Apabila kita mengunjungi sebuah negara pasti sedikit banyak kita belajar bahasa local biar itu cuma satu kata. Seperti “Mabuhay” “Salamat” apabila kita di Filipina atau “Anyeong Haseo” “Kamsahamnida” ketika kita berkunjung ke Korea. Sama halnya ketika aku di Vietnam, satu-satunya kata dalam bahasa Vietnam yang aku mengerti adalah “Cam on” (bacanya “kamon”) yang artinya terima kasih. Mas-mas Circle K di depan Gotcha yang telah memberitahuku kata ajaib ini, dan itu sangat menolong.
“Terima kasih” adalah kata yang paling sering digunakan di seluruh dunia karena apapun maksud yang terkandung di dalamnya masih berada dalam kategori sopan. Seperti kita berterima kasih ketika mendapatkan sesuatu dari seseorang atau (dan ini paling penting ketika berada di Saigon) kita berterima kasih sebagai tanda penolakan tawaran para mbak-mbak massage, mas-mas massage, bapak-bapak tukang sewa scooter, bapak-bapak tukang semir sepatu, ibu-ibu massage (lagi), dan agen-agen massage lainnya yang siap nyeruduk nyodorin daftar harga setiap ada apapun yang berkaki dua melintas di depan mereka. Sumpah!
“Massage 1 hour cheap”
“Cam on”
“Bike, bike?”
“Cam on”
“Massage inside, Sir”
“Cam on”
“Shoes, dirty Sir?”
Sepatuku baik-baik saja, demi Tuhan!
“Cam on!” sambil setengah berlari.
You know what, sampai-sampai aku mengucapkan “Cam on” dengan intonasi yang bukan berarti “Terima kasih”, tapi lebih ke “Come on!” yang berarti “Please deh!”
Aku stay di Pham Ngu Lao, kawasan hiburan di Saigon, seperti Patong di Phuket tapi tidak sebesar Patong (di samping fakta Patong memiliki pantai dan Saigon hanya punya sungai. Please!). Di balik tembok kamarku adalah bar, jadi tidak mungkin bisa tidur karena dentuman suara music dan DJ hingar-bingar kecuali kalau kita mengunyah marijuana sebelum tidur. Sepuluh langkah dari hostel ada Crazy Buffalo Bar (sama seperti bar dibalik tembok kamar) dengan kepala kerbau terpampang nyata di luar bangunannya yang berwarna merah komunis, sepuluh langkah di seberang jalan ada Starbucks (sangat cozy!), lima belas langkah ke seberang ada massage (berderet-deret), dan masih banyak lagi bar, agen perjalanan, giftshop, massage, café bertaburan. Hampir seperti Khaosan Road atau Bangla Street (hanya saja di Bangla Street terlalu banyak pria dan wanita jalang. Mengerti maksudku, kan?).
Kehidupan malam di Saigon tidak mengecewakan. Banyak pilihan. Aku mencoba massage (and it was good, man!), mencoba street food (sekali saja, aku lebih suka makan-minum di café atau restaurant, lebih…..bisa dicerna), atau sekedar hang out di bar (pasti dapat teman!), atau menonton opera jika aku punya banyak uang. Minuman yang harus di coba adalah Saigon Beer (rasanya seperti Carlsberg), lainnya sama saja seperti di bar-bar pada umumnya.Untung saja dua teman sekamarku oke-oke. Maksudku, karena kita sama-sama traveller jadi bisa saling mengerti, seperti kita harus terbangun jam 2-3-4 pagi hanya untuk membuka pintu untuk teman sekamarnya (cowok UK yang ter-schedule selalu membukakan pintu untukku, dan aku selalu membukakan pintu untuk cowok UK ugal-ugalan satunya). Dan fakta bahwa kita harus menaiki 60 anak tangga untuk mencapai kamar kita di lantai 4, benar-benar harus saling mengerti. Dan kita berdua sering seperti “what the ****, man?!!” ketika mendengar suara jeritan Saigon girl dari lantai atas (keras SEKALI!!!) pada jam 3 pagi. SERIOUSLY!
Malay Street, di belakang Ben Than Market |
Untuk masalah makanan, kota ini tidak terlalu banyak menawarkan makanan lokal yang lezat. Mungkin Banh Mi dan Pho bisa menjadi pengecualian, selain itu, menurutku biasa saja. Bahkan kopi Vietnam. Banh Mi adalah “jajanan” yang popular di Vietnam, yakni sandwich roti Prancis (baguette). Harganya murah sekali, ada yang cuma VND15,000 ada juga yang VND20,000-VND25,000. It’s non-kosher/non-halal food by the way.
Kalau Pho lain lagi, ini lebih seperti ……..mee rebus di mana di dalamnya ada berjuta-juta sayuran dan rempah-rempah (enak banget. Kayak ada mint-nya gitu. Aku suka makanan ini), di samping potongan daging kecil-kecil. Apabila ingin makanan halal, bisa pergi ke kawasan Ben Than Market. Di belakangnya ada semacam Malay Street yang menjual makanan halal. Ada juga makanan Timur Tengah. Harganya lebih mahal.
Aku coba makan di restoran Mesir dan habis VND165,000 untuk Fattoush, Om Ali dan jus nanas (enak banget jusnya!!!!!).Untuk nasi goreng rata-rata harganya VND50,000 per porsi. Lumayaan mahal karena aku bisa mendapatkan falafel dan French fries dan Coke dengan harga VNR65,000 saja. Belum lagi, nasi gorengnya pake soup terpisah. I mean, come on!!!
Pricing to note and tips:
- Harga makanan Halal berkisar VND50,000-VND200,000, tergantung menu.
- Harga minuman dan makanan di bar lebih mahal (untuk sandwich bisa sampai VND105,000 per porsi), jangan lupa kasih tip.
- Harga rata-rata Saigon beer USD1.00 per botol.
- Harga kopi Vietnam rata-rata VND20,000 per cangkir. Dan sangat pahit, like no matter what!!!
- Harga street food lebih murah, bagi yang suka petualang makanan, bisa coba sensasi street food Vietnam di Saigon.
0 Post a Comment:
Posting Komentar