Solotrip 5 Negara Asean (Part 6: Kaum Naturist Di Bangkok)


Aku dan Laura harus bangun jam SATU DINI HARI karena bus ke Bangkok berangkat jam 2 dan kami harus bersiap-siap. Aku ngantuk BANGET karena malamnya aku baru bisa tertidur hampir tengah malam (ada yang mencoba jalan seperti Hobbit tapi tidak berhasil, dan setelah aku keluar kamar, ternyata Steven). 

Dia rupanya baru dari Pub Street bareng Emmauelle, traveller dari Italia yang penampilannya seperti orang yang nggak pernah mengenal pisau cukur seumur hidupnya (Laura seringkali ngawur sebut namanya dengan Alfonso, Fernando dan nama-nama Hispanik lainnya).

Tepat jam dua pagi, bus sampai di depan tempat stay. Kami harus membayar USD15.00 dari Siem Reap – Bangkok (Laura benar-benar shocked karena sebelumnya dia lihat harganya cuma USD10.00). Pak supir meminta kami menunjukkan tiket bus, dan mempersilahkan kami berdua masuk. Sudah ada beberapa penumpang ternyata, dan ada 3 orang cakap Melayu. Perjalanan Siem Reap – Bangkok memakan waktu delapan jam.

Kami sempat berhenti sekitar 10 menit karena harus menjemput penumpang lainnya. Pak supir meminta kami menunjukkan tiket lagi.

“My God, what’s wrong with these people? They asked us the ticket like every 5 minutes.Like, really!”Akhirnya omelanku keluar juga seperti lolongan serigala di pagi buta.

Tapi jangan salah ya, di Cambodia emang….what to say….sangat manual dan merepotkan mereka sendiri. Bayangkan saja, kami sudah bayar USD20.00 untuk Angkor Wat dan harus menunjukkan tiket setiap kami kami masuk candi (parahnya, punya Laura sudah seperti kertas daur ulang). Okay lah wajar, tapi bahkan mereka periksa NOMOR TIKET, padahal harusnya mereka cek tanggal valid berkunjung (itu lebih penting dan lebih masuk akal). What’s the point? I mean, scanner juga nggak ada. Hey!

“And it’s not even a bus, it’s a minivan.” Laura langsung nyambung omelanku sambil nyerahin tiket ke pak supir.

Traveller Perancis langsung ketawa di belakang kami. Aku dan Laura saling pandang seperti  “Okay, orang ini habis "make". And it’s working.” Kami berdua menahan tawa. Dan ternyata benar, bule sèdhèng ini sering banget ketawa-tawa sepanjang perjalanan.

Setelah sekitar 2 jam perjalanan, bus tiba-tiba berhenti. Ternyata kami sudah sampai di Poipet, daerah perbatasan Cambodia – Thailand dan bahkan ini belum jam 5. Dan ternyata perbatasan baru buka jam enam pagi.

Sumpah deh, semua orang nggak habis pikir. Kenapa nggak berangkat jam 3 saja? Macet juga nggak. I mean, di siang hari aja kendaraan juga jarang. Ya ampun, nggak tahu deh! Jadilah satu bus seperti pengungsi Syiria yang terlunta-lunta di perbatasan Eropa. Ada yang senam-senam kecil, ada yang lihat-lihat sekitar, dan aku memilih tetap di bus sambil ngobrol dengan 3 cowok Malaysia.

“Turun mane?” salah satu dari mereka bertanya padaku.

“Bangkok. You?” balasku

“Poipet. Terus ke Krabi.”

Mereka mau lihat-lihat Poipet sebelum ke Krabi. I have no idea apa yang mereka cari di Poipet kecuali mereka suka berjudi (ada casino loh tapi aku lupa namanya).

Pak supir meminta tiket kami dan menukarnya dengan sepotong sellotape warna merah yang harus ditempel di baju kami. Kami baru tahu ternyata itu untuk memudahkan mereka “mengidentifikasi para penumpang” setelah masuk wilayah Thailand. Kami diangkut pakai Tuk-tuk dari imigrasi menuju bus-stop terdekat (lebih tepatnya rumah makan) dan baru jam setengah delapan bus kami berangkat ke Bangkok.


Khosand road, bangkok
Khaosand Road, Bangkok, Thailand

Bus tiba di Khaosand Road, Bangkok pada jam setengah dua belas siang. Kami berdua berpisah di sini karena Laura mau pergi ke utara (Chiang Mai) dengan kereta api.


“Nice to meet you!” kami pun berpelukan.


“Have fun!”


“Take care!” sahutku.


Hal pertama yang aku lakukan setibaku di Khaosand Road adalah menukarkan dollar. Aku suka banget berada di Thailand karena negara ini asik BANGET, bebas, dan ada semacam ketenangan jiwa. Aku makan Big Mac karena lapar sekali dan McDonald’s adalah tempat di mana aku bisa mendapatkan koneksi internet.


Ada Line masuk, ternyata Philippe.

“Where are you?”                                                               

“Just arrived at Khaosand Road. I’m having Big Mac as I’m sooooooooooooo hungry.”

“Haha… I know. You know how to get here, right?”

“Yup!”

“See you!”

Setelah kenyang, aku lihat-lihat daerah ini. Ada mas-mas nyodorin kalajengking goreng (gede banget!), tapi karena aku sudah sangat capek aku cuma berlalu saja (next time kalau aku balik lagi ya!)  dan berhenti di tampat massage. Sebenarnya aku nggak begitu suka massage, bahkan ketika aku di Phuket pun, cuma Indra dan Rudi saja yang ngebet massage layaknya perjaka ke kantor penghulu karena kebelet kawin. Tapi aku bahkan coba massage di Vietnam, jadi…

“S#$%^&*((*&^%”  mbak-mbak ngobrol sama teman tukang massagenya dalam bahasa Thai sambil menarik kedua lengaku ke belakang. Di sebelah, dua cewek Jepang cekikikan karena nggak tahan geli. Sesi pijat-pijat selesai dalam waktu setengah jam. Massage di sini murah banget. Setengah jam Thai massage cuma 150 bath, kalau satu jam 250 bath. Dan enak banget!  

Aku terjebak macet dalam perjalanan Khaosand Road – National Stadium. I don’t like big cities. Hujan deras memperparah kemacetan. Sebelum aku mati bosan di taksi, aku memberikan dua lembar Rupiah pecahan 5,000 dan 10,000 dan VND1,000 ke pak supir karena di langit-langit dalam taksinya banyak banget koleksi  uang kertas dari para penumpang dari berbagai negara.

“You’re from Filipin?” tanyanya dengan logat Thailand-nya yang susah banget untuk ditiru.

“No. Indonesia.”

“Ha.” Jawabnya singkat sambil senyum. Pasti dia nggak tahu Indonesia.

Aku harus bayar taksi 200 bath lebih untuk perjalanan sejauh 4 km.

Dari National Stadium, aku naik skytrain ke Phra Khanong. Aku bilang ke Philippe sekitar jam 4 tiba di tempatnya, ternyata nggak sampai pukul 4 aku sudah berdiri di depan pintu kondonya.

“Hujan,” adalah kata pertama yang keluar dari mulutku ketika dia buka pintu.

“I see. Come,” ternyata dia nggak telanjang. Setidaknya belum.


“Emang tukang catnya belum balik?” Philippe tadi sempat bilang ada 2 orang lagi ngecat ruang TV, jadi dia nggak telanjang.


“Sudah balik, jam 2 tadi.” Dia menunjukkan kamarku dan kami langsung ngobrol—okay, lebih tepatnya dia yang bertanya BANYAK hal!

“Mau keluar sekarang?” tanya dia.

“Yeah…”

“Kamu mandi dulu atau aku yang mandi duluan?”

“Kamu aja deh mandi duluan.” Aku langsung ke balcony dan menikmati pemandangan sub-urban dari lantai 8. Masih gerimis.

“Handuknya ada di deket wastafel ya.” Rupanya dia sudah selesai mandi. Aku berbalik dan ternyata dia telanjang seperti balita.

“Okay,”

Sebenarnya kalau aku tiba di Bangkok sesuai jadwal, aku bakalan bertemu dengan cewek Prancis dalam keadaan telanjang juga. Sekarang cuma tinggal cowok-cowok saja, seperti kawanan prajurit Sparta di film “300.”

Kami berdua pergi naik scooter (helmnya lucu banget. Ada tanduknya.), tapi setelah 300 meter, kami memutuskan balik ke kondo karena gerimis.

Sepanjang malam Philippe ngeledekin karena kejadian gerimis tadi (“Yaelah, hujan gitu aja masa nggak jadi keluar?”). Sebenarnya aku fine-fine aja dengan kehujanan, bahkan kami nge-dance di jalanan Pub Street dengan banyak orang sambil setengah teler. Mungkin karena perjalanan yang melelahkan.

Oiya, aku lupa menceritakan seperti apa tempat aku stay di sini. Jadi, ini adalah rumah naturist, orang yang mempraktikkan naturism. Istilah itu sendiri atau bisa juga disebut nudism sebenarnya adalah gerakan yang mempraktikkan telanjang di kehidupan sehari-hari. Singkatnya, social nudism. Dan—panggil saja—Philippe adalah salah satu dari sekian juta orang di jagad ini yang lebih suka tidak pakai baju.

Dan kondo ini sendiri juga lumayan luas. Seperti kamar di hotel Northam Penang, tapi lebih luas kondo ini. Dan ada jacuzzinya juga di kamar mandi. Fasilitas gym dan kolam renang di lantai sembilan (kita nggak telanjang di area publik anyway karena yang lain masih seperti manusia kebanyakan) di mana kita bisa melihat pemandangan downtown of The Big Mango.

"There must be philosophical base for this,” aku bertanya padanya.

“Ya. Pas kita lahir pake apa? Baju?” jawabnya.

“Lagian, kita bisa lebih menyatu dengan alam. Dan, pikiran jadi gak ribet. We don’t need to worry on everything. Seperti yang paling sederhana,keluar dari kamar mandi kita ribet pake handuk. Ya, “pakai” handuk untuk mengeringkan badan, itu saja.”

“Okay,” aku mulai mencerna.

“Nature. Nggak ada yang ditutup-tutupi.” Lanjutnya. Aku mulai mengerti.

Malam pertama di Bangkok dihiasi dengan hujan. Menyebalkan sekali. Kami bertiga makan Tom Yam Goong di restoran local. Enak banget! Philippe suka banget makanya dia bawa aku ke sini. Dan Henri memakan hampir semua rempah yang ada di dalamnya. 

Karena aku nggak bisa diam, aku menggantungkan pecahan Rupiah 1,000 dan beberapa uang Vietnam pecahan 1,000 di pohon harapan yang ada di sudut restoran. Mereka berdua melihatku dengan tatapan “what?!” terutama Philippe dengan wajahnya yang seakan-akan bilang “Oh, come on!”

Asal tahu saja, Philippe orangnya nggak banyak omong sebenarnya, tapi dia suka banget komentar. Seperti:

“Why your phone is vibrating everytime you text?”/”It’s just vibrating, not making some noise anyway. Come on”

“Amongst any other thing, kenapa harus “Germinal” (novel yang kamu baca)? It was a dark story.”//Aku dapatnya buku itu, Philippe. Lagian aku juga baca Shakespeare. Naskah dramanya, bukan novel ya.”

Aku sih menjawab apa adanya.

Kalau Henry orangnya suka gym. Pada malam pertama dia mengajakku ke lantai sembilan untuk gym dan kami ngobrol banyak hal tentang pekerjaan dan pengalaman masing-masing. Selesai gym, kami kembali ke kondo. Ternyata Philippe sudah tidur. 

Aku dan Henri lanjut ngobrol di meja makan (meja di ruang TV ada di kamarku karena tadi habis dicat) dan dia memperlihatkan beberapa buku tentang“Healthy Food” dan diet sehat. Banyak sekali bukunya. Dia tahu tentang hampir setiap makanan yang ia santap. Saking tahunya, sampai dia kadang pilih-pilih.

Hari kedua aku jalan-jalan di Bangkok. Cuma seputaran MBK saja karena, disamping Bangkok hujan seharian (kenapa setiap tempat yang aku kunjungi selalu hujan?”), aku juga kehabisan uang dan hampir jadi gelandangan.

Karena Philippe berencana pindah ke Barcelona dalam beberapa bulan ke depan, dia mulai belajar lagi Bahasa Spanyol. Dia sempet terkejut karena aku bisa sedikit-sedikit bahasa Spanyol.

“Estudiando Espanol, Senor.” Sambil menangkap Max. Oiya, di sini ada dua kucing, Max dan Loulou. I love Max karena dia menggemaskan dan dia selalu naik ke tempat tidur. So adorable!

“You don’t have problem with the “R”?” tanyanya.



cat, max

“Like eRRRRRRe.” Aku melafalkan R dalam bahasa Spanyol sedikit hiperbolis. Sorry ya. Lidahku kan Indonesia, jadi nggak ada masalah ngucapin apapun, emang  orang Prancis yang bilang “R” kayak orang kena radang tenggorokan menahun.

“You’re so drama,” responnya singkat.

“I am. Merci.” aku mencoba melafakan kata terakhir. “Am I right?” tanyaku.

“Ya. That’s it!”


Kami berdua menonton “La Otra Familia”, film Spanyol yang salah satu pemainnya seperti Antonio Banderas. Sedangkan Henry sibuk dengan buku-buku makanan sehatnya. Aku sering menirukan dialog yang ada di film dan Philippe bilang “Ya” kalau aku benar dan mengulangi dialog itu kalau ada yang keliru pelafalannya, sambil dia mondar-mandir dapur-ruang TV dengan makanannya.

“Mau?” dia menawarkan makanan seperti dimsum padaku.

“Nggak. Kenapa kamu makan terus?” tanyaku balik.

“Kenapa tidak? Kenapa kamu makannya sedikit?” tanyanya balik.

Karena telanjang, mau nggak mau pandanganku tertuju pada barang pribadinya. Dan itu wajar. Maksudku, untuk itulah kita berpakaian. Dan alam bawah sadar kita kalo kita telanjang pasti langsung nutupin bagian itu kan? Karena jika tidak ditutupi, barang itu lah yang akan dilihat oleh orang lain karena alam bawah sadar mereka pasti mengarah ke situ. You know what I mean, right?

“Why there should be that kind of thing on “it”?” aku menanyakan kenapa ada (semacam) cincin dipasang di “situ”.

“I dunno. I just love it.” Dia menjawab dengan santai. “Anyway punyamu besar.” Dia mengomentariku.

“Punyamu lebih besar, Philippe.” Selorohku.

“Tapi punyamu…besar. Seksi.”

“My God,” kami kembali nonton film. Anyway, film ini bagus juga. Tentang gay adoption. Tapi sayang sekali sutradara mematikan karakter ibu-pecandu-narkoba yang anaknya diperebutkan oleh pasangan gay dan calon orangtua lainnya. Dan itu membuatku sedikit gregetan.

“Why?” tanya Philippe.

“Why? It’s too easy to set the condition. Ibunya mati overdosis itu jadi satu point untuk pasangan gay untuk adopsi anak itu.” Aku mulai ngomel-ngomel.

“Come on, Rangga. It’s just a movie.”

“But, still.” Tapi akhir ceritanya juga nggak terlalu buruk karena pasangan gay itu dijerat undang-undang pelecehan seksual.

“It’s gonna be a long story. Like TV series.” Lanjutku.

Philippe cuma mengiyakan pendapatku. Mungkin dia capek karena aku nggak bisa berhenti berkomentar.

Bangkok hujan deras sekali disertai angin dan petir.

Selesai film, kami pun pergi ke kamar masing-masing. Dan Max menyusulku ke tempat tidur.

“Max. Come come.” Dia langsung bergulung di sekitar kakiku. Semoga dia tidak menggigit-“nya” ketika aku tidur dalam kondisi tanpa baju.

Pricing:


Tiket Bus Siem Reap - Bangkok: USD15.00
Pijat Thai: 150-250 Bath
Taxi: Mulai 100 Bath tergantung jarak
Tips: Bus akan turun di Khaosand Road di mana ini adalah kawasan backpacker. Banyak guest house di sini jadi, tenang saja. Dan selamat menikmati Thailand! 


Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar