Pertama kali menyentuh ular suci Tanah Lot. |
Siang itu saya dan kawan saya memutuskan untuk mengunjungi Tanah Lot, Bali. Rencananya, kami mau menyaksikan matahari terbenam di sana. Mobil taksi daring meluncur dari Kerobokan menuju Tanah Lot. Butuh waktu sekitar 30 menit menuju ke sana.
Sesampainya di sana, kami langsung menuju kawasan pantai yang, sebenarnya tidak berpasir bagus seperti pantai Seminyak atau Kuta. Tanah Lot berpasir hitam dan berbatu. Banyak sisi-sisi bebatuan yang licin sehingga harus ekstra hati-hati.
Kami mencoba mengunjungi pura yang berada di bukit batu. Bukit ini apabila laut pasang terlihat terpisah dari daratan utama, namun untungnya saat itu sedang surut sehingga memungkinkan untuk berkunjung. Sebelum masuk, kami didoakan di mana penjaganya mengusapkan beras yang bisa nempel seperti stiker kulkas di kening dan dahi. Setelah itu kami naik ke atas pura. Cukup bagus pemandangan dari atas bukit, meskipun jalannya sempit. Sayangnya, kami tidak bisa masuk ke dalam pura untuk menjaga kesucian tempat ibadah itu. Anyway, it was cool enough tho.
Ternyata di pantai dekat bukit batu tadi ada gua di mana kita bisa melihat seorang penjaga dengan ular sucinya. Penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk masuk. I thought about ular phyton besar saat mendengar kata-kata ular suci. Namun, di luar dugaan karena ular suci yang dimaksud ternyata ular laut. Yes, it was a sea snake. Banded sea krait. Dengan motif belang-belang hitam putih di tubuhnya dan ekornya yang pipih dan licin seperti ekor ikan, ular suci itu terlihat "tenang" di samping sang "pawang". Ada semacam lubang di samping sang pawang yang merupakan tempat tinggal ular (sepertinya). Menurut cerita, ular suci ini adalah jelmaan selendang Dang Hyang Nirartha, seseorang yang dulunya bertapa di gua ini. Adanya ular ini adalah agar beliau bisa bertapa tanpa adanya gangguan. Namun sekarang, tinggal ular suci ini yang mendiami gua.
Si bapak meyakinkan saya untuk menyentuh si ular. Saya pernah melihat ular laut sebelumnya setidaknya dua kali, saat masih di Papua Barat. Pertama, saat berenang di pantai dan kami semua langsung semburat berenang ke tepi sampai ngos-ngosan saat melihat ular laut naik ke permukaan menuju karang untuk mengambil nafas. Kedua, saat sedang sendiri di tepi pantai dan ular itu tersapu ombak besar sebelum kembali ke laut. Dari informasi baik itu dari buku atau para penyelam, ular laut ini sangat berbisa dan bisa membunuh dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada durasi album Chromatica. Jadi, tentu saja, tidak ada niatan untuk mencoba mendekat apalagi menyentuhnya.
Tapi sore itu berbeda. Dengan sedikit deg-degan, saya mencoba untuk menyentuh ular suci itu. Tentu saja dengan si bapak tetap memegang ular itu, semantara tangan satunya memegang sebat dengan santainya. It's not safe. At all😄 Rasanya? Sama seperti ular kebanyakan, hanya saja ini lebih licin. Di samping itu, ekstra hati-hati juga. Sebenarnya memang harus begitu sih, selalu menganggap semua ular itu berbisa.
Terlepas dari cerita dan kepercayaan di baliknya, personally saya khawatir dengan si bapak itu. Takut tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi. Maksudnya, sejinak-jinaknya ular tetaplah hewan buas / liar. Apalagi itu ular laut. Tapi mungkin juga ada faktor-faktor lainnya yang membuat kemungkinan itu lebih kecil. Seperti fakta bahwa sebenarnya ular laut menghabiskan waktunya di air daripada di darat, mungkin juga ular suci itu jadi tidak semengerikan yang saya bayangkan, setidaknya bagi sang penjaga.