, kehidupan bahkan yang lebih luas, semesta tempatku hidup. Masa-masa ini juga adalah masa ketika aku memasuki apa yang orang anggap “abu-abu”. Terlepas dari debat yang black & white, aku mulai menelusuri dunia “abu-abu” yang penuh tanya dan kontroversi. Aku mengenal cinta untuk pertama kalinya dengan teman sekelasku, dari situlah aku memulai kehidupan “abu-abu”.

Hari berganti minggu, kemudian menjadi bulan dan tahun dan seketika itu dunia remaja yang dielu-elukan berakhir. Namun, seragam putih abu-abu yang pernah kupakai selama tiga tahun tidaklah luntur dari kehidupanku. Sampai suatu hari aku memutuskan untuk coming out of the closet. Hal itu kulakukan karena ingin membiasakan lingkungan sekitarku (setidaknya teman-teman kuliah) untuk melihat kenyataan dan mulai menerima. Menurutku, entah itu discreet atau coming out, tujuannya sama yakni melindungi diri karena itu insting paling mendasar semua makhluk di planet ini.

Hal yang paling penting adalah ketika aku menjadi atheist meskipun hanya cuma beberapa bulan. Sungguh kebetulan karena aku menjadi atheist ketika sedang menonton iklan obat kumur saat bulan Ramadan. Aku paham semakin chic dan “ngena” kalimat iklan, semakin diingat dan dikenal iklan itu dan berpengaruh terhadap tingkat kesadaran masyarakat dan berujung dengan angka.

Jadi iklan itu berkelakar bahwa tidak semua setan terkurung saat bulan Ramadan. Mereka menggambarkan setan sebagai kuman yang berkembangbiak di mulut. Dari situ aku mulai memahami bahwa segala sesuatu berasal dari diri kita, kebaikan, keraguan, keburukan karena kita memiliki kebebasan yang menjadi hak paling asasi ketika kita lahir ke dunia ini. Aku mulai skeptis dengan paham ketuhanan, apalagi dengan paham setan malaikat dan kehidupan setelah mati. Pada akhirnya, meskipun masih skeptic, aku percaya adanya Tuhan karena mungkin hanya pemikiranku saja yang tidak mampu menjangkau konsep itu. Aku melepaskan label agama dari dalam diriku dan menjalani hidup tanpa beban “kemungkinan kehidupan yang dijanjikan setelah mati”. Setidaknya aku masih percaya Tuhan. Maksudku, biarlah Tuhan ada dalam ketiadaan atau tiada dalam keberadaan-Nya. Menurutku, Dia tidak peduli, manusia saja yang seringkali bikin ribut.

Hal penting lainnya adalah ketika aku jatuh cinta, patahhati, dan benar-benar memahami makna keihklasan. Selain itu, aku juga mengalami momentum di mana aku berada diantara kematian. Ini terjadi ketika keponakanku yang baru lahir harus dirawat dirumah sakit, dan aku menyaksikan kematian demi kematian setiap hari selama seminggu berada di sana. Aku adalah orang yang takut dengan kematian, sampai akhirnya dihadapkan dengan kematian itu sendiri, yakni keponakanku. Aku benar-benar bersyukur karena bisa keluar dari “ketakutan yang sangat menakutkan” itu. Maksudku, itu semacam terapi alergi, sedikit demi sedikit yang pada akhirnya menjadi terbiasa. Dan itu melegakan! Thank God!

Aku mulai memasuki dunia kerja (dunia sesungguhnya) yang tidak ramah dan tidak semanis apa yang selama ini dibayangkan. Untungnya aku tidak banyak membayangkan jadi aku melihatnya dengan realistis, menjalaninya dan menikmatinya. Aku mulai mengunjungi banyak tempat baru, berinteraksi dengan orang-orang baru, dan mencoba hal-hal baru lainnya. Aku mencoba meresapi setiap langkah kaki, setiap pixel obyek yang kulihat, dan setiap desibel suara yang kudengar. Aku berencana untuk menjelajah sejauh yang aku bisa, melihat dunia, karena dari situ aku yakin akan belajar banyak hal. Sampai suatu ketika aku kembali bertemu keluargaku. Dari sinilah aku mengalami fase kehidupan selanjutnya, dan ini penting.

