Kaimana: Sebuah Perkenalan

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran ketika mendengar Kaimana?


Yup. Benar sekali. Tidak tahu apa itu. 

Apakah itu kata benda? Atau nama tempat? Atau nama makanan? Atau nama aplikasi permainan?

Hahaha. 


Peta Papua Barat. Kaimana terletak di "dagu" dan "leher" dari "kepala burung" Pulau New Guinea. Sumber: www.batasnegeri.com 


Daripada bingung, let’s just get to the point. 

Kaimana adalah sebuah kabupaten yang terletak di tenggara provinsi Papua Barat, lebih tepatnya di bagian dagu burung (lihat peta). Kabupaten ini memiliki luas kurang lebih 18.500 kilometer persegi, lebih besar daripada provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayahnya terdiri daerah pesisir yang berbatasan dengan pegunungan di bagian inner daratannya, serta pulau-pulau kecil sepanjang pesisir. Wilayah ini memiliki jumlah penduduk sekitar 60,000 jiwa yang menyebar mulai bagian utara sampai bagian selatan yang berbatasan dengan Mimika.


Sebagian besar perekomian ditopang dari hasil laut. Karenanya di sini sumber daya laut berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, not to mention sebagian besar juga masyarakatnya adalah nelayan dan petani. Namun kegiatan jasa juga mulai berkembang di sini, seperti transportasi, keuangan, logistik dan akomodasi. 


Akses untuk menuju wilayah ini adalah dari laut dan udara. Dari laut bias menggunakan kapal Pelni, sedangkan akses udara ada penerbangan dari Sorong. Sekedar informasi saja Sorong adalah pintu gerbang Papua Barat. Dari Sorong, penerbangan bias dilanjutkan ke berbagai kota di Papua Barat dan Papua. Penerbangan dari sorong ditempuh dalam waktu satu jam. 



Dari penjelasan di atas sepertinya Kaimana itu terpencil dan tidak ada istimewanya sama sekali ya. 


Eits, jangan salah. Wilayah ini punya banyak sekali untuk dieksplor, dari daratan sampai lautan. Oh iya, Kaimana juga dijuluki sebagai Kota Senja. Pernah dengar lagu berjudul “Senja Di Kaimana”? Yup. Karena senja di kota kecil ini bagus sekali. 


Kalau senja pasti di mana-mana juga ada. 

Wait, nanti ada informasi tentang apa-apa saja yang unik dan worth it untuk dikunjungi di sini. Until then, enjoy the sunset photo in a small town Kaimana

Sunset view di Kampung Baru, Kaimana.

Share:

Si Pecundang dan Cinta

Iya. Sebutan apa lagi yang pantas diberikan kepada si Pecundang selain pecundang itu sendiri. Bukankah pecundang selalu menghindari apa yang seharusnya ia hadapi? Menghindari realita, menghindari tantangan, menghindari cita-cita? Ato ia bukannya menghindari, tapi berlari. Berlari secepat angin menyapu ombak di pantai. Berlari menjauhi realita, berlari menjauhi tantangan, bahkan berlari dari hal yang belum tentu terjadi. Berlari dari mimpi. Apa pun mimpi itu. Iya, ia berlari, seakan dengan itu ia bisa bebas. Tapi lihat saja apa si Pecundang akan merasakan kebebasan pada akhirnya, setidaknya, kelegaan.


Selama bertahun-tahun bernafas, banyak hal yang telah ia alami. Hasrat. Benci. Dendam. Menahan. Impian. Cita. Cinta. Semua orang memiliki hasrat dalam berbagai hal, dengan berbagai cara, tak terkecuali si Pecundang. Semua orang membenci hal-hal dengan cara mereka. Semua  orang dendam dengan hal-hal yang mereka anggap menyakitkan dan mereka menuntut keadilan. Perasaan-perasaan itu sudah inheren dan karenanya, manusiawi. Setiap orang menyikapi perasaan-perasaan itu dengan berbagai cara yang mereka bisa, tidak terkecuali si Pecundang. Ia menyikapi perasaan-perasaannya dengan caranya sendiri: berlari...menjauh...


Berkali-kali ia merasakan perasaan itu. Berkali-kali pula ia membiarkannya. Berkali-kali pula ia berlari darinya. Berkali-kali pula ia terkurung penyesalan karenanya. Cinta. Kata lima huruf yang oleh si Pecundang begitu bermakna dalam hidupnya. Ia bahagia mengenal cinta. Ia semakin bahagia ketika merasakan cinta. Ia tak berdaya menghadapi cinta. Sampai akhirnya, ia memilih berlari, menjauhi cinta.


Si Pecundang merasa kesulitan dalam mengutarakan cinta kepada orang yang ia cintai. Entah kenapa lidah menjadi kelu, seperti digodam palu, dan mulut menjadi bisu. Berkata "cinta" adalah hal tersulit. Seperti pembohong yang tak mampu berkelit. Ia membela ketidakberdayaannya dengan berkata bahwa verbalisasi cinta tidaklah sebanding dengan perasaan itu sendiri. Tapi, tidakkah ia melihat begitu berartinya perasaan itu sehingga verbalisasi menjadi sangat bermakna? Ia mencoba membela, lagi, dengan berkata bahwa justru karena itulah verbalisasi tidak sebanding, dan bersikeras dengan merasakan tanpa mengungkapkan. Ia berkata bahwa gestur lebih bermakna dari pada sekedar verbalisasi. Iya, karena ia menyangkal realita bahwa verbalisasi membuatnya terlihat konyol, karena verbalisasi membuatnya serasa terhimpit, gestur lah yang ia besar-besarkan. Tapi, apa itu cukup? Si Pecundang bilang, itu cukup.


Ia tidak memilih verbalisasi. Ia menghindari verbalisasi. Ia memilih gestur. Ia menyimpannya tanpa pernah mengutarakannya. Seperti cairan yang ia minum setiap harinya, ya, ia menyimpannya. Cairan-cairan itu membuatnya tidak kehausan, tetap hidup. Tapi, tidak tahukah ia bahwa pada satu titik cairan-cairan itu menjadi usang? Seperti besi dengan karatnya? Tidak tahukah ia bahwa cairan usang itu harus dikeluarkan pada akhirnya? Karena cairan-cairan itu malah akan meracuninya dan membuatnya tidak berdaya lagi. Namun, si Pencundang tetap menyimpannya. Ia menghindari semua itu. Namun, ia tidak bisa mengindari realita bahwa "kecukupan" yang ia banggakan berkurang dan terus berkurang. Kecukupannya menjadi ketidakcukupan. Tidak cukup.


Si Pecundang berkaca, dan melihat di depannya sesosok figur yang penuh dengan ... ketidakberdayaan. Ia menyadari bahwa ketidakcukupan mulai menghantuinya. Verbalisasi menghantuinya. Cairan-cairan itu telah meracuninya. Penolakan dengan berlari menjauhi realita yang ada berujung pada sebuah kontemplasi. Bukan itu sebenarnya alasan mendasar mengapa si Pecundang menghindari verbalisasi. Bukan karena verbalisasi tidak sebanding. Bukan gestur itu lebih bermakna dan itu sudah cukup. Bukan itu. Ia menjauhi verbalisasi karena sebenarnya, jauh di dalam dirinya, ia takut kesenangan karena cinta yang selama ini ia simpan berubah menjadi duka yang akan menghantuinya karena verbalisasi. Ia takut tersakiti. Karenanya ia menghindari verbalisasi. Ia takut ketika cairan-cairan itu tidak ada ia takkan lagi bertahan hidup. Ia takut kehilangan. Tapi, tidakkah ia tahu bahwa semakin lama ia menyimpan cairan-cairan itu, semakin ia teracuni, tak berdaya, dan mati karenanya?


Sekarang ia melihat, tidak ada kebebasan dalam dirinya. Bahkan, kelegaan terkecil pun tak tampak. Ia terjebak dalam kecukupannya. Semakin tak berdaya karena cairan usang yang sekarang meracuninya, yang disimpannya. Ia tetap berlari...menjauh...dengan kesenangan yang sekarang menyiksa... Sampai akhirnya ia mati....





Share:

Pernikahan, Kematian, Kelahiran

Sedikit cerita tentang pengalaman saya tahun lalu, ketika dalam dua hari menghadapi tiga hal yang sebenarnya sebuah awal: pernikahan, kematian, dan kelahiran. Semuanya adalah sebuah awal. Pernikahan adalah awal kehidupan baru dalam membangun keluarga dan beregenerasi. Kematian adalah awal dari proses manusia secara fisik untuk kembali ke alam. Kelahiran adalah awal dari sebuah kehidupan manusia.

Bedanya, pernikahan dan kelahiran bisa diprediksi dan ya, it is expected. Sedangkan kematian, meskipun mungkin bisa diprediksi tapi tetap saja, pikiran menolak ide itu. Parahnya kematian itu pasti. Proses menuju kematian itu loh yang seringkali menghantui.⁣

Dulu pernah mengalami momen berada di antara kematian. Ini terjadi ketika keponakan yang baru lahir harus dirawat di rumah sakit, dan setiap hari menyaksikan kematian demi kematian selama seminggu berada di sana. Dulu saya orang yang takut dengan kematian, sampai akhirnya dihadapkan dengan kematian itu sendiri, yakni keponakan. And you know what happened? Saya jadi nggak takut lagi. Otak sudah memproses bahwa itu hal yang alami, pasti, siklus semesta untuk "endure"... melepaskan yang lama digantikan dengan wajah-wajah baru.⁣

Saya benar-benar bersyukur karena bisa keluar dari “ketakutan yang sangat menakutkan” itu. I mean, selama di rumah sakit itu semacam kita harus ambil terapi alergi, sedikit demi sedikit yang pada akhirnya menjadi terbiasa. Dan itu melegakan! Thank God! ⁣

And you know what, it's such a big deal for me. Because how we embrace the concept of death has impacts on how we embrace life. Our life. And live it. ----terlepas mereka orang beragama yang percaya kehidupan setelah kematian, atau mereka yang tidak percaya. ⁣

Ya setiap orang beda-beda ngalaminnya. Ada yang sudah pernah dihadapkan dengan kematian, dan langsung make decision to do something yang dari dulu pengen dilakuin, ada yang masih skip, ada yang harus berkali-kali baru sadar. Karena like it or not ya, se-enjoy²-nya kita nikmatin hidup, pasti masih dibayangi kengerian itu. Dan nanti akan ada waktu when there's only you and death, and better you think about it, deal with it, accept it, luangkan beberapa saat untuk embrace konsep itu. ⁣

Share: