Kami berangkat ke Phuket dari terminal bus di Hatyai pada pukul dua siang. Sekitar sekitar 70-80 bath harga tiket yang harus kami bayar per orang untuk sampai ke pulau idaman. Masih sekitar sejam lagi bus berangkat dan aku pun berkeliling terminal. Seperti di negara dunia ketiga lainnya, tempat ini penuh dengan manusia kelas menengah ke bawah, mulai pedagang sampai gelandangan, dan ketidakaturan. Di sini ada berbagai bus dengan tujuan mulai Krabi, Surat Thani, Thailand tengah sampai Bangkok. Ada yang menarik di sini di mana aku melihat foto raja Thailand (ini negara monarkhi, asal tahu saja) segede papan billboard rokok di Simpang Kepri mentereng di area terminal. Ya, masyarakat Thailand sangat mencintai (dan mendewakan) sang raja.
Bus pun berangkat. Asal tahu saja ya busnya tidak ada aircon, dan penumpangnya campur-aduk. Mulai pelajar, pedagang, BHIKSU dan aku benar-benar yakin akan kena serangan jantung kalau tidak langsung mati terguncang melihat suasana seriuh ini dengan bahasa mereka yang tidak satu kata pun bisa dicerna. Seperti pasar yang pindah tempat. Thank God, ternyata aku sebangku dengan cewek Jerman dan thank God kita langsung nyambung! Sepanjang perjalanan kami saling bertukar ide dan perpektif tentang berbagai hal yang terjadi, mulai homeland security, budaya, krisis Eropa sampai masalah yang sedikit berat dan personal seperti spiritualitas dan keyakinan.
“So, you are a Moslem?” sampai pada suatu titik Judith
menanyakan tentang label agamaku.
“Ya, administratively.” jawabku singkat, yang ternyata
tidak cukup buat dia jadi aku lanjutkan, “but I don’t really care. It’s not a big deal for me anyway…you know…”
“I see.” dan dia bercerita bahwa dia dibesarkan di keluarga Yahudi dan sama sepertiku, dia tidak begitu peduli.
Kami bicara ngalor-ngidul sampai akhirnya bus memasuki kawasan Krabi.
You know what, mungkin aku belum pernah ke daerah wisata di Krabi, di pantai atau pulau sekitarnya but I can guarantee that it must be VERY BEAUTIFUL! I mean, bahkan di daerah yang jauh dari pantai pemandangannya sangat dramatis.
|
Sayang sekali kami harus berpisah karena Judith harus melanjutkan perjalanan ke utara, sedangkan kami belok ke selatan menuju Phuket. Kami bertukar alamat email dan Judith bilang padaku untuk mengiriminya email kalau nanti aku mau ke Bangkok (yang sayang sekali tidak pernah kulakukan karena aku lebih memilih tinggal dengan kaum nudist sekaligus designer sepatu asal Perancis di condominimunya di daerah Shilom).
Sampai di daerah Phuket jalanan mulai macet. Karena cuma kami bertiga saja di bus yang bisa bahasa Indonesia, kami dengan leluasa berkomentar apapun sesuka kami (yang akhirnya menjadi kesenangan tersendiri selama di Phuket), mulai kemacetan, bertanya apa hidung orang Thailand kena sinusitis karena mereka berbicaranya selalu seperti itu, baik wanita maupun pria, dan betapa lucunya ketika cowok Thailand yang ganteng macho dan menggoda tapi skala kekerenannya langsung menjadi sub-zero ketika mereka mulai mengucapkan kata pertama. Sampai akhirnya…
Jam 10 malam dan kami masih terjebak di kemacetan. Untung saja ada mahasiswa (yang terlihat masih seperti siswi kelas 2 SMP) yang bisa bahasa Inggris dan memberitahu kami bahwa ada demonstrasi oleh anggota salah satu keluarga yang kena salah tangkap polisi. Bus hampir tidak bisa bergerak dan semua penumpang semburat.
Yang nggak habis pikir adalah bagaimana orang-orang Thailand ini sangat sabar sekali dengan kemacetan akibat demo. Seperti mereka mengalaminya setiap hari, seperti “oh iya hari ini hujan” atau “oh iya hari ini hujan, lupa nggak bawa payung, berteduh dulu deh” atau “oh iya, aku lapar. Makan deh. Dan setiap hari aku lapar.”
Aku sama Indra sudah “cannot tahan” seperti ribuan wisatawan lainnya yang terdampar di tengah jalan di pulau ini. Kalau Rudy lebih sabar, karena masalah bus nanti nggak akan pick up kita lagi kalau kita keluar bus dan puluhan pertimbangan lain.
Aku pun memutuskan untuk berjalan dan sial gerimis mulai turun. Indra menyusul. Tak lama kemudian Rudi juga menyusul. Aku dan Indra sudah nggak sabar lagi pengen lihat demo macam apa sih sampai hampir tengah malam gini. Emang mereka nggak capek apa? Dan bisa-bisanya polisi bisa tidak berkutik.
Kami berjalan sejuh dua mil bersama RIBUAN wisatawan di bawah guyuran hujan pada jam setengah dua belas malam! Semua penumpang turun dari bus, mobil, taxi dan apapun yang beroda lebih dari dua karena kendaraan mereka tidak bisa bergerak. Kami berteduh karena hujannya semakin deras dan kami lebih parah dari Oliver Twist.
Setelah sekitar setengah jam kami menunggu, demo pun selesai. Lalu lintas kembali lancar. Mobil mulai bergerak, dan semua orang mulai bingung untuk kembali ke kendaraan mereka masing-masing, termasuk kami.
Mungkin karena penampilan kami yang sudah naudzubillah atau memang supir di sini sangat professional bahkan dalam hal mengingat satu persatu wajah puluhan penumpangnya, kami bisa kembali ke bus keparat ini meskipun dengan kondisi jiwa setengah sinting.L
Kami sampai di kawasan Patong pada tengah malam, tepatnya di Nanai Road. Di sini seperti Legian di Bali atau Pham Ngu Lao di Ho Chi Minh City. Banyak sekali guest house dan café dan tetek-bengeknya. Karena kami benar-benar backpacker dan budget, maka kami berniat untuk tinggal di Cheap Charlie. Sayangnya (dan pada akhirnya menjadi untungnya), Cheap Charlie tutup dan kami menginap di guest house Coconut Moon dan mulai tawar menawar dengan ibi-ibu Thailand simpanan bule Eropa gadun yang punya guest house ini.
Kami mendapatkan harga 200 Bath per orang untuk tiga malam dengan fasilitas 1 tempat tidur besar, lemari, fridge, TV kabel, WiFi yang kencengnya mashaallah, kamar mandi dengan bath-tub dan ada balcony kecil di mana keesokan harinya ketika di balkon aku tidak sengaja melihat bule yang menginap di guest house seberang berdiri di balkon kamar dan memamerkan alat kelaminnya menggantung-gantung dan entah maksudnya apa.
Anyway, setelah banyak drama (God, please!!!!) akhirnya
sampai Phuket jugaaaa!!!