Mungkin aku banyak belajar dari melihat dunia baru dan segala tetek-bengeknya. Namun, keluarga mengajarkanku satu hal, yakni dedikasi. Mungkin aku egois karena selama ini hanya berkutat dengan duniaku sendiri. Being single and happy. Lajang dan bahagia. Yey!

Memang lajang tidak ada beban dan tanggungan, namun bahagia juga bukan menjadi jaminan. Aku mulai memaknai “kebahagiaan diri” dengan bagaimana sebenarnya dengan apa yang kukerjakan, materi yang didapat akan bisa bermanfaat bagi orang-orang di dekatku, dan itu dimulai dari keluargaku. Instead of menyisihkan sebagian kecil dan sisanya hanya untuk duniaku yang pasti tidak akan pernah puas, kenapa tidak sepenuhnya memberikan manfaat yang lebih buat mereka? Mungkin memang tidak banyak, namun akan lebih berarti, dan ini adalah bentuk terima kasihku kepada mereka yang selama ini selalu mendukungku. Mungkin terlambat, namun aku telah memulainya, dan aku bersyukur akan itu.

Biarlah segala ketidakcocokan yang ada tetap begitu adanya. Ada saat di mana kita lah yang harus mengerti dengan segala hal yang terjadi, bukan selalu membela diri dan bersikukuh dengan argument filosofis dan (terkadang) ilmiah yang terdengar mutakhir. Mungkin kita bisa bersikap seperti itu, namun, jarang sekali kita melihat bahwa mereka tidak mengalami apa yang pernah kita alami. Karena di balik apapun tentang kehidupan kita, keluarga berjalan seperti sediakala, dengan kesederhanaan akan harapan dan rutinitas kehidupan. Keluarga akan selalu berawal dengan menjadi balita, masa sekolah, bekerja dan berkeluarga. Dari situlah dituntut sikap bijak kita, yakni memahami dan embrace. Toh itu tidak berarti kita melepas segala idealisme dan harapan personal yang telah kita bentuk.

Karena hidupku akan tetap menjadi hidupku, seperti halnya kehidupan setiap makhluk di alam semesta ini. Aku hanya ingin hidupku seperti tanah yang bermanfaat tak termakan jaman. Yang menjadi pijakan setiap zat yang melewatinya, menumbuhkan harapan yang tertanam di dalamnya, menyerap panas dingin manis pahitnya dunia, dan menguraikan kesedihan dari fana siklus kehidupan. 

Share:

Back to ...


This is my last posting before I leave this island this morning.

Why I picked this song? It tells the moment when I have to return and leave all the things I've been through here, for something I had ever known and I know it took times to feel it good.

I leave Batam along with memories, moments, shits done and things undone, shows it's not yet over. Maybe I'll be back here someday for good and better, not for worse or better.


It's not about romance, it's not about styles, it's not about bank, it's all about time.

Time change, people change, choice remains.


"Back To Black"

He left no time to regret
Kept his dick wet
With his same old safe bet
Me and my head high
And my tears dry
Get on without my guy

You went back to what you knew
So far removed from all that we went through
And I tread a troubled track
My odds are stacked
I'll go back to black


We only said goodbye with words
I died a hundred times
You go back to her
And I go back to...


I go back to us


I love you much
It's not enough
You love blow and I love puff
And life is like a pipe
And I'm a tiny penny rolling up the walls inside

We only said goodbye with words
I died a hundred times
You go back to her
And I go back to...

We only said goodbye with words
I died a hundred times
You go back to her
And I go back to...

Black, black, black, black, black, black, black,
I go back to...
I go back to...

We only said goodbye with words
I died a hundred times
You go back to her
And I go back to...

We only said goodbye with words
I died a hundred times
You go back to her
And I go back to black
Share: