Bird's Nest Business In Bangka, Indonesia

bird nest, swift nest, bird nest building, bangka
Bird's nest in the city of Pangkal Pinang, Bangka Island

When you visit Pangkal Pinang, Bangka’s biggest city, you’re gonna find out buildings with more than 5-story in heights seemed like abandoned, but you know what, the old “ignored” buildings give the owners millions every month. It’s none other than from the bird’s nest they harvest. Ya, bird’s nest is one of the promising revenue booster in Pangkal Pinang and many people invest to rise the building just for them – the birds.

Bird’s nests are created by swiftlets using solidified saliva, which are harvested for human consumption. Kampung Bintang is one of the city areas well-known for its nesting houses. Here we can find out building for bird’s nesting. The owners will play bird’s sound to attract the birds to come and nest. Then they will harvest them every month. It costs from 7 - 15 million Rupiah (USD500 – 1,100) per kilogram.It's worth due to its high nutritional value and good for health. No surprise if people are willingly to build their nesting houses, some people from Jakarta, Singapore, Malaysia and Hong Kong own the nesting houses.

Just so you know that Kampung Bintang is also popular for its culinary destination, especially with pork menus. As Bangka has significant numbers of Chinese descent population, the Chinese culture influences are easily identified in everyday life, and many festivals has become annual events here such as Chinese New Year, Ceng Beng, Mooncake Festival and more. This island is one of the places where Chinese, Malay and other groups of Indonesian citizen live in coexistent and harmony. 







Share:

Explore Bangka: Laughing Buddha in Buddhist Temple "Puri Tri Agung"


The Laughing Buddha outside the temple

If Bali has the iconic Uluwatu Temple at the southernmost tip of the island, Bangka has a Buddhist temple standing at the hilltop facing the sea as one of its main tourism destinations.  It is called Vihara Puri Tri Agung, and is located in Pantai Tikus, Bangka Regency.


We went there during the Vesak Day and it was easy to access, basically. It was 40 minutes from Pangkalpinang—the biggest city in the island—by car or motorbike. Along the way to get there we could see large area of swamp, palm and rubber plantation. Not to mention, we went there in the afternoon thus it was windy but warm.


Once I got there I was amazed of how great this temple looked. It stood at the 30-meters-above-the sea-level hilltop and faced the South China Sea. Just like any other Buddhist temple with Asian influence, red and gold color dominated the building. We could find Kwan Im Goddess and Laughing Buddha statue outside the temple. Once I stepped into the inner side, I found this temple is…fancy in its kind.  What I really liked about this temple was its rounded shape and how it was located. And the ceiling!


We decided to get down the beach to seize some moment. It was white sand beach with big rocks “just like scattered” by the coast and it was beautiful. I saw some people enjoying the sand, playing with water and having some selfie with friends. I just walked by and found out a fisherman with his big-size catch!


There’s a story why this area was called as Pantai Tikus (Tikus Beach). People said that there’re lots of “jalan tikus” (shortcuts) used to smuggle the tin out of the island. The smuggler said that the area was haunted—to make people scared to come to this area and thus make their smuggling activity smoothly run.  Just so you know that Bangka—along with Belitung/Billiton—is rich of tin though the mining activities are nowadays very restricted for environment sustainability purpose.


Maybe we could not see the sunset as the hill barred the horizon behind the beach, but we still could see the big rocks turned gold under the afternoon shine. And trust me, it was relieving.




Share:

Ramadan: Bulan Ketika Aku Meragukan-Nya


Sebagai salah satu dari setidaknya 200 juta orang Indonesia yang secara administratif beragama Islam, pastinya Ramadan adalah salah satu hal yang yang paling kunantikan setiap tahunnya. Mulai serunya bangun jam 3 pagi untuk sahur, ngabuburit, melimpahnya menu berbuka, bagaimana menjadi religious itu begitu menyenangkan meskipun euphoria itu hanya bertahan tidak lebih dari seminggu saja ketika segalanya akhirnya terlihat hanya sebatas festival kuliner sebulan dan diskon besar-besaran, sama seperti festive season lainnya. Namun yang tidak habis pikir buatku adalah bagaimana sesuatu yang diluar dugaan bisa terjadi,  terutama karena ini menyangkut hubunganku dengan Tuhan, saat Ramadan pula.

Siang itu sama seperti hari-hari biasa—panas, berdebu—ditambah harus menahan lapar dan dahaga. Aku tiduran sambil nonton TV. Killing time lah. Banyak sekali iklan sirup dan biscuit sepanjang Ramadan, yang menurutku “Ramadan Banget!”  Gak afdol dunia pertelevisian kalau belum ada iklan-iklan itu, ditambah sinetron-sinetron yang “mendadak Syariah” dan beberapa kisah orang-orang yang menjadi muslim yang—entah bagaimana caranya—terlihat sangat meyakinkan, seperti pernyataan brand ambassador iklan”ini adalah shampoo yang akan kugunakan selamanya karena menjawab semua kebutuhan rambutku”. Sampai suatu ketika aku melihat iklan obat kumur edisi Ramadan.

“Siapa bilang setan dibelenggu saat Ramadan?” suara mas-mas terdengar bersama dengan ilustrasi kuman berbentuk setan yang menginvasi mulut, dan berakhir dengan tampilan merk produk itu sendiri.

Mungkin itu terlihat sepele dan sebatas strategi marketing yang—jujur saja—okay. Tapi, ternyata hati dan pikiranku menuntunku jauh ke dalam, apa sebenarnya maksud dari iklan itu.

Menurutku, segala sesuatu yang kita lakukan adalah tanggungjawab kita sendiri, atas dasar kesadaran manusia untuk mencerna, membuat konsiderasi, keputusan dan tindakan. Paham pahala-surga dan dosa-neraka yang diajarkan kepadaku selama ini sangat mengundang sekaligus intimidatif. Dan aku sangat menyayangkan bagaimana sampai dengan sekarang belajar agama hanya sebatas belajar alif-ba-ta dan doktrin-doktrin yang “tidak bisa ditembus” dengan pertanyaan-pertanyaan awam sebagai manusia bebas.  

Ketika tindakan dan akibat yang ditimbulkan adalah manifestasi dari dalam diri manusia, hal itu bisa juga berlaku dengan paham-paham tentang dunia setelah mati (after life). Bagaimana akhirat adalah gambaran akan harapan manusia, karena pada dasarnya manusia ingin terus hidup dan sempurna dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan bahkan dengan begitupun manusia masih tidak akan puas. People can’t get enough. Dan ketika mereka bertemu dengan kematian, gambaran selanjutnya adalah kehidupan itu sendiri, karena kehidupan adalah satu-satunya yang ada dalam diri, dan (manusia)  tidak siap dengan ketiadaan.

Di situ aku mulai less attached dengan apa yang telah diajarkan selama ini. Tentang harapan surga dari kebaikan yang kita lakukan, atau bayangan siksaan karena keburukan, itu pun masih seputar after life…another life we dream on.

Aku sadar bahwa salah satu esensi dari puasa adalah “menahan”.  Tidak seperti yang sekarang terjadi, puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus selama 14 jam, dan pada 3 jam terakhir kita disibukkan dengan berbelanja menu-menu untuk berbuka yang bisa di luar ukuran sehari-hari ketika tidak sedang berpuasa. Dari situ saja sebenarnya kita tidak bisa—menahan  untuk menuruti keinginan gastronomis. Percaya atau tidak, bahwa banyak sekali hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting tapi bisa kita anggap penting hanya karena ini Ramadan. Yang paling gampang adalah membeli baju –dan pelaku bisnis sangat memahami ini, sialan!—dan barang-barang lainnya akan menjadi justifiable karena Ramadan dijadikan excuse. Ini menjadi 30 hari yang penuh dengan supply-(enforced) demand.

Memang tidak semuanya, karena beberapa memaknai Ramadan sebagai kontemplasi dan introspeksi. Memulai kebaikan dari diri sendiri, secara sadar dan ikhlas. Bahwa kebaikan itu dilakukan agar mendapat reward dari Tuhan. Namun, aku juga menyadari bahwa sebenarnya kebaikan dan keburukan itu pasti adanya meskipun tanpa atribut-atribut religi. Bahwa “memberi pertolongan akan meringankan mereka yang membutuhkan” akan tetap begitu adanya meskipun itu tidak dilakukan atas nama / demi / untuk agama, Tuhan, atau dilakukan dengan tulus atau terpaksa. Dari sini aku mulai meragukan Tuhan.

Mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang ketika aku baru yakin akan takdir setelah sekilas mendengarkan percakapan di serial “Prison Break”. Ada beberapa hal yang memang di luar kuasa kita, seperti halnya di film “About Time”, wajar manusia akan terus mencari dan tidak akan pernah puas.

Sama halnya seperti alur semesta yang menuju ke kenegativan, aku pun percaya akan hal itu. Karena itulah manusia menua dan membusuk, alam semesta semakin menjauh seiring menurunnya gravitasi, dan keseimbangan akan goyah.  Aku percaya adanya kehancuran galaxy, tempat peradaban manusia mengukir cerita demi cerita. Ketika semesta menuju kehancuran, dan kehidupan menghilang, aku bertemu dengan kekosongan dan ketiadaan.

Dan apa yang ada dalam ketiadaan itu?

Mungkin di situlah aku akan melihat Tuhan. Karena manusia tidak bisa dengan ketiadaan dan kekosongan, atau aku akan membiarkan ketiadaan dan kekosongan begitu saja.




Share: