Sebelum ke Gunung Api, saya menyempatkan pergi ke Banda Besar dengan naik kapal kecil. Ini adalah pulau terbesar, di mana ada Desa Lonthoir yang sangat indah pemandangannya dari atas Benteng Hollandia yang terbengkalai. Selain itu, ada banyak perkebunan pala, kayu manis, kacang mete, dan kacang kenari (pohonnya besar sekali!). Di sini juga ada festival Cuci Parigi alias cuci sumur suci setiap sepuluh tahun sekali, terakhir tahun 2018. Jadi kalau mau lihat festival ini harus nunggu tahun 2028. Hmmm...
Selain itu, tidak banyak yang bisa dilihat di sini. Pulau ini memang lebih besar namun lebih didominasi dengan perkebunan rempah-rempah. Memang ada bangunan-bangunan peninggalan era kolonial namun tidak terawat, seperti dibiarkan begitu saja, ditutupi tanaman liar. Bahkan, ada bangunan berbentuk pintu dari batu dan ada tulisan VOC di atasnya, yang berada di antara tanaman pala dan semak liar. Jejak-jejak itu seakan bilang bahwa waktu tidak bisa begitu saja mengaburkan peristiwa sejarah di sana.
Transportasi antar pulau terbilang murah yakni Rp5,000 saja sekali jalan, dengan naik kapal kecil. Kapal-kapal itu beroperasi dari pagi sampai sekitar jam 5 sore. Antara pulau Banda Neira dan Banda Besar bisa ditempuh dalam waktu 5-10 menit saja. Dari dermaga menuju desa Lonthoir bisa naik ojek dan harganya Rp20,000 karena memang jauh jaraknya. Kalau Banda Neira ke Banda Api (pulau tempat Gunung Api Banda) bisa ditempuh kurang dari 5 menit.
Akhirnya, it's the day ke Banda Api. Gunung Api Banda memiliki ketinggian 656 mdpl, merupakan gunung aktif dan terakhir erupsi di tahun 1988. Sebelumnya saya bertanya ke masyarakat lokal bagaimana pergi ke sana, dan akhirnya ada yang bersedia mengantarkan pendakian dengan membayar Rp200,000. Mungkin akan lebih murah per orang kalau tidak solo travelling, dan tergantung negosiasi.
Ternyata ada beberapa warga lokal yang ikut mendaki, siswa-siswa SMA. Kami berlima menyeberang dengan kapal kecil dan hanya butuh dua menit. Sempat kepikiran mungkin bisa berenang saja saking dekatnya jarak yg ditempuh. Seperti berenang di sekitar house reef Triton Bay Divers, tapi pastinya arus di sini kencang karena ini adalah selat, dan pastinya tidak ada walking shark.
Gunung Api Banda, Maluku |
Setelah sampai melanjutkan perjalanan ke puncak. Terakhir aku naik gunung adalah di Bukit Teletubbies di Kalimantan Selatan dan Gunung Panderman di Kota Batu—yang ternyata adalah bukit—jadi setelah lima belas menit perjalanan...
"Nggak papa kan?" tanya salah satu kawan. Saya muntah dong, jam tujuh pagi. Macam ibu hamil aja.
"Nggak papa. Masuk angin mungkin." Belum-belum sudah jadi Frodo Baggins yang sepertinya berat sekali beban yang ia pikul, terlihat lelah dan sakit-sakitan dalam perjalanannyauntuk melempar cincin laknat ke kawah Gunung Api. Anyway, namanya sama loh Gunung Api!
Akhirnya kita istirahat sepuluh menit sebelum melanjutkan perjalanan.
Medan yang dilalui naiknya menanjak dan terjal, banyak batuan kecil dan pasir, jadinya licin. Kayak shuffling. Seriously, you can sing "I'm sexy and I know it!" saat melewati medan terjal ini biar sensasi shuffling-nya lebih afdol.
Tidak sabar untuk menikmati pemandangan dari puncak. Namun, semakin dekat ke puncak, kabut tebal dan angin menyelimuti pandangan. Sangat dingin. Lupakan pemandangan, karena sampai puncak kami semua kedinginan. Perjalanan naik gunung itu ditempuh dalam waktu sekitar dua setengah jam, lebih lama dari biasanya yakni dua jam, kata guide.
Karena gunung aktif, jadi ada lubang di sela-sela batuan yang mengeluarkan uap panas. Jadi tinggal dicungkil-cungkil saja batunya, seperti bikin lubang, nah dari situ keluar uap panas. Beberapa dari kami menghangatkan diri di sana, berasa sauna.
Sambil menghangatkan badan, kami menikmati sarapan yang ternyata sudah disediakan oleh guide. Setelah muntah-muntah, tanjakan, jalan berkerikil, licin, dan kedinginan karena kabut, kami makan nasi bungkus dengan lauk ikan, plus kerupuk. Plus sambal di nasinya. Sumpah enak banget!
Lama kami menunggu awan menghilang. Kami mondar-mandir di puncak agar tidak kedinginan. Ada yang mager menghabiskan snack, ada yang sibuk video call cek cuaca di bawah. Just so you know di puncak Gunung Api Banda masih terjangkau sinyal 4G. Not bad at all!
Cuaca tidak semakin baik. Kabut masih menyelimuti puncak. Dan anginnya kencang sekali. Tapi keren sih, seenggaknya sudah sampai sini, nggak rugi lah. Akhirnya kami turun. Perjalanan saat turun lebih seru karena terasa sekali medannya yang licin. Sering kami sengaja perosotan karena jalan setepak yang penuh dengan kerikil dan pasir.
Kami berhenti sejenak, melihat pemandangan di bawah. Kota Banda Neira terlihat seluruhnya, mulai kawasan pelabuhan sampai bandara, tak ketinggalan Benteng Bélgica terlihat keabuan, kokoh dan menjadi bangunan paling menonjol di pulau itu.
Kalau main ke Maluku atau Indonesia bagian timur, Banda Neira bisa jadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Buat yang suka sejarah pasti akan terkesan dengan setiap sisi di pulau kecil itu yang memiliki nilai historis. Buat yang suka mendaki, tinggal lompat saja dan naik ke Gunung Api. Buat yang suka menyelam, just set up your dive gear and get down.
It was fun!