Explore Bangka: Laughing Buddha in Buddhist Temple "Puri Tri Agung"


The Laughing Buddha outside the temple

If Bali has the iconic Uluwatu Temple at the southernmost tip of the island, Bangka has a Buddhist temple standing at the hilltop facing the sea as one of its main tourism destinations.  It is called Vihara Puri Tri Agung, and is located in Pantai Tikus, Bangka Regency.


We went there during the Vesak Day and it was easy to access, basically. It was 40 minutes from Pangkalpinang—the biggest city in the island—by car or motorbike. Along the way to get there we could see large area of swamp, palm and rubber plantation. Not to mention, we went there in the afternoon thus it was windy but warm.


Once I got there I was amazed of how great this temple looked. It stood at the 30-meters-above-the sea-level hilltop and faced the South China Sea. Just like any other Buddhist temple with Asian influence, red and gold color dominated the building. We could find Kwan Im Goddess and Laughing Buddha statue outside the temple. Once I stepped into the inner side, I found this temple is…fancy in its kind.  What I really liked about this temple was its rounded shape and how it was located. And the ceiling!


We decided to get down the beach to seize some moment. It was white sand beach with big rocks “just like scattered” by the coast and it was beautiful. I saw some people enjoying the sand, playing with water and having some selfie with friends. I just walked by and found out a fisherman with his big-size catch!


There’s a story why this area was called as Pantai Tikus (Tikus Beach). People said that there’re lots of “jalan tikus” (shortcuts) used to smuggle the tin out of the island. The smuggler said that the area was haunted—to make people scared to come to this area and thus make their smuggling activity smoothly run.  Just so you know that Bangka—along with Belitung/Billiton—is rich of tin though the mining activities are nowadays very restricted for environment sustainability purpose.


Maybe we could not see the sunset as the hill barred the horizon behind the beach, but we still could see the big rocks turned gold under the afternoon shine. And trust me, it was relieving.




Share:

Ramadan: Bulan Ketika Aku Meragukan-Nya


Sebagai salah satu dari setidaknya 200 juta orang Indonesia yang secara administratif beragama Islam, pastinya Ramadan adalah salah satu hal yang yang paling kunantikan setiap tahunnya. Mulai serunya bangun jam 3 pagi untuk sahur, ngabuburit, melimpahnya menu berbuka, bagaimana menjadi religious itu begitu menyenangkan meskipun euphoria itu hanya bertahan tidak lebih dari seminggu saja ketika segalanya akhirnya terlihat hanya sebatas festival kuliner sebulan dan diskon besar-besaran, sama seperti festive season lainnya. Namun yang tidak habis pikir buatku adalah bagaimana sesuatu yang diluar dugaan bisa terjadi,  terutama karena ini menyangkut hubunganku dengan Tuhan, saat Ramadan pula.

Siang itu sama seperti hari-hari biasa—panas, berdebu—ditambah harus menahan lapar dan dahaga. Aku tiduran sambil nonton TV. Killing time lah. Banyak sekali iklan sirup dan biscuit sepanjang Ramadan, yang menurutku “Ramadan Banget!”  Gak afdol dunia pertelevisian kalau belum ada iklan-iklan itu, ditambah sinetron-sinetron yang “mendadak Syariah” dan beberapa kisah orang-orang yang menjadi muslim yang—entah bagaimana caranya—terlihat sangat meyakinkan, seperti pernyataan brand ambassador iklan”ini adalah shampoo yang akan kugunakan selamanya karena menjawab semua kebutuhan rambutku”. Sampai suatu ketika aku melihat iklan obat kumur edisi Ramadan.

“Siapa bilang setan dibelenggu saat Ramadan?” suara mas-mas terdengar bersama dengan ilustrasi kuman berbentuk setan yang menginvasi mulut, dan berakhir dengan tampilan merk produk itu sendiri.

Mungkin itu terlihat sepele dan sebatas strategi marketing yang—jujur saja—okay. Tapi, ternyata hati dan pikiranku menuntunku jauh ke dalam, apa sebenarnya maksud dari iklan itu.

Menurutku, segala sesuatu yang kita lakukan adalah tanggungjawab kita sendiri, atas dasar kesadaran manusia untuk mencerna, membuat konsiderasi, keputusan dan tindakan. Paham pahala-surga dan dosa-neraka yang diajarkan kepadaku selama ini sangat mengundang sekaligus intimidatif. Dan aku sangat menyayangkan bagaimana sampai dengan sekarang belajar agama hanya sebatas belajar alif-ba-ta dan doktrin-doktrin yang “tidak bisa ditembus” dengan pertanyaan-pertanyaan awam sebagai manusia bebas.  

Ketika tindakan dan akibat yang ditimbulkan adalah manifestasi dari dalam diri manusia, hal itu bisa juga berlaku dengan paham-paham tentang dunia setelah mati (after life). Bagaimana akhirat adalah gambaran akan harapan manusia, karena pada dasarnya manusia ingin terus hidup dan sempurna dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan bahkan dengan begitupun manusia masih tidak akan puas. People can’t get enough. Dan ketika mereka bertemu dengan kematian, gambaran selanjutnya adalah kehidupan itu sendiri, karena kehidupan adalah satu-satunya yang ada dalam diri, dan (manusia)  tidak siap dengan ketiadaan.

Di situ aku mulai less attached dengan apa yang telah diajarkan selama ini. Tentang harapan surga dari kebaikan yang kita lakukan, atau bayangan siksaan karena keburukan, itu pun masih seputar after life…another life we dream on.

Aku sadar bahwa salah satu esensi dari puasa adalah “menahan”.  Tidak seperti yang sekarang terjadi, puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus selama 14 jam, dan pada 3 jam terakhir kita disibukkan dengan berbelanja menu-menu untuk berbuka yang bisa di luar ukuran sehari-hari ketika tidak sedang berpuasa. Dari situ saja sebenarnya kita tidak bisa—menahan  untuk menuruti keinginan gastronomis. Percaya atau tidak, bahwa banyak sekali hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting tapi bisa kita anggap penting hanya karena ini Ramadan. Yang paling gampang adalah membeli baju –dan pelaku bisnis sangat memahami ini, sialan!—dan barang-barang lainnya akan menjadi justifiable karena Ramadan dijadikan excuse. Ini menjadi 30 hari yang penuh dengan supply-(enforced) demand.

Memang tidak semuanya, karena beberapa memaknai Ramadan sebagai kontemplasi dan introspeksi. Memulai kebaikan dari diri sendiri, secara sadar dan ikhlas. Bahwa kebaikan itu dilakukan agar mendapat reward dari Tuhan. Namun, aku juga menyadari bahwa sebenarnya kebaikan dan keburukan itu pasti adanya meskipun tanpa atribut-atribut religi. Bahwa “memberi pertolongan akan meringankan mereka yang membutuhkan” akan tetap begitu adanya meskipun itu tidak dilakukan atas nama / demi / untuk agama, Tuhan, atau dilakukan dengan tulus atau terpaksa. Dari sini aku mulai meragukan Tuhan.

Mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang ketika aku baru yakin akan takdir setelah sekilas mendengarkan percakapan di serial “Prison Break”. Ada beberapa hal yang memang di luar kuasa kita, seperti halnya di film “About Time”, wajar manusia akan terus mencari dan tidak akan pernah puas.

Sama halnya seperti alur semesta yang menuju ke kenegativan, aku pun percaya akan hal itu. Karena itulah manusia menua dan membusuk, alam semesta semakin menjauh seiring menurunnya gravitasi, dan keseimbangan akan goyah.  Aku percaya adanya kehancuran galaxy, tempat peradaban manusia mengukir cerita demi cerita. Ketika semesta menuju kehancuran, dan kehidupan menghilang, aku bertemu dengan kekosongan dan ketiadaan.

Dan apa yang ada dalam ketiadaan itu?

Mungkin di situlah aku akan melihat Tuhan. Karena manusia tidak bisa dengan ketiadaan dan kekosongan, atau aku akan membiarkan ketiadaan dan kekosongan begitu saja.




Share:

Kisah Hidupku (The Story of My Life)

Bermula dari saling pandang antara ayah dan ibuku dan berujung dengan percampuran cairan genital (entah secara sadar atau karena khilaf), kedua sel itu berevolusi dengan cepat menjadi homo sapiens bernama Rangga.

Tidak begitu kuingat bagaimana fase awal kehidupanku. Hanya beberapa kenangan, seperti bagaimana kami – aku dan teman-temanku – selalu menirukan apapun yang kami tonton di televisi saat itu. Mulai dari kita menghias kaca depan dan samping rumah dengan tanaman menjalar dan bunga-bunga yang ada  untuk ritual berhala seperti yang ada di serial Siluman Ular Putih, bagaimana kami bermain Power Rangers yang beranggotakan sampai sepuluh orang dan kami berebut warna karena kenyataannya Power Rangers cuma ada lima dan tak seorangpun mau menjadi Alpha, sampai percaya bahwa Bona dan Rongrong adalah nyata dan rajawali bisa bicara meskipun disertai keheranan bagaimana mungkin murid bisa pacaran sama guru ceweknya.

Banyak  sekali hal-hal konyol lainnya yang ada di pikiranku. Dulu aku yakin sekali kalau tahu yang dimasak setiap harinya dipetik dari pohon, dan semangka menggantung seperti jambu. Beberapa takhayul juga sangat dipegang teguh, seperti jumlah benjolan yang ada di pergelangan tangan bagian dalam adalah banyaknya anakmu kelak, ketika kuku dipendam di tanah maka setelah tiga hari akan berubah menjadi uang Rp50 dan akan menjadi Rp500 kalau itu berupa sekaleng penuh kelereng. Namun sayang sekali karena tidak sesuai dengan yang kami bayangkan, kami terus memaksakan harapan bodoh itu dengan memperpanjang waktu dari tiga hari menjadi seminggu, sebulan bahkan setahun. Untungnya kami cepat melupakan hal itu.

Beberapa hal yang kurang mengenakkan juga terjadi, seperti bagaimana aku selalu dibanding-bandingkan dengan saudaraku. Kenapa aku tidak setangkas, sepintar, serapi, tidak ceroboh atau se-lebih-baik dari apa yang saudaraku lakukan, di samping fakta bahwa aku tidak seperti anak laki-laki lainnya yang bisa main sepak bola dan olahraga lain. Kadang itu hanya berupa ucapan dari orangtua, atau sekedar ejekan dari teman-teman kakakku dan kakakku atau juga dari teman-teman ketika aku masih sekolah dasar. Untungnya aku terbiasa dengan hal itu dan diam adalah satu-satunya cara yang kuanggap tepat karena aku bakal bete seharian kalau aku meladeni hal-hal begituan yang berujung dengan aku menangis sendirian.

Fase selanjutnya adalah  saat usiaku beranjak sebelas tahun, dunia putih merah berubah menjadi putih biru dan aku lebih percaya diri dan terbuka. Mungkin karena tempat dan teman-teman baru. Namun, perlakuan tidak mengenakkan juga kualami di tahun pertama dunia baruku. Bagaimana siswa-siswa satu kelas menjadikanku bulan-bulanan karena mereka menganggapku … I dunno what to say…berbeda? Atau apapun. Di samping mereka kesal karena aku berteman dengan para kakak kelas. Aku sudah mulai memasuki fase “aku tidak mau ambil pusing” dengan sikap-sikap seperti itu. Sempat kuingin sekali bilang karena mereka tidak mau berteman denganku makanya aku berteman dengan senior karena mereka mau berteman denganku (sederhana, kan?), tapi kuurungkan dan terus melanjutkan rutinitas sehari-hari dan semuanya berakhir setelah satu tahun.

Masa putih biru pun berubah menjadi putih abu-abu di mana aku menjad pribadi yang lebih terbuka dan lebih berekspresi. Aku mengenal dunia seni melalui teater dan dunia hitam putih melalui kelompok debat. Mungkin dunia teater sangat berperan penting dalam membentuk karakterku yang lebih ekspresif dan tidak ada tedeng aling-aling. Sedangkan dunia debat mengajarkanku bagaimana menjadi konsisten dan menerima rasionalitas dan berelaborasi berargumen. Bahkan nantinya hal itulah yang menjadikanku selalu bertanya-tanya tentang berbagai hal dan membuatku tahu lebih banyak tentang lingkungan, kehidupan bahkan yang lebih luas, semesta tempatku hidup. Masa-masa ini juga adalah masa ketika aku memasuki apa yang orang anggap “abu-abu”. Terlepas dari debat yang black & white, aku mulai menelusuri dunia “abu-abu” yang penuh tanya dan kontroversi. Aku mengenal cinta untuk pertama kalinya dengan teman sekelasku, dari situlah aku memulai kehidupan “abu-abu”.

Hari berganti minggu, kemudian menjadi bulan dan tahun dan seketika itu dunia remaja yang dielu-elukan berakhir. Namun, seragam putih abu-abu yang pernah kupakai selama tiga tahun tidaklah luntur dari kehidupanku. Sampai suatu hari aku memutuskan untuk coming out of the closet. Hal itu kulakukan karena ingin membiasakan lingkungan sekitarku (setidaknya teman-teman kuliah) untuk melihat kenyataan dan mulai menerima. Menurutku, entah itu discreet atau coming out, tujuannya sama yakni melindungi diri karena itu insting paling mendasar semua makhluk di planet ini.

Hal yang paling penting adalah ketika aku menjadi atheist meskipun hanya cuma beberapa bulan. Sungguh kebetulan karena aku menjadi atheist ketika sedang menonton iklan obat kumur saat bulan Ramadan. Aku paham semakin chic dan “ngena” kalimat iklan, semakin diingat dan dikenal iklan itu dan berpengaruh terhadap tingkat kesadaran masyarakat dan berujung dengan angka.

Jadi iklan itu berkelakar bahwa tidak semua setan terkurung saat bulan Ramadan. Mereka menggambarkan setan sebagai kuman yang berkembangbiak di mulut. Dari situ aku mulai memahami bahwa segala sesuatu berasal dari diri kita, kebaikan, keraguan, keburukan karena kita memiliki kebebasan yang menjadi hak paling asasi ketika kita lahir ke dunia ini. Aku mulai skeptis dengan paham ketuhanan, apalagi dengan paham setan malaikat dan kehidupan setelah mati. Pada akhirnya, meskipun masih skeptic, aku percaya adanya Tuhan karena mungkin hanya pemikiranku saja yang tidak mampu menjangkau konsep itu. Aku melepaskan label agama dari dalam diriku dan menjalani hidup tanpa beban “kemungkinan kehidupan yang dijanjikan setelah mati”. Setidaknya aku masih percaya Tuhan. Maksudku, biarlah Tuhan ada dalam ketiadaan atau tiada dalam keberadaan-Nya. Menurutku, Dia tidak peduli, manusia saja yang seringkali bikin ribut.

Hal penting lainnya adalah ketika aku jatuh cinta, patahhati, dan benar-benar memahami makna keihklasan. Selain itu, aku juga mengalami momentum di mana aku berada diantara kematian. Ini terjadi ketika keponakanku yang baru lahir harus dirawat dirumah sakit, dan aku menyaksikan kematian demi kematian setiap hari selama seminggu berada di sana. Aku adalah orang yang takut dengan kematian, sampai akhirnya dihadapkan dengan kematian itu sendiri, yakni keponakanku. Aku benar-benar bersyukur karena bisa keluar dari “ketakutan yang sangat menakutkan” itu. Maksudku, itu semacam terapi alergi, sedikit demi sedikit yang pada akhirnya menjadi terbiasa. Dan itu melegakan! Thank God!

Aku mulai memasuki dunia kerja (dunia sesungguhnya) yang tidak ramah dan tidak semanis apa yang selama ini dibayangkan. Untungnya aku tidak banyak membayangkan jadi aku melihatnya dengan realistis, menjalaninya dan menikmatinya. Aku mulai mengunjungi banyak tempat baru, berinteraksi dengan orang-orang baru, dan mencoba hal-hal baru lainnya. Aku mencoba meresapi setiap langkah kaki, setiap pixel obyek yang kulihat, dan setiap desibel suara yang kudengar. Aku berencana untuk menjelajah sejauh yang aku bisa, melihat dunia, karena dari situ aku yakin akan belajar banyak hal. Sampai suatu ketika aku kembali bertemu keluargaku. Dari sinilah aku mengalami fase kehidupan selanjutnya, dan ini penting.

Mungkin aku banyak belajar dari melihat dunia baru dan segala tetek-bengeknya. Namun, keluarga mengajarkanku satu hal, yakni dedikasi. Mungkin aku egois karena selama ini hanya berkutat dengan duniaku sendiri. Being single and happy. Lajang dan bahagia. Yey!

Memang lajang tidak ada beban dan tanggungan, namun bahagia juga bukan menjadi jaminan. Aku mulai memaknai “kebahagiaan diri” dengan bagaimana sebenarnya dengan apa yang kukerjakan, materi yang didapat akan bisa bermanfaat bagi orang-orang di dekatku, dan itu dimulai dari keluargaku. Instead of menyisihkan sebagian kecil dan sisanya hanya untuk duniaku yang pasti tidak akan pernah puas, kenapa tidak sepenuhnya memberikan manfaat yang lebih buat mereka? Mungkin memang tidak banyak, namun akan lebih berarti, dan ini adalah bentuk terima kasihku kepada mereka yang selama ini selalu mendukungku. Mungkin terlambat, namun aku telah memulainya, dan aku bersyukur akan itu.

Biarlah segala ketidakcocokan yang ada tetap begitu adanya. Ada saat di mana kita lah yang harus mengerti dengan segala hal yang terjadi, bukan selalu membela diri dan bersikukuh dengan argument filosofis dan (terkadang) ilmiah yang terdengar mutakhir. Mungkin kita bisa bersikap seperti itu, namun, jarang sekali kita melihat bahwa mereka tidak mengalami apa yang pernah kita alami. Karena di balik apapun tentang kehidupan kita, keluarga berjalan seperti sediakala, dengan kesederhanaan akan harapan dan rutinitas kehidupan. Keluarga akan selalu berawal dengan menjadi balita, masa sekolah, bekerja dan berkeluarga. Dari situlah dituntut sikap bijak kita, yakni memahami dan embrace. Toh itu tidak berarti kita melepas segala idealisme dan harapan personal yang telah kita bentuk.

Karena hidupku akan tetap menjadi hidupku, seperti halnya kehidupan setiap makhluk di alam semesta ini. Aku hanya ingin hidupku seperti tanah yang bermanfaat tak termakan jaman. Yang menjadi pijakan setiap zat yang melewatinya, menumbuhkan harapan yang tertanam di dalamnya, menyerap panas dingin manis pahitnya dunia, dan menguraikan kesedihan dari fana siklus kehidupan. 

Share: