Si Pecundang Dan Cinta



Iya. Sebutan apa lagi yang pantas diberikan kepada si Pecundang selain pecundang itu sendiri. Bukankah pecundang selalu menghindari apa yang seharusnya ia hadapi? Menghindari realita, menghindari tantangan, menghindari cita-cita? Atau ia bukannya menghindari, tapi berlari. Berlari secepat angin menyapu ombak di pantai. Berlari menjauhi realita, berlari menjauhi tantangan, bahkan berlari dari hal yang belum tentu terjadi. Berlari dari mimpi. Apa pun mimpi itu. Iya, ia berlari, seakan dengan itu ia bisa bebas. Tapi lihat saja apa si Pecundang akan merasakan kebebasan pada akhirnya, setidaknya, kelegaan.

Selama bertahun-tahun bernafas, banyak hal yang telah ia alami. Hasrat. Benci. Dendam. Menahan. Impian. Cita. Cinta. Semua orang memiliki hasrat dalam berbagai hal, dengan berbagai cara, tak terkecuali si Pecundang. Semua orang membenci hal-hal dengan cara mereka. Semua  orang dendam dengan hal-hal yang mereka anggap menyakitkan dan mereka menuntut keadilan. Perasaan-perasaan itu sudah inheren dan karenanya, manusiawi. Setiap orang menyikapi perasaan-perasaan itu dengan berbagai cara yang mereka bisa, tidak terkecuali si Pecundang. Ia menyikapi perasaan-perasaannya dengan caranya sendiri: berlari...menjauh...

Berkali-kali ia merasakan perasaan itu. Berkali-kali pula ia membiarkannya. Berkali-kali pula ia berlari darinya. Berkali-kali pula ia terkurung penyesalan karenanya. Cinta. Kata lima huruf yang oleh si Pecundang begitu bermakna dalam hidupnya. Ia bahagia mengenal cinta. Ia semakin bahagia ketika merasakan cinta. Ia tak berdaya menghadapi cinta. Sampai akhirnya, ia memilih berlari, menjauhi cinta.

Si Pecundang merasa kesulitan dalam mengutarakan cinta kepada orang yang ia cintai. Entah kenapa lidah menjadi kelu, seperti digodam palu, dan mulut menjadi bisu. Berkata "cinta" adalah hal tersulit. Seperti pembohong yang tak mampu berkelit. Ia membela ketidakberdayaannya dengan berkata bahwa verbalisasi cinta tidaklah sebanding dengan perasaan itu sendiri. Tapi, tidakkah ia melihat begitu berartinya perasaan itu sehingga verbalisasi menjadi sangat bermakna? Ia mencoba membela, lagi, dengan berkata bahwa justru karena itulah verbalisasi tidak sebanding, dan bersikeras dengan merasakan tanpa mengungkapkan. Ia berkata bahwa gestur lebih bermakna dari pada sekedar verbalisasi. Iya, karena ia menyangkal realita bahwa verbalisasi membuatnya terlihat konyol, karena verbalisasi membuatnya serasa terhimpit, gestur lah yang ia besar-besarkan. Tapi, apa itu cukup? Si Pecundang bilang, itu cukup.

Ia tidak memilih verbalisasi. Ia menghindari verbalisasi. Ia memilih gestur. Ia menyimpannya tanpa pernah mengutarakannya. Seperti cairan yang ia minum setiap harinya, ya, ia menyimpannya. Cairan-cairan itu membuatnya tidak kehausan, tetap hidup. Tapi, tidak tahukah ia bahwa pada satu titik cairan-cairan itu menjadi usang? Seperti besi dengan karatnya? Tidak tahukah ia bahwa cairan usang itu harus dikeluarkan pada akhirnya? Karena cairan-cairan itu malah akan meracuninya dan membuatnya tidak berdaya lagi. Namun, si Pencundang tetap menyimpannya. Ia menghindari semua itu. Namun, ia tidak bisa mengindari realita bahwa "kecukupan" yang ia banggakan berkurang dan terus berkurang. Kecukupannya menjadi ketidakcukupan. Tidak cukup.

Si Pecundang berkaca, dan melihat di depannya sesosok figur yang penuh dengan ... ketidakberdayaan. Ia menyadari bahwa ketidakcukupan mulai menghantuinya. Verbalisasi menghantuinya. Cairan-cairan itu telah meracuninya. Penolakan dengan berlari menjauhi realita yang ada berujung pada sebuah kontemplasi. Bukan itu sebenarnya alasan mendasar mengapa si Pecundang menghindari verbalisasi. Bukan karena verbalisasi tidak sebanding. Bukan gestur itu lebih bermakna dan itu sudah cukup. Bukan itu. Ia menjauhi verbalisasi karena sebenarnya, jauh di dalam dirinya, ia takut kesenangan karena cinta yang selama ini ia simpan berubah menjadi duka yang akan menghantuinya karena verbalisasi. Ia takut tersakiti. Karenanya ia menghindari verbalisasi. Ia takut ketika cairan-cairan itu tidak ada ia takkan lagi bertahan hidup. Ia takut kehilangan. Tapi, tidakkah ia tahu bahwa semakin lama ia menyimpan cairan-cairan itu, semakin ia teracuni, tak berdaya, dan mati karenanya?

Sekarang ia melihat, tidak ada kebebasan dalam dirinya. Bahkan, kelegaan terkecil pun tak tampak. Ia terjebak dalam kecukupannya. Semakin tak berdaya karena cairan usang yang sekarang meracuninya, yang disimpannya. Ia tetap berlari...menjauh...dengan kesenangan yang sekarang menyiksa... Sampai akhirnya ia mati....





Share:

Neovagina: My Opinion

Belakangan ini sedang ramai-ramainya orang membicarakan tentang neovagina. Bahkan saya sendiri masih baru dengan istilah itu. Dan pastinya juga mulai mencari tahu sebenarnya apa itu neovagina. Banyak yang mendapatkan informasi awal tentang neovagina yang bersifat negatif sehingga entah karena memang masih terbatasnya pengetahuan masyarakat jadi mereka pertama mendengar hal itu akan terkejut dan lebih terkejut lagi dengan berbagai fakta—yang sebenarnya tidak salah, namun terkesan sedikit menggeneralisir.

Neovagina adalah vagina buatan yang dilakukan melalui prosedur operasi, ini berlawanan dengan "natal vagina" yakni vagina yang memang sudah ada dari lahir. 

Neovagina menjadi perbincangan karena terkait dengan vagina buatan untuk kaum transpuan. Namun, kenyataannya adalah bahwa neovagina ini tidak hanya berlaku untuk mereka kaum trans, melainkan juga kepada beberapa kasus spesifik pada wanita dengan sindrom MRKH.

Dalam sebuah thread di Twitter yang sempat viral disebutkan beberapa hal mengenai neovagina ini seperti bahwa itu berbau, sebenarnya luka terbuka dan ketidakmampuan untuk membersihkan sendiri. Beberapa hal itu memanglah fakta, namun bukan berarti bahwa semua neovagina seperti yang disebutkan. Bahkan di jurnal yang membahas hal tersebut hanya berapa persen saja, bahkan untuk kasus-kasus tertentu setelah operasi hanya 1-2% saja yang terjadi khususnya di kalangan trans. Dan mereka juga menunjukkan tindakan apa yang diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut. Memang, masih ada kurang ini dan itunya, namun setidaknya penelitian berlanjut untuk bertambahnya pengetahuan tentang neovagina.

Di sini saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya sebagai masyarakat awam. Bahwasanya, setiap operasi—apapun itu—sedikit banyak memiliki risiko, mulai risiko kegagalan, risiko terjadinya infeksi setelah operasi, perlunya perawatan rutin setelah operasi. Bahwasanya, apalagi terkait dengan organ reproduksi, memang harus secara rutin dibersihkan, agar tidak menimbulkan bau. Orang yang tanpa neovagina pun, pasti juga mengalami bau apabila tubuh tidak dibersihkan. Apapun baunya. Dan mereka yang melakukan prosedur operasi neovagina pun juga secara sadar dan siap secara mental (disamping secara finansial) yang telah dijelaskan oleh dokter.

Teknologi kedokteran akan terus berkembang dan pasti akan meliputi penelitian tentang neovagina juga. Dengan semakin banyaknya penelitian, maka diharapkan meminimalisir risiko setelah dilakukan prosedur operasi. 



Referensi:
https://www.pratisandhi.com/neovaginas-heres-what-you-should-know/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1832178/

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2695466/
Share:

Songs When I Die


Dua Lipa, future nostalgia, love again
Love Again by Dua Lipa 


Berbicara tentang kematian, tentu saja kita tidak akan pernah tahu kapan itu terjadi. Yang pasti, itu akan terjadi, semua akan mengalaminya. Nah, beberapa orang sudah mempersiapkan hal-hal yang diinginkan ketika mereka nanti menemui ajal. Bisa mereka ingin kucing atau anjingnya diberikan ke orang lain nantinya, bisa minta dimainkan piano dengan lagu favorit mereka saat prosesi persemayaman, minta abu mereka dilarung di laut, atau ingin benda-benda kesayangan ikut serta dikuburkan dengan mereka. Dan masih banyak lagi. 


Nah, salah satu yang ingin ada setelah saya meninggal adalah mereka memutar lagu-lagu yang saya suka. It was like the last chance to get me exposed to the music sebelum cosplay jadi singkong. Selain itu, meskipun mungkin lagu-lagunya cenderung slow, namun mereka juga bisa memutar lagu-lagu ceria setelah itu. They need to celebrate life, still, no matter who's gone.


So ya here's the list of songs I'd like them to play when I die:


1. Joanne by Lady Gaga

I love Lady Gaga and this is one of the most meaningful song of hers. It's about farewell and sounds so personal. I want it to be played when I die.


2. Back To Black by Amy Winehouse

I love Amy. Dan lagu ini sepertinya cocok. Lihat deh video musiknya. Meskipun makna lagu ini sedikit kelam, tapi bagus juga. Biar lebih dramatis. 


3. Caderita by Cely Vasquez

This gonna be fun of you play this song during my funeral. Let the angels fly and dance with me to this catchy beat. Te tiene loco loco. Really. 


4. Toujours Un Ailleurs by Anggun

It's more like that I'm already in some other places but I'll always remember you, guys! 


5. Breakaway by Avril Lavigne

Sama seperti Toujours Un Ailleurs, ini seperti saya departing to somewhere else for the better. It's always for the better and I'll be missing you, guys!


6. Ghost by Justin Bieber

I love this song a lot! It's so meaningful, like it's saying "Please always bear in mind to spend your time with the people you love for we have no idea at all about what life might lead us to". 


7. Memories by Maki Otsuki

Ini perannya hampir sama seperti penutup cerita series anime itu. Kayak ada kesan bahwa ini menjadi a memorable farewell. 


8. Love Again by Dua Lipa

Setelah atmosfer low dan nyenyenyenye, lagu ini seperti awal untuk next chapter untuk mereka-mereka yang masih hidup. Life goes on as it naturally should. Let yourself dance to this song. 


9. The Nights by Avicii

Ini seperti pengingat seberapa berat pun hidup, masih ada hal baik untuk disyukuri. Lagu ini seperti lagu sejuta umat untuk menikmati hidup. 





Share: