Awal Sebuah Kehidupan


Aku, Rheina, Hazil.


Kami bertiga menyusuri sebuah lorong panjang tak berujung. Kami dimabukkan oleh permainan warna yang menghiasi sisi-sisi lorong. Begitu pudar, berpendar, gairah yang sangat nyata tersirat dalam warna-warna yang terus bergerak. Seakan mengikuti kami bertiga…ya…menyusuri lorong ini.

Aku bisa merasakan Rheina ingin pulang ke rumah secepat mungkin, karena takut ibunya memarahinya habis-habisan dan tidak mengijinkannya makan malam bersama saudara-saudaranya yang lain.

Aku bisa merasakan Hazil terbebas dari belenggu yang mengungkungnya selama ini. Aku merasakan ketidaktahuanku atas semua yang aku alami…lorong..warna yang tidak henti berganti…perasaan sahabatku…Kohesivitas emosi di antara kami bertiga.


Aku menggigil kedinginan…


“Kenapa?” Rheina mengambil sebuah safir di bawah kakinya.


“Dingin.” jawabku singkat


Sementara Hazil berjalan di depan kami. Bahkan setengah berlari.


“Kenapa kita ada di sini?” Rhiena terlihat bingung, “Aku harus pulang.”


“Kita telah sampai,” Hazil berteriak, memberi instruksi agar kami berjalan mengikutinya.


Ya. Kami sudah sampai. Begitu banyak pilar berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Terkesan menakutkan.

“Di sinilah kita bertiga harus memilih,” Hazil menunjuk ke deretan pilar-pilar itu. Memang Hazillah yang mengajakku dan Rhiena untuk masuk ke lorong ini. Dari mana kami memasukinya, kami tidak tahu. Hazillah yang selalu mendengungkan kebebasan kepada kami, yang akan kami temukan hanya dengan memasuki lorong ini.


“Kita bertiga akan bebas…dan dari sinilah kehidupan kita mulai,” tanpa menoleh kepada kami ia bergegas memasuki deretan pilar itu.


Tidak ada salam perpisahan atau hal semacam itu dari Hazil. Aku bisa merasakan Rheina ingin pulang secepat mungkin.


“Apakah aku bisa pulang ke rumah lewat pilar itu?” ia kelihatan gelisah.


“Mungkin,” jawabku ragu, benar-benar ragu.


“Kita akan berpisah di sini?”lanjutnya


“Mungkin. Atau kita akan bertemu di balik pilar itu.”


“Setelah kita memasukinya?” dari dulu ia memang sering bertanya.


“Bye,” aku mengucapkan salam perpisahan padanya. Rheina memelukku.


“Kita akan bertemu di sana. Dan juga Hazil.” ia mencoba meyakinkan diri.

Aku memasuki salah satu pilar. Dan sebuah lorong panjang terbentang menyambutku. Aku melihat segala sesuatu yang belum pernah kulihat selama ini. Kupandangi sekelilingku. Terasa asing semua ini bagiku.


“Apa yang harus aku lakukan?”tanyaku dalam hati.


“Kita akan bebas...” kata-kata Hazil terlintas di benakku.


Aku tahu. Ya. Aku tidak harus melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.


“Dan dari sinilah kehidupan kita dimulai.” Aku bisa mendengar Hazil berbisik di telingaku. Aku berpaling ke belakang. Tak seorang pun di sana. Aku sendiri.

“Benar, kau sendiri!” suara Hazil terdengar di seluruh lorong.

“Dan aku bebas,” kataku spontan, ”dan dari sinilah kehidupanku dimulai.” Aku mengulangi kata-kata Hazil.


Terdengar olehku tawa Rheina, dan Hazil, tawa kami bertiga. Di lorong panjang tiada batas…yang menyambut kami.



*pernah dimuat di https://blog.djarumbeasiswaplus.org/ranggayanwar/ 


Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar