My Holiday Story: Phuket (Part 3)

Kami berangkat ke Phuket dari terminal bus di Hatyai pada pukul dua siang. Sekitar sekitar 70-80 bath harga tiket yang harus kami bayar per orang untuk sampai ke pulau idaman. Masih sekitar sejam lagi bus berangkat dan aku pun berkeliling terminal. Seperti di negara dunia ketiga lainnya, tempat ini penuh dengan manusia kelas menengah ke bawah, mulai pedagang sampai gelandangan, dan ketidakaturan. Di sini ada berbagai bus dengan tujuan mulai Krabi, Surat Thani, Thailand tengah sampai Bangkok. Ada yang menarik di sini di mana aku melihat foto raja Thailand (ini negara monarkhi, asal tahu saja) segede papan billboard rokok di Simpang Kepri mentereng di area terminal. Ya, masyarakat Thailand sangat mencintai (dan mendewakan) sang raja.


Bus pun berangkat. Asal tahu saja ya busnya tidak ada aircon, dan penumpangnya campur-aduk. Mulai pelajar, pedagang, BHIKSU dan aku benar-benar yakin akan kena serangan jantung kalau tidak langsung mati terguncang melihat suasana seriuh ini dengan bahasa mereka yang tidak satu kata pun bisa dicerna. Seperti pasar yang pindah tempat. Thank God, ternyata aku sebangku dengan cewek Jerman dan thank God kita langsung nyambung! Sepanjang perjalanan kami saling bertukar ide dan perpektif tentang berbagai hal yang terjadi, mulai homeland security, budaya, krisis Eropa sampai masalah yang sedikit berat dan personal seperti spiritualitas dan keyakinan.


“So, you are a Moslem?” sampai pada suatu titik Judith menanyakan tentang label agamaku.


“Ya, administratively.” jawabku singkat, yang ternyata tidak cukup buat dia jadi aku lanjutkan, “but I don’t really care. It’s not a big deal for me anyway…you know…”


“I see.” dan dia bercerita bahwa dia dibesarkan di keluarga Yahudi dan sama sepertiku, dia tidak begitu peduli.


Kami bicara ngalor-ngidul sampai akhirnya bus memasuki kawasan Krabi.


You know what, mungkin aku belum pernah ke daerah wisata di Krabi, di pantai atau pulau sekitarnya but I can guarantee that it must be VERY BEAUTIFUL! I mean, bahkan di daerah yang jauh dari pantai pemandangannya sangat dramatis. 


Banyak batu-batu sebesar bukit keluar dari perut bumi dan tertutup dengan vegetasi. Seperti di film Kera Sakti. Dan dingin, at least ketika aku sampai di sana. Aku benar-benar terpesona dengan keindahan, suasana yang lengang dan hampir statis di sini. I dunno why but Thailand is very peaceful to me like really!!! Judith ekspresinya biasa saja karena dia sudah berkali-kali lewat sini.

patung buddha, thailand
at least setiap 300 meter ada patung Buddha raksasa sepanjang jalan menuju Phuket


Sayang sekali kami harus berpisah karena Judith harus melanjutkan perjalanan ke utara, sedangkan kami belok ke selatan menuju Phuket. Kami bertukar alamat email dan Judith bilang padaku untuk mengiriminya email kalau nanti aku mau ke Bangkok (yang sayang sekali tidak pernah kulakukan karena aku lebih memilih tinggal dengan kaum nudist sekaligus designer sepatu asal Perancis di condominimunya di daerah Shilom). 


Sampai di daerah Phuket jalanan mulai macet. Karena cuma kami bertiga saja di bus yang bisa bahasa Indonesia, kami dengan leluasa berkomentar apapun sesuka kami (yang akhirnya menjadi kesenangan tersendiri selama di Phuket), mulai kemacetan, bertanya apa hidung orang Thailand kena sinusitis karena mereka berbicaranya selalu seperti itu, baik wanita maupun pria, dan betapa lucunya ketika cowok Thailand yang ganteng macho dan menggoda tapi skala kekerenannya langsung menjadi sub-zero ketika mereka mulai mengucapkan kata pertama. Sampai akhirnya…

Jam 10 malam dan kami masih terjebak di kemacetan. Untung saja ada mahasiswa (yang terlihat masih seperti siswi kelas 2 SMP) yang bisa bahasa Inggris dan memberitahu kami bahwa ada demonstrasi oleh anggota salah satu keluarga yang kena salah tangkap polisi. Bus hampir tidak bisa bergerak dan semua penumpang semburat.

Yang nggak habis pikir adalah bagaimana orang-orang Thailand ini sangat sabar sekali dengan kemacetan akibat demo. Seperti mereka mengalaminya setiap hari, seperti “oh iya hari ini hujan” atau “oh iya hari ini hujan, lupa nggak bawa payung, berteduh dulu deh” atau “oh iya, aku lapar. Makan deh. Dan setiap hari aku lapar.”

Aku sama Indra sudah “cannot tahan” seperti ribuan wisatawan lainnya yang terdampar di tengah jalan di pulau ini. Kalau Rudy lebih sabar, karena masalah bus nanti nggak akan pick up kita lagi kalau kita keluar bus dan puluhan pertimbangan lain.

 Aku pun memutuskan untuk berjalan dan sial gerimis mulai turun. Indra menyusul. Tak lama kemudian Rudi juga menyusul. Aku dan Indra sudah nggak sabar lagi pengen lihat demo macam apa sih sampai hampir tengah malam gini. Emang mereka nggak capek apa? Dan bisa-bisanya polisi bisa tidak berkutik.

Kami berjalan sejuh dua mil bersama RIBUAN wisatawan di bawah guyuran hujan pada jam setengah dua belas malam! Semua penumpang turun dari bus, mobil, taxi dan apapun yang beroda lebih dari dua karena kendaraan mereka tidak bisa bergerak. Kami berteduh karena hujannya semakin deras dan kami lebih parah dari Oliver Twist. 

Setelah sekitar setengah jam kami menunggu, demo pun selesai. Lalu lintas kembali lancar. Mobil mulai bergerak, dan semua orang mulai bingung untuk kembali ke kendaraan mereka masing-masing, termasuk kami.

Mungkin karena penampilan kami yang sudah naudzubillah atau memang supir di sini sangat professional bahkan dalam hal mengingat satu persatu wajah puluhan penumpangnya, kami bisa kembali ke bus keparat ini meskipun dengan kondisi jiwa setengah sinting.L

Kami sampai di kawasan Patong pada tengah malam, tepatnya di Nanai Road. Di sini seperti Legian di Bali atau Pham Ngu Lao di Ho Chi Minh City. Banyak sekali guest house dan cafĂ© dan tetek-bengeknya. Karena kami benar-benar backpacker dan budget, maka kami berniat untuk tinggal di Cheap Charlie. Sayangnya (dan pada akhirnya menjadi untungnya), Cheap Charlie tutup dan kami menginap di guest house Coconut Moon dan mulai tawar menawar dengan ibi-ibu Thailand simpanan bule Eropa gadun yang punya guest house ini. 

Kami mendapatkan harga 200 Bath per orang untuk tiga malam dengan fasilitas 1 tempat tidur besar, lemari, fridge, TV kabel, WiFi yang kencengnya mashaallah, kamar mandi dengan bath-tub dan ada balcony kecil di mana keesokan harinya ketika di balkon aku tidak sengaja melihat bule yang menginap di guest house seberang berdiri di balkon kamar dan memamerkan alat kelaminnya menggantung-gantung dan entah maksudnya apa.

Anyway, setelah banyak drama (God, please!!!!)  akhirnya sampai Phuket jugaaaa!!!


Share:

My Holiday Story: Phuket (Part 2)

Kami melanjutkan perjalanan yang masih sangat panjang dan lama. Sempat kami tertidur dan tiba-tiba bus berhenti. Ternyata kami sampai di rest area dan masih sekitar dua jam lagi sampai Kuala Lumpur. Bisa ditebak, tempat pertama yang aku tuju adalah toilet karena metabolisme tubuhku yang luar biasa militan kerjanya.


Kami mencicipi kudapan yang dijual ibu-ibu di sini. Ada yang jual nasi, oleh-oleh, aneka minuman dan juice dan cemilan. Aku dan Indra membeli sesuatu kalau di Banjarmasin lebih seperti “pentol cucuk” dan langsung ludes kurang dari lima menit karena kami lapar parah kayak Zombie. Cukup lama bus berhenti di sini sampai aku hampir mati bosan. Akhirnya, setelah sekitar 20 menit bus pun melanjutkan perjalanan.



rest area, malaysia
mati bosan di rest area

Kami sangat antusias sekali ketika memasuki daerah Kuala Lumpur. Dari kejauhan, Menara Kembar Petronas mulai terlihat. Bangunan yang lebih dikenal dengan KLCC ini berdiri tegak  di tengah bangunan metropolis seperti Heidi Klum di antara para supermodel dan mannequin rumah mode ternama. Aku dan Indra seperti tersengat listrik 10000 watt karena begitu excited melihat menara Petronas bahkan walau dari kejauhan 2 mil. Sumpah, kampungan banget. Rudy lebih biasa-biasa saja karena memang ekspresi dia seperti itu, gak seperti kami berdua yang seperti minuman bersoda yang habis dikocok.


Di Kuala Lumpur, ada penumpang baru yang masuk.  Tiga bapak-bapak keturunan India. I’m so sorry, bukannya bermaksud gimana-gimana, tapi tahu sendiri kan apa yang harus dilakukan ketika dekat dengan orang India apalagi di bus ber-AC selain untuk tidak mendekat. I mean, mereka duduk di depan kursiku dan bisa dibayangkan sensasinya. Aku memutuskan untuk pindah tempat duduk, terserah mereka berpikir apa. Aku nggak mau mati atau setidaknya muntah akut karena aromatherapy yang tidak bisa dicerna oleh tubuhku.


Kami tertidur cukup pulas, entah karena memang lelah atau pingsan karena efek 3 India di depan kami. Kami terbangun dan mendapati sudah sampai di daerah perbatasan, masuk daerah Bukit Kayu Hitam. Bus kami berhenti di rest area lagi. Kami beristirahat dan sarapan di sana.  Setelah itu bus memasuki wilayah Thailand. Di sini semua perlahan-lahan mulai berubah. Zona waktu kembali normal (seperti di Batam), banyak patung Buddha, bahasa mulai berbeda, dan tidak ada alphabet.


Oiya, ngomong-ngomong tentang Buddha, di Thailand banyak sekali patung Buddha, seperti Jollibee di Manila. Setiap 100 meter ada Buddha and it was cool! Kami akhirnya sampai di imigrasi Hatyai. Kalau di Singapore sangat ketat, di sini mesin pemindai aja nggak berfungsi. Alhasil kami sudah capek gempor bawa tas dan bahkan petugas imigrasi tidak peduli.



Bus berhenti di terminal dan kami melanjutkan naik tuk-tuk menuju pusat kota yang berjarak sekitar 5 kilometer. Kami berkeliling sejenak di kota transit ini. Hatyai seperti Batam, cuma di sini lebih banyak tempat jual souvenir dan lebih tertata. Lebih bersih. Kami membeli beberapa barang dan membeli Bath. Sekedar informasi, nilai tukar Bath di Hatyai jauh lebih menarik daripada di Phuket atau Bangkok yang super mahal. Dan mereka juga menerima pecahan 50,000 rupiah.


Kegilaan pertama yang terjadi di negeri Gajah Putih ini adalah ketika Indra mengeluh sakit perut. Biasa, urusan di pagi hari. Jadi, dengan muka jelaga dan mental baja akibat perjalanan jauh, kami memutuskan untuk masuk ke salah satu hotel dan langsung nyeludur ke toilet di dekat lobby. Di bilik toilet, aku dan Rudy langsung cuci muka dan Indra dengan urusannya di toilt sebelah sampai akhirnya…

“Omigod!” Indra terdengar terkejut di sebelah.

“Ada apa?” Rudy menimpali.

“Kok nggak ada semprotannya di sini?” Okay dia mulai panic.

Ya. Pelajaran ketika traveling ke luar Indonesia, siap-siap aja tissue basah. Aku dan Rudy nggak bisa nahan tawa saking gelinya. Kami menarik tissue selembar dua lembar (sampai berpuluh-puluh mungkin) dan membasahinya dengan air dan melemparkannya ke bilik sebelah, tentunya sambil ketawa. 

Karena kami tidak mau memancing kecurigaan dan berakhir dengan dihempaskan keluar sama petugas hotel, kami tidak berlama-lama di situ setelah urusan Indra selesai. Dia keluar toilet dengan ekpresi muka super jijik dan aku masih “cannot tahan.” Kami pun melenggang keluar hotel dengan sok berwibawa setelah menghabiskan persediaan tissue toilet hari itu.

“What the...” Hahahahaha….


Share:

My Holiday Story: Phuket (Part 1)

traveling, phuket, dari, batam
L-R: Rangga-Indra-Rudy


Di Nagoya Hill aku sibuk memilih sepatu. Ya. Aku sudah lupa sebenarnya tujuan awal kami berdua ke sini untuk apa, yang pasti di depan mata sudah ada sepatu-sepatu yang berteriak “Take me! Take me!” seperti dalam telenovela “Maria Belen” yang seisi panti asuhan berebut orangtua asuh. Intinya, kalau ke mall jangan pernah sok-sok direncanakan deh mau beli apa karena sesampainya di sini semuanya “selesai”. Buyar.

“Kamu beli apa?” Rudy bertanya padaku.

“Nih,” jawabku sambil mengangkat tas berisi sepasang sepatu. Ekspresi dia sepertinya bukan untuk menerima jawaban sepatu. Anyway aku tidak ambil pusing. Yang penting besok ke Phuket, that’s all.

Entah karena semingguan bekerja dan stress atau kenapa, seringkali kita ke mall cuma untuk beli sesuatu—makanan, minuman, baju, kebutuhan yang lain—and that’s it

Dan kalau dipikir-pikir itu sangat membosankan, memuakkan, dan yang paling menyedihkan adalah kita akan mengulanginya lagi minggu depannya. Atau bahkan besok. Apalagi mall di Batam yang jumlahnya bahkan masih lebih banyak jumlah jari di satu tangan. I mean, bagaimana bangunan beton itu bisa menampung satu juta lebih masayarakat Batam? Pastinya tidak akan kaget kalau kita bertemu dengan mantan pacar, atau mantan teman tidur, atau mantan teman tidur satunya, atau yang satunya lagi, atau mantan teman tidur mantan pacar, dan mantan-mantan lainnya.

Oh, what did I say? Yup! I’m going to Phuket! For holiday!

Okay, jadi aku dan dua temanku, Rudy dan Indra, akan melakukan what so called as salah satu “ibadah puncak” karena di sana akan diadakan “Phuket Pride”, salah satu festival gay yang terkenal di Asia Tenggara. Phuket Pride diadakan setiap tahun di minnggu terakhir bulan April. Biasanya selama satu munggu.  Persiapan sudah dilakukan beberapa minggu sebelumnya, mulai izin cuti, pemesanan tiket ferry (cuma SGD32.00 pulang pergi, termasuk tax) dan lain-lain. Untungnya kami bertiga beda department so bisa ambil cuti bareng-bareng. Dan untungnya Rudy sebelumnya sudah pernah ke Phuket jadi aku dan Indra cuma ngikut dia aja. 

Esoknya, sekitar jam sembilan pagi kami sudah siap “berhijrah” seperti perjalanan ke Barat mengambil kitab suci dalam kisah “The Monkey King” dan Rudy sebagai Bhiksu Tong-nya.


ferry,batam,nongsa,tanah merah,singapore
Pemandangan dari atas ferry dari Pelabuhan Nongsa Batam ke Tanah Merah Singapore

Perjalanan kami diawali di Nongsa Pura Ferry Terminal, di mana kami akan menyeberang selat Singapore selama setengah jam dan tiba di negeri seberang. Karena ini kali pertama saya ke Singapore, petugas imigrasi menggiring saya ke pengecekan sebelum diijinkan masuk. Sekedar tahu aja, kalau baru pertama kali masuk Singapore, maka siap-siap aja “kena jaring”, apalagi yang namanya –sorry to say—mengandung unsur-unsur Arab, namanya cuma ada satu (like “Michael” instead of “Michael Faraday”), atau bajunya masuk dalam kategori “perlu diperiksa” .


Sempat was-was juga sih takut kalau-kalau aku berujung dengan kembali ke Batam dengan membawa stempel “REJECTED” di passport. Tapi aku selalu mengingat pesan seperti di film “21”, “think caual, act casual, be casual.” 


passport, stamp, stempel
My first Singapore stamp. Please notice beberapa hal sebelum masuk Singapore


Aku cuma duduk manis di situ selama 5 menit, nggak ditanya apa-apa selain mereka minta passport. Mungkin karena namaku juga lumayan netral (Rangga Yanwar Pratama) dan dari tampang lebih seperti target teroris ketimbang teroris itu sendiri, jadi mereka langsung mengembalikan passportku dan mengijinkanku masuk.

Setelah keluar ferry terminal, kami naik bus menuju Bedok, dan selanjutnya naik MRT sampai Woodlands. Kami sempat berkelakar selama di Singapore (yang selanjutnya menjadi kebiasaan) tentang bagaimana orang Singapore selalu berjalan “sangat cepat” karena takut ketinggalan MRT yang bahkan MRTnya bakalan ada 10 menit lagi. Bagaimana orang-orang bahkan harus “berjalan cepat di tangga berjalan” dengan alasan yang kurang lebih sama, bahkan eskalator di sana to be honest ya, lumayan cepat dari pada di Malaysia. Mungkin itulah kenapa orang sana bilang orang Malay itu slow. Lucu banget.

Sesampai Woodlands, kami melanjutkan naik bus menuju Johor Bahru. Anyway, imigrasi Malaysia tidak seketat yang ada di Singapore. Seperti di Indonesia, lempeng-lempeng aja. Setelah ritual “antri-stempel-cao!" selesai, kami naik bus ke stasiun bus di Larkin. Larkin seperti terminal Bungurasih di Surabaya, di mana banyak angkutan bus jurusan kota-kota di Semenanjung dan bahkan Thailand. Kami membeli tiket seharga 80 Ringgit untuk jurusan Larkin – Hatyai, kota di Thailand yang berbatasan dengan Malaysia.

Kami mampir dulu ke McDonald’s karena kami sangat lapar seperti imigran negara konflik. Restaurant cepat saji ini jadi tempat favorit ketika berlibur di kawasan karena menyediakan WiFi gratis yang bisa didapatkan di struk pembelian (which in the end is not free actually) biar cuma selama satu jam. Aku tidak ingat pukul berapa bus berangkat, mungkin pukul 6 atau 7 sore. Perjalanan akan ditempuh selama kurang lebih 12 jam. 

Anyway busnya dingin banget, dan aku setengah mati harus nahan pipis. Thank God, tidak lama bus berhenti di rest area. Pak supir pun menyilahkan para penumpang dan bilang bus akan berhenti selama 10 menit. Sebelumnya aku sudah menyiapkan beberapa sen Ringgit. Indra dan Rudy tidak turun, mungkin kandung kemih mereka sudah diplester atau mereka pake popok, I dunno, yang pasti aku kebelet banget.

Pas di toilet, ada cowok yang tiba-tiba nongol di sebelah. Dan Omigod, aku langsung takut karena dia memandangku seperti “I know we can make it blablabla” and I was like “EXCUSE ME!!” Aku nggak mau berakhir di kantor polisi dengan luka bacok atau pipi lebam atau di rumah sakit karena mengalami pelecehan seksual tinggi di toilet umum di negeri orang, aku pun bergegas menuju bus. Sambil menggumam “keparat!” pastinya. 








Share: