Solotrip 5 Negara Asean (Part 8: Kuala Lumpur)

kuala lumpur, malaysia, dataran merdeka, jalan
Salah satu jalanan di Kuala Lumpur, Malaysia


Pertama kali yang aku lakukan sesampaiku di Kuala Lumpur adalah mencari laksa. 

“Serious kamu nggak apa-apa? Kamu basah kuyup gitu, mau makan sekarang?” David melihatku seperti Si Tua Brownlow melihat gelandangan bernama Oliver Twist yang basah kuyup karena hujan di Putrajaya tadi sore.

Akhirnya kami ke tempat David tinggal. Letaknya tidak jauh dari stasiun LRT. Tempatnya mengingatkanku dengan yang di Ang Mo Kio, kecuali di sini tidak ada taman. Sepatuku sudah basah seperti popok bayi. Aku membuang kaos kakiku karena terasa begitu menjijikkan.


“You can actually wash and dry it later,” David mencoba memberi saran.


“No lah. Beli yang baru saja.”  


David membawaku jalan-jalan di pasar malam untuk makan laksa. Berbeda dengan laksa yang biasanya aku makan, laksa ini lebih terasa Chinese. Dan aku menyesal telah memesan porsi kecil karena menurutku porsinya sangat besar.


“Harusnya tadi pesan yang extra small laksanya,” aku mengangkat-angkat mee dengan stick sambil sesekali meniupnya karena panas banget. Sialan.


“You think it’s a T-shirt a?” dengan aksen Chinese-nya dia berkelakar. Aku cekikikan.


Aku nggak tahu harganya berapa karena David yang ngotot mau bayarin. Setelah itu aku beli kaos kaki seharga 5 ringgit di salah satu stand di sana. Pasar malam ini sangat meriah sampai-sampai aku berlama-lama di sini.


“Aku mau beli minum, ayo pergi,” ajaknya.


Kami pergi ke tempat minum. Aku memesan es kelapa muda dan menyesal karena aku mengiyakan ketika si waiter India bertanya “tambah gula?” Maksudku, tambah gula pasti minumannya lebih manis kan? Bukan ukuran gelasnya yang bertambah besar seperti tempat popcorn ukuran jumbo di Blitz.


“Apa-apaan sih mereka ini?” aku mulai mengomel. David senyum-senyum menahan tawa. Dia orangnya nggak terlalu banyak senyum, tapi tetap terkesan humble. Sewajarnya.


“Kamu tahu ini? Coba deh.” Dia nyodorin minumannya ke arahku. Aku meminumnya sedikit pakai sedotan.


“Ini teh tarik kan?”


“Oh, I thought you don’t know.” Dia terkejut. Ya ampun, aku kan orang Indonesia bukan orang Eskimo. Kami sempat rebutan siapa yang mau bayar karena dia keukeuh mau bayarin.


“Kalau kamu datangnya weekend aku bisa temenin jalan-jalan. Sayang sekali, besok kerja,” dia menjelaskan. Dia orangnya baik sekali dan sangat informative.


Kami mengobrol selama dua jam di sana. Saling bertanya sudah ke mana saja. David yang lebih sering bercerita tentang petualangannya. Mulai dari Bromo, Ijen, Jogja, Bandung, Saigon (2 minggu sebelum aku berangkat), Australia, Bali dan masih banyak lagi tempat di Indonesia yang dia kunjungi.


"Kalau ke Australia, pake visa juga?" tanyaku.


"Yup. Cuma sehari saja sudah jadi. Kalian Commonwealth juga kan?"


Mana ada kita Commonwealth, yang ada common-suffer. "No. We're not under British." jawabku. Kita kan dulu under the Netherlands. Belanda sialan.


“Kamu travelling sendiri?” Dia bertanya.


“Ya. Lebih asik. Lebih bebas.” Jawabku.


“Ya. I used to travel alone, tapi sejak ada pacar jadi sekarang kemana-mana selalu berdua.” Ekspresi wajahnya seperti mengatakan “Ya, sedikit banyak seperti di penjara gitu lah!”


“Banyak komprominya ya,” balasku.


“Ya. Apalagi dia bukan tipe traveller sepertiku.” Jelasnya singkat. “I see” pikirku.


“Is it okay we’re here? I mean, aku kan stay di tempatmu.”


“It’s okay lah. Aku kan menampungmu. Anyway, aku lagi suka Shameless.” Dia mencoba mengalihkan pembicaraan.


“Kurang ajar,” reflekku sebelum mengikuti alur obrolannya. Kami bercerita tentang film, TV series, kelucuan dan kejanggalan yang ada di TV series yang kami sukai. Oiya, David itu orangnya suka film sepertiku jadi kami nyambung. Setiba kami di rumah, dia langsung pamerin koleksi filmnya dan akhirnya kami memilih menonton The Grand Budapest Hotel.


Esok harinya, David nge-drop aku di Suria KLCC, tempat dia bekerja. Atau tempat yang lain? I dunno. Intinya dia bekerja tempat bisnis di sekitar situ. Berbekal map dan penjelasannya tadi malam, aku mulai jelajah Kuala Lumpur seperti Dora the Explorer dengan Mr. Peta-nya.  Dia sangat informative sekali dan menjelaskan dengan detail  jalur bus, train, walking distance yang ada di peta. Thank, God. Dia seperti juru selamat.

Aku punya waktu satu hari untuk jelajah Kuala Lumpur. Cukup mudah jelajah kota ini karena akses transportasi yang mudah dan ada yang gratis (Bus KL Hop-on Hop-Off  yang berwarna pink). Bus, komuter, monorail, jalan kaki, semua bisa. Dan jaraknya juga nggak terlalu jauh. At least untuk traveller loh ya! Apalagi ada map, sumpah mudah banget!


masjid tua, kuala lumpur
Salah satu sudut kota Kuala Lumpur, Malaysia

Merdeka Square / Dataran Merdeka

Mungkin ini lebih mirip Rizal Park di Manila atau Monas di Jakarta. Tempat ini adalah tempat paling bersejarah karena untuk pertama kalinya bendera Malaysia dikibarkan. Dari sini kita bisa melihat gedung-gedung bersejarah yang mengelilinginya, seperti Bangunan Sultan Abdul Samad (yang mengingatkanku dengan bawang merah di warung-warung setiap kali ihat kubahnya), KL City Library, Katedral St. Mary, KL City Gallery dan masih banyak lagi. Semua tempat tersebut hanya beberapa puluh langkah saja dari Dataran Merdeka. Tinggal menyeberang jalan saja. Sayang sekali waktu di Kuala Lumpur saat itu lagi kabut asap tebal. Jadi udara pengap dan panas, apalagi di Dataran Merdeka tidak ada area hijau.

Pasar Seni

Tempat ini seperti Malioboro di Jogjakarta, hanya saja jauh lebih kecil. Di sini kita bisa melihat banyak sekali kerajinan dan makanan tradisional. Mungkin karena serumpun ditambah lagi banyak sekali orang Indonesia di sini, jadi makanan tradisionalnya seperti di Indonesia. Cocok di lidah. 

Banyak sekali souvenir, mulai baju, handycraft, hiasan meja bertebaran di sini. Yang penting harus pandai menawar karena mereka membandrol harga sesuka kata yang keluatr dari mulut mereka. Aku menghampiri stand yang manawarkan replica tangan dengan menggunakan lilin cair. Menarik sekali karena tanganku dimasukkan ke dalam lilin cair setelah sebelumnya dimasukkan ke dalam air es. Dan tangannya bisa dibentuk sesuka kita, tinggal diclupkan saja beberapa kali dan langsung jadi. Aku membentuk tanganku dengan gaya “metal” untuk aku kasih ke David sebagai bentuk terima kasih (dan dia protes “ini kan tanganmu, harusnya kamu bawa.” “Aku sudah punya tangan, itu buat kamu.” “Oh, I see. Thank you”)


Batu Cave

Ini adalah tempat paling dramatis yang ada di Kuala Lumpur. Ada patung dewa Hindu warna emas mentereng heboh sebelum masuk ke ratusan tangga yang menuju ke gua. Patung Dewa Hindu ini adalah yang tertinggi di dunia and it’s sick! Keren banget. Butuh waktu sekitar 7 menit untuk menaiki ratusan tangga menuju ke dalam gua. Ketika sampai di gua, ada ternyata masih ada beberapa tangga lagi (tolong!). Di sini banyak sekali monyet-monyet lucu dan patung dewa-dewa. Akses menuju Batu Caves sangat mudah, tinggal naik komuter dari KL Central arah Batu Caves dan turun di pemberhentian terakhir. Sekitar 15 menit saja dari Kuala Lumpur. This is a must-visit place when you drop in Kuala Lumpur.


patung,batu cave, malaysia
Batu Caves, Malaysia




Kawasan Sekitar National Mosque


Di sini banyak tempat yang bisa dikunjungi atau sekedar sight-seeing. Banyak traveller yang wara-wiri dan saling berbagi informasi di kawasan ini karena tempat ini sangat nyaman untuk traveller. Sejuk, hijau, nyaman. Nice lah. Ada Memorial Tun Razak di mana kita bisa tahu banyak tentang sejarah Malaysia dan hubungan Malaysia – Indonesia. Ya, bagaimana dulu bangsa Indonesia begitu mendapat tempat dan disegani oleh Malaysia, semua bisa dilihat di sini. Ironis juga ya bahkan aku belajar sejarah tetang negara sendiri di negara orang. Mungkin karena ini museum dan semua museum cenderung membosankan, jadi tempat ini cukup sepi. Hanya aku dan beberapa backpacker kulit putih saja yang berkunjung.


Kuala Lumpur City Gallery

Di sini kita bisa melihat sejarah Kuala Lumpur dan perkembangan serta masterplan jangka panjang untuk menarik para investor dan pendatang. Singkatnya, seperti company profile. Hanya saja ini lebih menarik dan meyakinkan. Menurutku, Kuala Lumpur adalah salah satu kota yang menjanjikan dan terancang. Kota ini sudah punya infrastruktur yang cukup memadai dan berkembang secara gradual dan tertata, itu yang mereka coba sampaikan kepada para pengunjung tempat ini. Dan berhasil.


Sebenarnya banyak sekali tempat yang aku kunjungi di sini. Mungkin beberapa tempat tidak perlu dijelaskan lagi, seperti KLCC, Bukit Bintang (aku cuma lewat saja karena PAGI hari), China Town (which is all the same all over the world) dan banyak lagi. Tapi karena aku harus kejar kereta ke Johor, jadi harus menyimpan energi. Aku menghabiskan  waktu dengan David sebelum pergi ke KL Sentral untuk naik kereta malam menuju JB Sentral.


tiket, kereta api kuala lumpur, johor bahru
tiket kereta api Kuala Lumpur - Johor bahru


Kereta berangkat jam setengah sebelas menuju Johor Bahru. Tiket kereta murah sekali, hanya 39 ringgit dan kita sudah bisa tidur! Pasti bakalan balik ke Malaysia lagi tapi entah ke bagian mana lagi. I just can’t wait!


Pricing and tips:


  • Selalu bawa peta kalau ingin jelajah Kuala Lumpur karena sangat membantu
  • Sediakan pecahan kecil ringgit untuk transportasi, tapi ada juga bus KL Hop on-Hop off yang menyediakan transportasi gratis.
  • KL Sentral adalah pusat jalur kereta untuk menuju tempat-tempat lain di Semenanjung. Tiket KL Sentral – JB Sentral adalah MYR33.00 yang duduk dan MYR39.00 yang tidur. Murah banget kan? Kereta berngkat pukul 22.30 dan sampai JB Sentral pukul 06.10 pagi. Dari JB Sentral bisa langsung naik bus ke Woodlands Singapore hanya dengan SGD1.50. 

So, ini bagian akhir. Terima kasih telah membaca! Semangat, jangan lupa bahagia!


Share:

Solotrip 5 Negara Asean (Part 7: Keliling Putrajaya, Malaysia)

masjid putra, putrajaya
Putra Mosque, taken from across the Putra Square, Putrajaya, Malaysia

Aku sebenarnya masih ngantuk banget ketika harus bangun jam 5 pagi. Aku sempat terbangun ketika kulihat Philippe tiba-tiba ada di kamar. Rupanya dia menutup pintu di balkoni kamar karena hujan semakin deras. Lucu sekali. I mean, seperti melihat foto siluet model celana dalam Dolce & Gabbana ketika dia terkena cahaya lampu dari luar saat menutup sliding door dan tirai. Cuma kali ini modelnya benar-benar telanjang.


“Mau tidur basah kuyup?” tapi anginnya malam itu memang gila banget.


“Terserah deh. Thank you” jawabku sekenanya, berterima kasih. Aku kan ngantuk banget. Ada sesuatu hangat berbulu di kakiku. Ternyata Max. I love this cat so much.


Jam lima kurang beberapa menit aku terbangun karena Philippe masuk kamar sambil “Wake up! Wake up!” layaknya sipir. Pesawat pagi keparat.


Aku mulai terbiasa bangun dan disambut dengan pemandangan jaman purba di mana manusia belum mengenal pakaian. Aku sempat kepikiran apa di sini pernah ada pesta seks. Maksudku, wajar kan kalau hal itu pernah terjadi. Orang-orang telanjang dan semua mupeng. Mengerti maksudku, kan?


Rupanya Henri juga sudah bangun. Dia tadi malam bilang padaku kalau minggu-minggu ini banyak sekali orang nikah jadi dia bakalan sangat sibuk. Maklum, dia berkerja di EO. Aku LANGSUNG mandi—literally, tanpa ada acara buka baju. Setelah berkemas, aku pun siap pamitan.


“Hey, hati-hati,” Philippe tiba-tiba nongol di balik pintu ketika baru saja aku menutupnya dan hendak menuju lift.


“I know you miss me,” aku berkelakar. Dia ketawa mengiyakan. Jujur, dia orangnya asik banget.


Sebenarnya pesawatku berangkat jam 8.25. Tapi karena Don Mueang (nama bandara) jauh, jadi harus berangkat pagi-pagi. Ditambah lagi, aku masih trauma karena pernah ketinggalan pesawat (nggak mau lagi!). Jarak kondo – Don Mueang… I dunno how far tapi seperti Medan – Kualanamu. Hanya saja mendekati bandara mulai macet. Padahal masih pagi-pagi banget. Menurutku orang-orang yang tinggal di kota besar adalah golongan orang-orang yang paling sabar dan paling tidak punya “me time” kecuali mereka memang betah di kendaraan selama berjam-jam.


Sesampai di bandara, hal pertama yang terlintas di benakku adalah aku mau balik lagi aja ke rumah telanjang. Ini seperti di NAIA ketika mau ke Cebu, penuh sesak. Sampai-sampai aku nggak yakin aku menghirup udara bersih atau udara buangan nafas orang lain saking padatnya ini gedung dengan manusia.


Pesawat berangkat tepat waktu dan tiba di Kuala Lumpur jam 12 siang. Aku senang sekali ketika tiba di Kuala Lumpur karena untuk pertama kalinya aku akan menjelajahi downtown kota ini (setelah sekian kali hanya numpang lewat atau sekedar transit). Yey!


Aku langsung beli tiket KL Transit menuju Putrajaya. Hanya RM6.20! David yang menyarankanku untuk jalan-jalan ke Putrajaya sebelum ke pusat kota pada malam harinya. Setiba di stasiun Putrajaya, aku naik bus yang tiketnya seharga SETENGAH Ringgit saja, hal yang mustahil ditemukan di jagad raya Indonesia untuk moda transportasi public yang nyaman dan aman. Bahkan sampah baja reot yang bernama JoNo (Jodoh-Nongsa, angkutan umum di Batam) saja paling tidak kita harus bayar 5000 rupiah hanya untuk menghirup gas beracun pembungan yang keluar dari bawah tempat duduk penumpang. I mean, really!


Ketika di bus, dua orang imigran mengajakku ngobrol.


“Where are you going?” cowok Bengal brewok-tipis dengan beanie hat abu-abunya memulai obrolan.


“Going around here. I have no idea actually where to go. But I heard this township is quite new and a must-visit.” Itu saran David sebulan yang lalu sih sebenarnya.


“Di sini cuma ada gedung-gedung sih, dan IOI. Kalau pengen lihat landmarknya Putrajaya ya di sekitar sini. Itu kita bisa lihat sekarang.” Ya aku bisa lihat bangunan seperti White House mentereng di kejauhan sana.


“Okay, so that’s Malaysia’s White House, right?” Aku menebak-nebak.


“Ya.”jawab si beanie hat. “Where are you from?” lanjutnya bertanya.


“Indonesia.”


“Is it true that the company burning the land is from other countries?” jawab si brewok satunya. Cuma dia lebih brewok. Jenggotnya seperti Santa Clause.


“Ya. Some are from Malaysia and Singapore.” Jawabku blak-blakan. Cowok Melayu sebelahku langsung curi-curi pandang ke kami bertiga. Sepertinya dia nggak terima, aku sih nggak peduli.


“Where are you guys, anyway?” Nggak ada yang bisa dibanggakan dengan asap merajalela lintas negara, apalagi asap itu berasal dari negara kita sendiri. Aku langsung mengalihkan pembicaraan.


“I’m from Iraq,” jawab si beanie hat. Mendengar kata Iraq aku cuma bisa pasang ekspresi “Oh…” senetral mungkin tapi sial karena ekpresiku lebih seperti “Oh, negara konflik itu? Nggak heran sih kamu pindah ke sini,” dan kami bertiga menyadari hal itu. SO AWKWARD! 


Tapi dia lumayan ok loh. I mean, tidak seperti yang di berita-berita CNN atau Aljazeera tentang orang Iraq dengan wajah penuh  beban dan ratapan hidup akibat perang. Dia menarik dan terlihat parlente.


“I’m from Bangalore,” si Santa Clause langsung menyambung, memecahkan suasana canggung.


“I heard about the city. It’s nice there, isn’t it?” basa-basiku.


“Ya. But I like here.” Ya lah di sini lebih enak. Di India kan sudah terlalu penuh dengan manusia.


“So, where have you been?” sambungnya.


“I’ve been around let say the region for these recent days. Vietnam, Cambodia, Bangkok.”


“Oh…So, anything interesting there?” si beanie hat bertanya.


“Yeah, you can smoke p*t in Siem Reap.” Jawabku.


“Yeah,”jawab keduanya reflek, mengungkapkan jati diri mereka yang bejat.


Kami bertiga ngobrol tentang tempat-tempat mana saja yang ingin kami kunjungi. Mereka ribut karena si beanie hat nggak pernah nonton film “3 Idiot” dan si Santa Clause seperti “Hey, masa nggak pernah nonton? It’s Bollywood!” Mungkin itu parameter gaul ketika kamu hidup di Asia Selatan. Film Bollywood. Dan wajar lah si beanie hat nggak sempat nonton—setidaknya ketika dia di IRAQ!—mengingat negaranya saja sibuk bunuh-bunuhan. Sampai mereka akhirnya menyanyikan lagu Jason Mraz sambil si Santa Clause mengoreksi lyric yang dinyanyikan beanie hat. Menarik sekali persahabatan mereka, sangat akrab seperti kaka beradik.


“So, do you speak Malay?” aku bertanya pada mereka berdua. Si beanie hat sudah dua setengah tahun di Malaysia, sedangkan Santa Clause hampir empat tahun.


“No. And we have no reason why we should learn Malay.” Jawab Santa Clause. Mereka berpikir nggak ada untungnya belajar Malay bahkan dalam waktu 2-3 tahun ke depan.


“Ya. I see,” aku mengiyakan. “Luckily they speak English.” Sambungku.


Mereka berdua setuju. Pembicaraan berakhir ketika aku harus berhenti di bundaran dekat masjid besar.


“Nice to meet you,”  aku berjalan menuju pintu bus.


“Have fun,” si beanie hat mengacungkan kedua jempolnya sambil tesenyum. Kubilang juga apa? Dia menarik.


Aku menghabiskan waktu di seputar Putra Square. Kalau di Indonesia itu alun-alun. Di sekelilingnya ada Perdana Putra, Gedung Putihnya Malaysia tempat perdana menteri bekerja, Masjid Putra dan semacam-shopping-mall-tapi-sepi-banget. Mungkin karena ini pusat pemerintahan dan semuanya pasti bekerja di kantor jadi sangat sedikit orang di luar.


Selain itu, kita juga bisa melihat Istana Darul Ehsan yang sekilas seperti istana penginggalan Inggris yang berada di pinggir danau dan Seri Wawasan Bridge yang sangat dramatis itu. Tapi cuaca hari itu hujan deras—Serius, semua tempat yang aku kunjungi selalu hujan—dan kabut asap yang sangat tebal jadi aku cuma bisa menikmatinya dari foodcourt di pinggir danau.  Sempat ada pasangan Chinese yang melakukan foto pre-wedding yang menghadap ke Istana Darul Ehsan di tengah udara pengap karena asap. Kok nggak sekalian aja mereka bergaun sambil pakai masker.


Selain dataran ini, ada juga IOI City tak jauh dari Putra Square. Aku pergi ke sana dan ternyata sebuah mall dan aku langsung muak. Maksudku, aku nggak mau jauh-jauh beli tiket pesawat dan hanya berakhir di sebuah pusat perbelanjaan, karena menurutku semua mall sama saja. Itu-itu aja!


Menurutku Putrajaya adalah salah satu dari sedikit bukti keberhasilan Malaysia sebagai sebuah negara. Kapan ya Indonesia bisa bangun ibukota baru seperti ini? Aku kembali ke Putra Sentral pada jam lima sore untuk selanjutnya ke Kuala Lumpur.


“I’m on the way to BTS. Around 7 I’ll be there as I have to change LRT.” Aku Whatsapp David. Dia berjanji akan menjemputku di stasiun LRT terdekat.



“Okay. I’ll be there. See you.” Aku membayar tiket kereta sebesar lima ringgit tigapuluh sen. Dan, Omigod, barusan aku Whatsapp siapa? I mean, ya di kereta ini ada WiFi. As a solo traveler, I love Malaysia in this case.


tiket, LRT, KL transit
tiket kereta api dari Putra Jaya ke Kuala Lumpur


Pricing and Tips:

Taxi fee to Don Mueang Airport Bangkok: 200-300 Bath. Better go to the airport several hours before as there will be so much traffic jam even at 6 in the morning!

Flight ticket Airsia Bangkok DMK - Kuala Lumpur KLIA2: MYR177.00. Better buy the ticket 2 months before departure or during promotion. They offer a really good price!

KLIA Transit ticket KLIA2-Putra Sentral Putrajaya: MYR6.20

Bus from Putra Central: MYR0.50-MYR3.00. It was so cheap that you don't need to worry.

KLIA Transit ticket Putra Sentral - Bandar Tasik Selatan: MYR5.30. You can go to KL Sentral which is the centre of train route in Kuala Lumpur. You can change to LRT or monorail to explore the city of Kuala Lumpur from this station. 


Share:

Solotrip 5 Negara Asean (Part 6: Kaum Naturist Di Bangkok)


Aku dan Laura harus bangun jam SATU DINI HARI karena bus ke Bangkok berangkat jam 2 dan kami harus bersiap-siap. Aku ngantuk BANGET karena malamnya aku baru bisa tertidur hampir tengah malam (ada yang mencoba jalan seperti Hobbit tapi tidak berhasil, dan setelah aku keluar kamar, ternyata Steven). 

Dia rupanya baru dari Pub Street bareng Emmauelle, traveller dari Italia yang penampilannya seperti orang yang nggak pernah mengenal pisau cukur seumur hidupnya (Laura seringkali ngawur sebut namanya dengan Alfonso, Fernando dan nama-nama Hispanik lainnya).

Tepat jam dua pagi, bus sampai di depan tempat stay. Kami harus membayar USD15.00 dari Siem Reap – Bangkok (Laura benar-benar shocked karena sebelumnya dia lihat harganya cuma USD10.00). Pak supir meminta kami menunjukkan tiket bus, dan mempersilahkan kami berdua masuk. Sudah ada beberapa penumpang ternyata, dan ada 3 orang cakap Melayu. Perjalanan Siem Reap – Bangkok memakan waktu delapan jam.

Kami sempat berhenti sekitar 10 menit karena harus menjemput penumpang lainnya. Pak supir meminta kami menunjukkan tiket lagi.

“My God, what’s wrong with these people? They asked us the ticket like every 5 minutes.Like, really!”Akhirnya omelanku keluar juga seperti lolongan serigala di pagi buta.

Tapi jangan salah ya, di Cambodia emang….what to say….sangat manual dan merepotkan mereka sendiri. Bayangkan saja, kami sudah bayar USD20.00 untuk Angkor Wat dan harus menunjukkan tiket setiap kami kami masuk candi (parahnya, punya Laura sudah seperti kertas daur ulang). Okay lah wajar, tapi bahkan mereka periksa NOMOR TIKET, padahal harusnya mereka cek tanggal valid berkunjung (itu lebih penting dan lebih masuk akal). What’s the point? I mean, scanner juga nggak ada. Hey!

“And it’s not even a bus, it’s a minivan.” Laura langsung nyambung omelanku sambil nyerahin tiket ke pak supir.

Traveller Perancis langsung ketawa di belakang kami. Aku dan Laura saling pandang seperti  “Okay, orang ini habis "make". And it’s working.” Kami berdua menahan tawa. Dan ternyata benar, bule sèdhèng ini sering banget ketawa-tawa sepanjang perjalanan.

Setelah sekitar 2 jam perjalanan, bus tiba-tiba berhenti. Ternyata kami sudah sampai di Poipet, daerah perbatasan Cambodia – Thailand dan bahkan ini belum jam 5. Dan ternyata perbatasan baru buka jam enam pagi.

Sumpah deh, semua orang nggak habis pikir. Kenapa nggak berangkat jam 3 saja? Macet juga nggak. I mean, di siang hari aja kendaraan juga jarang. Ya ampun, nggak tahu deh! Jadilah satu bus seperti pengungsi Syiria yang terlunta-lunta di perbatasan Eropa. Ada yang senam-senam kecil, ada yang lihat-lihat sekitar, dan aku memilih tetap di bus sambil ngobrol dengan 3 cowok Malaysia.

“Turun mane?” salah satu dari mereka bertanya padaku.

“Bangkok. You?” balasku

“Poipet. Terus ke Krabi.”

Mereka mau lihat-lihat Poipet sebelum ke Krabi. I have no idea apa yang mereka cari di Poipet kecuali mereka suka berjudi (ada casino loh tapi aku lupa namanya).

Pak supir meminta tiket kami dan menukarnya dengan sepotong sellotape warna merah yang harus ditempel di baju kami. Kami baru tahu ternyata itu untuk memudahkan mereka “mengidentifikasi para penumpang” setelah masuk wilayah Thailand. Kami diangkut pakai Tuk-tuk dari imigrasi menuju bus-stop terdekat (lebih tepatnya rumah makan) dan baru jam setengah delapan bus kami berangkat ke Bangkok.


Khosand road, bangkok
Khaosand Road, Bangkok, Thailand

Bus tiba di Khaosand Road, Bangkok pada jam setengah dua belas siang. Kami berdua berpisah di sini karena Laura mau pergi ke utara (Chiang Mai) dengan kereta api.


“Nice to meet you!” kami pun berpelukan.


“Have fun!”


“Take care!” sahutku.


Hal pertama yang aku lakukan setibaku di Khaosand Road adalah menukarkan dollar. Aku suka banget berada di Thailand karena negara ini asik BANGET, bebas, dan ada semacam ketenangan jiwa. Aku makan Big Mac karena lapar sekali dan McDonald’s adalah tempat di mana aku bisa mendapatkan koneksi internet.


Ada Line masuk, ternyata Philippe.

“Where are you?”                                                               

“Just arrived at Khaosand Road. I’m having Big Mac as I’m sooooooooooooo hungry.”

“Haha… I know. You know how to get here, right?”

“Yup!”

“See you!”

Setelah kenyang, aku lihat-lihat daerah ini. Ada mas-mas nyodorin kalajengking goreng (gede banget!), tapi karena aku sudah sangat capek aku cuma berlalu saja (next time kalau aku balik lagi ya!)  dan berhenti di tampat massage. Sebenarnya aku nggak begitu suka massage, bahkan ketika aku di Phuket pun, cuma Indra dan Rudi saja yang ngebet massage layaknya perjaka ke kantor penghulu karena kebelet kawin. Tapi aku bahkan coba massage di Vietnam, jadi…

“S#$%^&*((*&^%”  mbak-mbak ngobrol sama teman tukang massagenya dalam bahasa Thai sambil menarik kedua lengaku ke belakang. Di sebelah, dua cewek Jepang cekikikan karena nggak tahan geli. Sesi pijat-pijat selesai dalam waktu setengah jam. Massage di sini murah banget. Setengah jam Thai massage cuma 150 bath, kalau satu jam 250 bath. Dan enak banget!  

Aku terjebak macet dalam perjalanan Khaosand Road – National Stadium. I don’t like big cities. Hujan deras memperparah kemacetan. Sebelum aku mati bosan di taksi, aku memberikan dua lembar Rupiah pecahan 5,000 dan 10,000 dan VND1,000 ke pak supir karena di langit-langit dalam taksinya banyak banget koleksi  uang kertas dari para penumpang dari berbagai negara.

“You’re from Filipin?” tanyanya dengan logat Thailand-nya yang susah banget untuk ditiru.

“No. Indonesia.”

“Ha.” Jawabnya singkat sambil senyum. Pasti dia nggak tahu Indonesia.

Aku harus bayar taksi 200 bath lebih untuk perjalanan sejauh 4 km.

Dari National Stadium, aku naik skytrain ke Phra Khanong. Aku bilang ke Philippe sekitar jam 4 tiba di tempatnya, ternyata nggak sampai pukul 4 aku sudah berdiri di depan pintu kondonya.

“Hujan,” adalah kata pertama yang keluar dari mulutku ketika dia buka pintu.

“I see. Come,” ternyata dia nggak telanjang. Setidaknya belum.


“Emang tukang catnya belum balik?” Philippe tadi sempat bilang ada 2 orang lagi ngecat ruang TV, jadi dia nggak telanjang.


“Sudah balik, jam 2 tadi.” Dia menunjukkan kamarku dan kami langsung ngobrol—okay, lebih tepatnya dia yang bertanya BANYAK hal!

“Mau keluar sekarang?” tanya dia.

“Yeah…”

“Kamu mandi dulu atau aku yang mandi duluan?”

“Kamu aja deh mandi duluan.” Aku langsung ke balcony dan menikmati pemandangan sub-urban dari lantai 8. Masih gerimis.

“Handuknya ada di deket wastafel ya.” Rupanya dia sudah selesai mandi. Aku berbalik dan ternyata dia telanjang seperti balita.

“Okay,”

Sebenarnya kalau aku tiba di Bangkok sesuai jadwal, aku bakalan bertemu dengan cewek Prancis dalam keadaan telanjang juga. Sekarang cuma tinggal cowok-cowok saja, seperti kawanan prajurit Sparta di film “300.”

Kami berdua pergi naik scooter (helmnya lucu banget. Ada tanduknya.), tapi setelah 300 meter, kami memutuskan balik ke kondo karena gerimis.

Sepanjang malam Philippe ngeledekin karena kejadian gerimis tadi (“Yaelah, hujan gitu aja masa nggak jadi keluar?”). Sebenarnya aku fine-fine aja dengan kehujanan, bahkan kami nge-dance di jalanan Pub Street dengan banyak orang sambil setengah teler. Mungkin karena perjalanan yang melelahkan.

Oiya, aku lupa menceritakan seperti apa tempat aku stay di sini. Jadi, ini adalah rumah naturist, orang yang mempraktikkan naturism. Istilah itu sendiri atau bisa juga disebut nudism sebenarnya adalah gerakan yang mempraktikkan telanjang di kehidupan sehari-hari. Singkatnya, social nudism. Dan—panggil saja—Philippe adalah salah satu dari sekian juta orang di jagad ini yang lebih suka tidak pakai baju.

Dan kondo ini sendiri juga lumayan luas. Seperti kamar di hotel Northam Penang, tapi lebih luas kondo ini. Dan ada jacuzzinya juga di kamar mandi. Fasilitas gym dan kolam renang di lantai sembilan (kita nggak telanjang di area publik anyway karena yang lain masih seperti manusia kebanyakan) di mana kita bisa melihat pemandangan downtown of The Big Mango.

"There must be philosophical base for this,” aku bertanya padanya.

“Ya. Pas kita lahir pake apa? Baju?” jawabnya.

“Lagian, kita bisa lebih menyatu dengan alam. Dan, pikiran jadi gak ribet. We don’t need to worry on everything. Seperti yang paling sederhana,keluar dari kamar mandi kita ribet pake handuk. Ya, “pakai” handuk untuk mengeringkan badan, itu saja.”

“Okay,” aku mulai mencerna.

“Nature. Nggak ada yang ditutup-tutupi.” Lanjutnya. Aku mulai mengerti.

Malam pertama di Bangkok dihiasi dengan hujan. Menyebalkan sekali. Kami bertiga makan Tom Yam Goong di restoran local. Enak banget! Philippe suka banget makanya dia bawa aku ke sini. Dan Henri memakan hampir semua rempah yang ada di dalamnya. 

Karena aku nggak bisa diam, aku menggantungkan pecahan Rupiah 1,000 dan beberapa uang Vietnam pecahan 1,000 di pohon harapan yang ada di sudut restoran. Mereka berdua melihatku dengan tatapan “what?!” terutama Philippe dengan wajahnya yang seakan-akan bilang “Oh, come on!”

Asal tahu saja, Philippe orangnya nggak banyak omong sebenarnya, tapi dia suka banget komentar. Seperti:

“Why your phone is vibrating everytime you text?”/”It’s just vibrating, not making some noise anyway. Come on”

“Amongst any other thing, kenapa harus “Germinal” (novel yang kamu baca)? It was a dark story.”//Aku dapatnya buku itu, Philippe. Lagian aku juga baca Shakespeare. Naskah dramanya, bukan novel ya.”

Aku sih menjawab apa adanya.

Kalau Henry orangnya suka gym. Pada malam pertama dia mengajakku ke lantai sembilan untuk gym dan kami ngobrol banyak hal tentang pekerjaan dan pengalaman masing-masing. Selesai gym, kami kembali ke kondo. Ternyata Philippe sudah tidur. 

Aku dan Henri lanjut ngobrol di meja makan (meja di ruang TV ada di kamarku karena tadi habis dicat) dan dia memperlihatkan beberapa buku tentang“Healthy Food” dan diet sehat. Banyak sekali bukunya. Dia tahu tentang hampir setiap makanan yang ia santap. Saking tahunya, sampai dia kadang pilih-pilih.

Hari kedua aku jalan-jalan di Bangkok. Cuma seputaran MBK saja karena, disamping Bangkok hujan seharian (kenapa setiap tempat yang aku kunjungi selalu hujan?”), aku juga kehabisan uang dan hampir jadi gelandangan.

Karena Philippe berencana pindah ke Barcelona dalam beberapa bulan ke depan, dia mulai belajar lagi Bahasa Spanyol. Dia sempet terkejut karena aku bisa sedikit-sedikit bahasa Spanyol.

“Estudiando Espanol, Senor.” Sambil menangkap Max. Oiya, di sini ada dua kucing, Max dan Loulou. I love Max karena dia menggemaskan dan dia selalu naik ke tempat tidur. So adorable!

“You don’t have problem with the “R”?” tanyanya.



cat, max

“Like eRRRRRRe.” Aku melafalkan R dalam bahasa Spanyol sedikit hiperbolis. Sorry ya. Lidahku kan Indonesia, jadi nggak ada masalah ngucapin apapun, emang  orang Prancis yang bilang “R” kayak orang kena radang tenggorokan menahun.

“You’re so drama,” responnya singkat.

“I am. Merci.” aku mencoba melafakan kata terakhir. “Am I right?” tanyaku.

“Ya. That’s it!”


Kami berdua menonton “La Otra Familia”, film Spanyol yang salah satu pemainnya seperti Antonio Banderas. Sedangkan Henry sibuk dengan buku-buku makanan sehatnya. Aku sering menirukan dialog yang ada di film dan Philippe bilang “Ya” kalau aku benar dan mengulangi dialog itu kalau ada yang keliru pelafalannya, sambil dia mondar-mandir dapur-ruang TV dengan makanannya.

“Mau?” dia menawarkan makanan seperti dimsum padaku.

“Nggak. Kenapa kamu makan terus?” tanyaku balik.

“Kenapa tidak? Kenapa kamu makannya sedikit?” tanyanya balik.

Karena telanjang, mau nggak mau pandanganku tertuju pada barang pribadinya. Dan itu wajar. Maksudku, untuk itulah kita berpakaian. Dan alam bawah sadar kita kalo kita telanjang pasti langsung nutupin bagian itu kan? Karena jika tidak ditutupi, barang itu lah yang akan dilihat oleh orang lain karena alam bawah sadar mereka pasti mengarah ke situ. You know what I mean, right?

“Why there should be that kind of thing on “it”?” aku menanyakan kenapa ada (semacam) cincin dipasang di “situ”.

“I dunno. I just love it.” Dia menjawab dengan santai. “Anyway punyamu besar.” Dia mengomentariku.

“Punyamu lebih besar, Philippe.” Selorohku.

“Tapi punyamu…besar. Seksi.”

“My God,” kami kembali nonton film. Anyway, film ini bagus juga. Tentang gay adoption. Tapi sayang sekali sutradara mematikan karakter ibu-pecandu-narkoba yang anaknya diperebutkan oleh pasangan gay dan calon orangtua lainnya. Dan itu membuatku sedikit gregetan.

“Why?” tanya Philippe.

“Why? It’s too easy to set the condition. Ibunya mati overdosis itu jadi satu point untuk pasangan gay untuk adopsi anak itu.” Aku mulai ngomel-ngomel.

“Come on, Rangga. It’s just a movie.”

“But, still.” Tapi akhir ceritanya juga nggak terlalu buruk karena pasangan gay itu dijerat undang-undang pelecehan seksual.

“It’s gonna be a long story. Like TV series.” Lanjutku.

Philippe cuma mengiyakan pendapatku. Mungkin dia capek karena aku nggak bisa berhenti berkomentar.

Bangkok hujan deras sekali disertai angin dan petir.

Selesai film, kami pun pergi ke kamar masing-masing. Dan Max menyusulku ke tempat tidur.

“Max. Come come.” Dia langsung bergulung di sekitar kakiku. Semoga dia tidak menggigit-“nya” ketika aku tidur dalam kondisi tanpa baju.

Pricing:


Tiket Bus Siem Reap - Bangkok: USD15.00
Pijat Thai: 150-250 Bath
Taxi: Mulai 100 Bath tergantung jarak
Tips: Bus akan turun di Khaosand Road di mana ini adalah kawasan backpacker. Banyak guest house di sini jadi, tenang saja. Dan selamat menikmati Thailand! 


Share: