Solotrip 5 Negara Asean (Part 3: Jalan-Jalan Di Saigon / Ho Chi Minh City, Vietnam)


motor, ho chi minh city, vietnam
Kota Ho Chi Minh aka Saigon yang penuh dengan sepeda motor. Terlihat Bitexco yang menjulang.

Ho Chi Minh City atau Saigon kotanya tidak terlalu panas tapi humid. So sticky. Aku berjalan menyusuri Cong Vien 23/9 dengan membawa Toblerone Chocolate Milk White dan setelah aku buka bungkusnya ternyata sudah berubah menjadi adonan. Anyway, Cong Vien itu adalah nama taman yang berada di kawasan Ben Thanh. Taman ini adalah salah satu dari sekian banyak kawasan hijau yang ada di Saigon dan yang paling popular. Di sore hari, banyak warga local dan wisatawan menghabiskan waktu di sini. Jogging, main takraw, dance, diinterogasi oleh para remaja local yang sangat antusias dengan pendatang.


Oiya, ngomong-ngomong interogasi, jangan kaget kalau kita lagi duduk-duduk sambil baca buku atau sekedar bengong tiba-tiba ada satu-dua orang—awalnya, tapi setelah 5 detik satu batalioin segera menyusul—mendekat dan mengajak kita berbicara bahasa Inggris. Orang-orang sini ramah sekali dan para remajanya nggak macem-macem, setidaknya beberapa dari mereka yang pernah ngobrol denganku. Pernah suatu sore ketika lagi duduk (setelah berjalan seharian melihat Saigon) tiba-tiba ada siswa SMA mendekat dan mengajak ngobrol. It was a very simple topic he brought. Dia cuma ingin practice Inggrisnya dengan foreigners. Awalnya dia mengira aku dari Filipina, tapi setelah bilang aku dari Indonesia, dia terlihat tambah bingung dan bertanya banyak hal tentang Indonesia. Hal pertama yang terbayang olehku saat itu adalah kabut asap dan aku memakai masker, tapi  aku nggak mungkin bilang seperti itu kan? Interogasi cuma berlangsung selama 15 menit karena temannya menemukan bule Italia tak jauh dari tempatku duduk. Alhamdulillah!!


Kalau malam, taman ini menjadi tempat show case komunitas dance. Bukan modern dance atau popping atau break dance, tapi lebih ke Salsa, Tango, Waltz, Cha Cha oleh para kaum muda Saigon. Eksotis.


Kembali ke Saigon. Kota ini terdiri dari beberapa distrik. Pusat kota berada di Distrik 1, di mana pusat bisnis dan tempat-tempat bersejarah serta landmark berada, termasuk Pham Ngu Lao, kawasan tempatku stay. Ada banyak tempat yang bisa dikunjungi, dan jaraknya juga lumayan dekat (setidaknya untuk backpacker ya!). Bisa juga menyewa motor/scooter seharga USD10.00 per hari. Tapi karena di sini kendaraan berjalan di lajur kanan, BUKAN kiri seperti di Indonesia, aku tidak jadi menyewa motor, takut berakhir di rumah sakit atau kantor polisi. Maksudku, bahkan menyeberang jalan saja sering kali hampir naas karena otak belum flipped.


Notre Dame Cathedral


Notre Dame, Cathedral, Katedral, Gereja, Ho Chi Minh City
Notre Dame Cathedral, Ho Chi Minh City


Katedral ini keren banget. So majestic. Gereja peninggalan Perancis ini menggunakan bahan-bahan yang didatangkan dari negeri Napoleon dalam pembangunanannya. Ada patung Bunda Maria berdiri mentereng di taman depan gereja. Melihat lokasinya, gereja ini seperti yang ada di Intramuros, tapi sayang sekali aku tidak bisa masuk ke dalam karena tutup (sialan). Kalau mengunjungi tempat ini sebaiknya pagi atau sore hari, karena gereja ini tutup pada jam 11 siang sampai jam 3 sore.


Saigon Central Post Office

Karena niat baikku disambut kurang baik oleh Tuhan (aku mau melakukan pengakuan dosa sebenarnya tentang apa yang terjadi di malam sebelumnya. Kurang baik apa coba?), aku mengunjungi Kantor Pos Saigon yang terkenal itu. Lokasinya? Tepat di samping katedral. Tempat ini bagus banget, apalagi interiornya. Di sini banyak sekali traveller yang mengirimkan post card (mungkin isinya “Hey, aku setiap malam teler di sini! Kapan menyusul?”) ke kampung halamannya. Di sini juga menjual tiket pertunjukan opera (Mahal sekali. Sekitar VND300,000 ke atas) bagi mereka yang ingin tahu tentang drama kehidupan Vietnam. Ada juga giftshop di sisi kiri kanan gedung yang menjual berbagai macam pernak-pernik khas Vietnam. Aku membeli beberapa post card untuk koleksi.


Saigon Opera House

Saigon, Opera House
Saigon Opera House

Sekitar tiga blok dari Notre Dame. Aku cuma lewat saja karena memang masih sore hari dan gedung ini belum buka.


Reunification Palace

Buat yang suka sejarah, Saigon adalah salah satu tempat paling okay untuk dikunjungi. Banyak sekali museum yang bisa dikunjungi, salah satunya Reunification Palace. Tempat ini besar sekali, kayaknya tempat terbesar yang aku kunjungi di sini deh. It was so exciting how we can see the history from the other point of view. If you know what I mean. I mean, kita pasti pernah belajar sejarah perang Vietnam kan, beserta propaganda-propaganda yang bermain di dalamnya.


Bitexco Tower

Gedung tertinggi di Saigon. Kalau dilihat dari Cong Vien, Bitexco seperti distorsi, gedung ultra modern di tengah-tengah bangunan tinggi ala kadarnya di sekelilingnya. Ada observation deck menggantung di lantai 49. Sebenarnya aku pengen banget ke observation deck, tapi karena aku sendirian saja dan bahkan di tempat jualan tiket tidak ada satu pengunjung pun yang antre, jadi aku berjalan terus saja dan akhirnya uang tiket itu berubah menjadi Saigon beer pada malam harinya.

Dong Khoi Street

Lokasinya sebaris sama Opera House. Mungkin kalau di Singapore seperti Orchard Road, tapi di sini nuansanya lebih Eropa, setidaknya dari bangunan-bangunannya. Tapi harus siap-siap dengan tukang semir sepatu yang bisa saja menguntit sampai perempatan berikutnya, sampai kita menyerahkan sepatu kita untuk digosok-gosok (untung aku bisa lolos!).


Ben Thanh Market

Di sini murah-murah. Banyak sekali wisatawan dari Malaysia yang belanja di sini (temanku di Kuala Lumpur ke sini 2 minggu sebelumnya dan dia borong!), jadi jangan heran kalau penjual sedikit banyak boleh cakap Malay (“Bang, boleh tengok sini. Murah. Murah. Murah”). Harus pintar-pintar menawar kalau di sini. Aku beli dua baju, satu kaos merah dengan bintang kuning besar di tengah—sangat komunis—dan satu singlet gambar Vietnam Coffee. Aku mendapatkannya dengan harga VND45,000 per piece (30,000 rupiah) setelah menawar setidaknya 5 kali. Not bad apalagi baju komunisnya, suka banget.


Sebenarnya banyak sekali tempat-tempat yang aku kunjungi, tapi karena nama-namanya TῈrḺᾸlῠ ṚῡmἽT ῡnṱῠk dἸḂaḈἌ (seriously, bagaimana orang mau baca kalau banyak sekali hiasan Natal melekat di setiap hurufnya seperti itu?), jadi aku tidak begitu mengingatnya secara detail. 


Pernah aku mengunjungi tempat dari pintu samping dan setelah keluar ternyata tempat itu seperti Gedung Remaja Komunis Ho Chi Minh. Ada juga Zoo dan Botanical Garden, tapi aku tidak mau jauh-jauh ke sini cuma melihat hewan-hewan disiksa karena menurutku itu bukan ide bagus, apalagi ini kebun binatang negara dunia ketiga.


Satu lagi, karena Vietnam negara komunis, jadi banyak sekali propaganda komunisme di jalan-jalan. Mulai spanduk, bendera dengan lambang komunisme, sampai mural. Tapi menurutku okay-okay saja ;)



Pricing to note and tips:


Beberapa tempat no entrance fee seperti Katedral dan Central Post Office. Tapi siapkan saja uang VND200,000 untuk beli tiket ke beberapa museum (paling mahal VND30,000 saja). Untuk backpacker tidak jadi masalah karena setiap tempat masih walking distance, tapi bisa juga menyewa motor/scooter seharga USD10.00 per hari. Ingat, kendaraan berjalan di lajur kanan, BUKAN kiri seperti di Indonesia.


Share:

Solotrip 5 Negara Asean (Part 2: Kelaparan Di Bandara Senai)

Kesalahan terbesar yang kulakukan ketika kakiku menginjak Negeri Jiran adalah aku terlalu mencintai dollar sampai aku lupa aku harus punya cadangan Ringgit. Pesawat ke Saigon berangkat jam 7.25 pagi dan aku tiba di bandara jam 10 malam. Masih ada 8 jam nganggur yang bisa aku habiskan dengan ….mungkin tidur atau…tidur…sumpah ngantuk sekali. Dan aku lapar!


“Any money changer nearby?” aku bertanya kepada petugas pusat informasi  bandara.


“Kat sini Cuma satu saje. You belok kanan dekat arrival hall. It’s supposed to be open lah, biasanya sampe pukul sepuluh setengah.” Meyakinkan sekali mbak-mbak ini, mungkin karena dia petugas bandara jadi harus selalu terlihat seperti itu.


Aku pergi ke arah yang disebutkan tadi.


“Sialan.” Aku menggumam melihat money changer sudah tutup.


Aku periksa dompet lagi, mungkin ada sisa-sisa Ringgit, tapi ternyata Cuma tinggal uang kertas 1 ringgit dan beberapa koin sen. Bisa dibayangkan apa yang bisa didapat dengan selembar uang 1 Ringgit dan koin-koin menyedihkan itu di bandara selain tidak satupun. Dengan tekat bulat aku masuk ke KFC.


“Makan sini ke?” petugas KFC dengan agresif bertanya karena aku terlihat seperti dinosaurus kelaparan.


“Can I pay in….US dollars….?”


“Cannot”


“Keparat.”  hampir saja keluar dari mulutku. Untung saja tenggorokanku bekerja sesuai norma jadi kata-kata ajaib itu bisa tertahan selama beberapa detik di sana. Akhirnya aku balik kanan dan mencari tempat duduk di depan mushollah. Aku aktifkan WiFi. Sialan, WiFi pun tak ada.


Aku merogoh-rogoh tas, berharap keajaiban terjadi di dalam sana. Tadaaaa! Big Mac!


Of course, not. What the...


Aku menemukan roti yang aku beli di Tanah Merah Ferry Terminal sesaat setelah aku sampai Singapore sore harinya. Roti seharga 2 dolar ini lumayan juga, ada kismisnya. Tapi sayang, mungkin karena di Singapore segala sesuatu sangat mahal jadi pabrik roti hanya pakai bahan tepung terigu dan air saja ya. Maksudku, sumpah deh, apa di salah satu negara terkaya sejagad ini lagi krisis mentega atau telur sampai-sampai roti dua dollar ini sekali dicuil langsung bubar jalan dan berubah menjadi remah-remah?!


Karena aku selalu kreatif (sebenarnya biar tidak terlalu menyedihkan dan membosankan) maka aku buka set pack berisi peralatan makan dan memakan REMAH-REMAH roti itu dengan sumpit. Oh Tuhan, ternyata menyedihkan sekali!


Aku suka sekali dengan peralatan set pack ini. Aku membelinya di Greenbelt, salah satu mall terbesar di Makati waktu aku ke Filipina Februari lalu, seharga 200 Peso. Isinya ada sendok, garpu, dan sepasang sumpit. Aku beli karena aku pernah melihat punya Ade (rekan kerjaku dulu), jadi aku beli juga.


Karena sudah mulai eneg dengan remah-remah, aku memutuskan untuk keliling bandara. Senai Airport itu kecil, seperti Hang Nadim. Cuma bedanya, kalau Senai punya banyak penerbangan internasional dan penerbangan juga ada sampai tengah malam, tidak seperti Hang Nadim yang cuma punya SATU rute internasional (yang bahkan 1 dari 2 maskapai yang beroperasi memutuskan gulung tikar karena sebab-sebab yang sudah pasti bisa diduga yakni kurang penumpang) dan sudah sunyi senyap setelah jam 10 malam.


Aku tertidur selama beberapa menit, bangun lagi, tertidur lagi sampai akhirnya mata melek total pada jam 5 pagi.


Aku mendatangi mesin self-check in dan langsung bergegas menuju ruang tunggu. Ternyata penumpang pesawat tujuan Saigon belum diperbolehkan masuk. Aku bisa melihat ekspresi wajah-wajah lelah dari orang-orang Vietnam yang sudah sejak tadi berkumpul di depan petugas seperti antre beras murah.


Tak lama kemudian pintu dibuka. Aku buka WiFi dan yey, ada koneksi!!! Aku bahkan tidak peduli ada beberapa penerbangan yang ditunda karena kabut asap karena saking asyiknya dengan koneksi yang super cepat (dan gratis) ini. Sampai akhirnya tiba waktunya untuk terbang ke Saigon. Not bad for killing time!


Aku sampai di Saigon pukul 8.50 pagi waktu setempat. Pertama kali yang aku lakukan adalah mendatangi money changer dan menukar beberapa dollar ke VND. Banyak sekali yang aku dapat, bahkan ada pecahan VND200,000!


uang dong, dong vietnam
Uang kertas Vietnam, Dong.



Selanjutnya aku mendatangi kaunter SIM Card di mana banyak juga wisatawan dari Malaysia yang beli kartu untuk kemudahan koneksi. Ada beberapa pilihan, yakni SIM Card seharga VND190,000 dengan kuota 600MB untuk pemakaian tujuh hari tapi tanpa SMS atau telpon. Itu yang paling murah. Ada juga yang seharga VND290,000 dengan fitur internet dan telpon, Dan ada juga yang lebih mahal. Aku memilih paket yang lebih murah karena aku tidak akan menghabiskan kuota sebanyak itu selama tiga-empat hari di sini kecuali aku melakukan video seks 24 jam nonstop (But, still! I mean, Come on!!!!!).



Dari bandara aku naik bus menuju kota. Sebenarnya jarak bandara Saigon (aku tidak bisa mengingat namanya . Terlalu rumit!) ke pusat kota tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 10 km saja. Kalau naik bus Cuma harus bayar VND5000 saja sekali jalan. Kalau naik taksi bisa sampai VND200,000 (tidak, terima kasih). Busnya juga tidak terlalu buruk. I mean, tidak ada aircon sih tapi it’s okay. Dan pintunya otomatis! Cukup mutakhir untuk ukuran bus kota reot seperti itu.


Sekitar 20 menit di bus, akhirnya sampai juga di terminal dekat dengan Ben Than Market. Para penumpang yang mayoritas turis dari Malaysia, Jepang dan beberapa bule Eropa langsung semburat ke tujuan masing-masing.


Aku memutuskan untuk ke Ben Than Market dulu, barangkali ada yang bisa dibeli. Ternyata tidak ada. Aku pikir mungkin nanti saja aku beli sesuatu di sini. Aku memutuskan untuk menelusuri jalan-jalan Saigon. Dari Ben Than Market aku memutuskan untuk belok kiri menuju Calmette. Dari situ aku berjalan lurus sampai tiba di Bitexco, gedung tertinggi di Saigon di mana ada observation deck di lantai 40 tapi harus bayar tiket VND200,000 untuk pemandangan 270 derajat kota Saigon. 


Aku memutuskan singgah di salah satu café untuk makan siang dan minum kopi Vietnam. Aku Cuma menghabiskan tak lebih dari 5 sendok makan menu makan siang yang aku pesan karena rasanya sangat tidak masuk akal dan akhirnya aku mencoba kopi Vietnam. Pahit sekali. Cannot tahan! Untung saja mereka memberikan teh (dicampur es batu) tawar khas Vietnam dan itu sangat melegakan. Ditambah mereka memberikan es krim sebagai hidangan penutup. Okay, not really bad. Aku membayar bill VND65,000 untuk pesananku dan membuat kasir café itu terkejut ketika aku memberikannya pecahan 10,000 Rupiah sebagai remembrance (“Ini berapa kalau di Vietnam?”|”Sekitar VND16,000”|”Wow!! Terima kasih”| “Sama-sama”)


Setelah makan siang, aku melanjutkan jalan lurus dari arah Bitexco, yang ternyata mengarah ke Sungai  Mekong. Aku memutuskan balik kanan dan berjalan ke arah Ben Than Market lagi, melewati taman menuju Pham Ngu Lao, pusat kawasan hiburan di Saigon. Untung ada GPS, jadi dengan mudah aku bisa sampai ke tempat ini, meskipun aku terlihat seperti turis gila karena berjalan dengan menatap layar hape ketimbang lihat jalan di depan.


Aku mencari tempat penginapan di sini. Banyak sekali penginapan dan hotel dengan harga yang bervariasi. Aku memutuskan untuk stay di Gotcha,  sebuah penginapan yang letaknya tepat disebelah bar dan night club (cuma terpisah tembok saja!). Harganya cuma USD6.00 saja atau VND120,000 per malam termasuk sarapan (aku tidak pernah sarapan, anyway). Itu untuk harga kamar dormitory (sekamar  3 orang), kalau untuk private room harganya USD16.00 per malam, dengan luas kamar kira-kira sama dengan tipe dorm hanya  saja ini “private”. Aku memilih tipe dormitory saja karena bahkan tempat tidurnya sama saja dengan tipe private, dan pastinya aku tidak mau mati bosan sendirian di kamar. Beberapa saat setelah aku masuk, ada 2 traveller lagi dari UK stay di kamar. Yey, ada teman. Kubilang juga apa!


Pricing to note:

Tiket pessawat Johor Bahru – Saigon: MYR159.00 (Kurs 3500/Ringgit)
Tiket bus Saigon Airport – Kota: VND5000
Penginapan: VND120,000 per malam


Share:

Solotrip 5 Negara Asean (Part 1: Paman Taxi Keturunan Jawa Di Malaysia)

“JB Central how much, Uncle?” aku masukin beberapa koin dollar Singapore ke mesin yang seperti celengan di depan tempat sopir bus SBS di Woodlands.


“One forty (SGD1.40), too much money.” Jawab uncle bus sambil pencet-pencet tombol keluar tiket. Ada dua kali bunyi tiket keluar. Ternyata aku tadi masukin tiga dollar untuk tiket seharga satu setengah dollar. Aku bengong dan lebih lagi uncle bus juga mulai spaneng melihatku berdiri membatu di depannya.


Aku bisa melihat tatapan matanya seperti berkata “Ya, kamu, orang gila, jangan berdiri ngeblok penumpang lain dan cepat cari tempat duduk di belakang sana!” Aku ambil dua potongan kertas mungil dari mesin tiket dan ke belakang dengan santainya. Aku kan sudah bayar, DUA lagi.


Ya. Aku melakukan perjalanan sendiri dan beli tiket untuk dua orang. Untung cuma tiket bus. Mungkin uncle bus itu mulai berpikir aku memiliki teman imajinasi yang terlalu nyata seperti film Beautiful Mind atau apa. Terserah. Anyway, this is my holiday story.


Jadi liburanku kali ini sendiri saja. Bukan karena dua orang kebanyakan ya, tapi memang teman-teman lainnya juga sudah merencanakan liburannya sendiri (which is mostly to Bali, like…okay). Tapi liburan sendiri juga mengasyikkan loh! Terlepas dengan rentetan drama yang terjadi, but at least, aku bisa melakukan apapun, pergi kemanapun, tidur jam berapapun, apapun, sesukaku, sesuka jam biologisku. Tidak seperti liburan beramai-ramai di mana terlalu banyak cincai-cincai.  


Seperti liburanku ke Medan, di mana aku dan Indra layaknya pasangan gay yang harus sabar dan waspada terhadap setiap gerak-gerik  anak semata wayang mereka yang bernama Sari karena penampilan anak gadisnya itu terlalu mengundang para pelaku kriminal sejagad Sumatra. Dan aku bisa lihat Indra seringkali cannot tahan dengan ulah Sari. Oh, Tuhan! Bukannya aku egois loh ya. It’s just…you know, solo traveller is…way exciting!


Beberapa tempat yang akan aku kunjungi adalah Ho Chi Minh City (aku lebih suka menyebutnya Saigon. Lebih gampang), Siem Reap di Cambodia, Bangkok, Kuala Lumpur dan Melaka di Malaysia (meskipun yang terakhir tidak jadi aku kunjungi karena aku sudah menjadi gelandangan sejak di Bangkok).


Itinerary  dan budget sudah siap (Omigod, thank you Vico telah merancangkan banyak hal terutama budgeting untuk liburanku. Hai para direktur BUMN yang punya preferensi dengan sekretaris lelaki, I have Vico to offer you!). Aku belum ada ide apapun tentang Saigon actually, dan yang aku tahu tentang Siem Reap cuma Angkor Wat yang ternyata satu DNA dengan Prambanan di Jogjakarta. Bangkok? Aku tidak sabar dengan naturism dan telanjang dan sebagainya. Kuala Lumpur? I’ll be fine, at least we speak the same language. Melaka? So bad, aku sudah jatuh miskin dan bahkan ada tagihan menyusul. Sialan.

Rute traveling kali ini adalah Batam – Singapore – Johor Bahru – Saigon – Siem Reap – Bangkok – Kuala Lumpur – Johor Bahru – Singapore – Batam.

Persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari seperti booking tiket pesawat. You know what, aku mendapatkan tiket pesawat ke Saigon (Ho Chi Minh City) dengan harga murah. Jauh lebih murah dari pada dari Singapore dengan dollarnya. Untuk rute JB-Saigon cuma MYR159 saja, bandingkan dengan keberangkatan dari Singapore yang mencapai SGD220! Jadi, karena aku lebih memilih harga yang masuk akal dan kantong, aku rela menyeberang ke Johor Bahru. Untuk tiket pulangnya aku booking rute Bangkok – Kuala Lumpur seharga MYR177 (I love you, Air Asia).

Rute dari Batam ke Singapore sama saja dengan rute yang diambil saat ke Phuket


rute vietnam ke thailand, jalur darat, rute darat
Route Saigon - Siem Reap - Bangkok tanpa melewati Pnom Pehn, dan naik bus.


Perjalanan dari JB Central ke Senai Airport sendiri juga mudah. Naik taksi cuma 51 Ringgit, perjalanan ditempuh selama 20 menit. Aku sempat terkejut karena uncle taxi ternyata sangat fasih bahasa Jawa. Maklum, karena kedua orangtuanya berasal dari Jogjakarta yang berdiaspora ke Malaysia pada jaman penjajahan dulu. Jadilah obrolan singkat Jawa Inggris gaya Malay. Lucu sekali. Dia bercerita kalau ia dan istrinya masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari.


Heran juga kenapa seringkali masyarakat jadi spaneng dengan budaya yang dipraktikkan di negara orang. I mean, memang ada komunitas Jawa di sana dan jumlahnya juga tidak sedikit. Harusnya selain marah kita juga berterima kasih karena setidaknya mereka berusaha melestarikan, mengingat generasi sekarang juga gampang-gampang susah untuk hal-hal berbau tradisional. Dan bukannya ada juga komunitas asli Indonesia di Amerika Selatan sana, belum lagi di Belanda yang juga tidak sedikit.



Pricing to note:

Ticket PP Ferry Batam – Singapore: SGD28.00-32.00 (Kurs 10000/SGD)
Bus Tanah Merah – Bedok MRT: SGD2.00
MRT Bedok – Woodlands: SGD2.60
Bus Woodlands – JB Central: SGD1.40
Taxi JB Central – Senai International Airport: MYR51.00 (Kurs 3500/Ringgit)





Share: