Explore Belitung: Island Hopping!


Belitung

When it comes to island trip, Belitung is one of the best places for your bucket list.  Now I would like to share what I had when exploring the Bali-size island. Not as much fun as Bali, but still, it had things to offer.


Island Hopping

We went for island hopping and it was like 4 or 5 islands we visited. So lucky to know that the weather is pretty good so w can feel sunshine throughout the tour. It started from Tanjung Kelayang where we rent a boat that costs Rp400,000 per trip. The boat also was provided with the snorkeling equipment.


The first spot was Batu Garuda, a set of big rocks shaping like an eagle. The next was Batu Belaya r where it was perfect for swimming as the water was crystal clear. The we continued to Pulau Lengkuas, the one with the iconic lighthouse and we went to the top of it. The view was OMIGOD! 


Actually we planned to snorkel but it was too crowd so we decided to head off the next spot which is the "sand island"! Its not a sole island actually, as it grain of sand in which you can enjoy only when the tide was low and we were sooo lucky that we came at the right time! It was all sand with the crystal-clear sea water all around and its not deep. We could even find star fish like...many of them.


Tips: The best time to come is on midyear. Avoid the month of November-February as it was monsoon season (we call it Angin Barat). Better with friends as you can share cost of boat rental.


See Tarsius at Batu Mentas

It was very first time for me to see one of the smallest primate on Earth. It was located in Batu Mentas, 15 miles away from Tanjung Pandan, the downtown. We saw a pepper plantation, rubber plantation on the way there.


with Tarsius!


It was a sanctuary (at least what was written at the gate) but it's more like a big cage. We went there on a rainy day but it was okay. We went down through the river using a floating wheel and it was fun. The not well-maintained facilities was what we're concerned on. But, we had Tarsius there so...it's worth.







Share:

My "Songs of 2016"

I wanted to recap this like..a couple of weeks ago but I had things to get done and motorbike crash recently so…here I am! Anyway, here are songs that came along with me all the way this year.











Drag Me Down – One Direction

It’s like a guilty pleasure for me to listen to this song. Not to mention that I did not even download it whatever. I spent my little time of 2016 in a city of Jogjakarta, a mini sultanate kingdom in central Java. I was there for travelling, and yeah, finally looking for a job and planned to settle there, but it didn’t work pretty well. Almost every day I listed to this song, in minimarket, in shopping malls, on the bus, taxis, and yeah, nobody can drag this song down. What the hell. 

Stand by You – Rachel Platten
This one came along my days in Banjarmasin, South Kalimantan. I was there for three and a half months, working, travelling sometimes and yup, spending my time with my mother and father. It was soo good to be back there again one day!

Nos Vies Paralleles – Anggun feat. Florent Pagny
What I love most is the music sounds so summer.  I do not even know the meaning (only some of the words and the Spanish part) as it is  a French song, But Anggun and Florent Pagny did a very good job.

We Don’t Talk Anymore – Charlie Puth feat. Selena Gomez
Selena Gomez is the guilty pleasure of 2016. Her soft and sexy voice is inviting. I love this collaboration and I couldn’t stop singing it.

Joanne (Album) – Lady Gaga 
Joanne is the most personal Lady Gaga’s album so far and yup, the best one. I do love this album and every song in it. Starting with the release of “Perfect Illusion” which was a warm up, then A Million Reasons which was deep and moving, this album is epic. What I love most is that Gaga sounds rock here, and every song has a meaning, like Hey Girl, Joanne, Angel Down, John Wayne, etc. This album won’t be apart with my daily anytime soon. Love this.


So, here are my songs of 2016. What are yours? Anyway, Happy New Year 2017!!!







Share:

NadiA

         

“Kamu ga bakalan marah kan, Fad?” Kedengarannya begitu serius, pikirku. Aku memainkan sedotan, memutar-mutarnya dalam gelasku. Sedangkan Nadia memegang erat-erat gelas minumannya seakan-akan itu adalah piala Oscar pertamanya. Memang, dari tadi Nadia tampak tidak seperti biasanya. Tingkah lakunya, gaya bicaranya, atau yang lain. Yang masih terlihat sama darinya adalah penampilannya. Dengan memakai tanktop putih bergambar lidah Rollingstones, dan celana pendek jeans Volcom yang memperlihatkan kakinya yang putih dan panjang, serta sandal santai hitam berhiaskan manik-manik kesayanganya, ditambah wajah Indo-nya, praktis orang akan menganngap dia bule nyasar di Café Borneo tempat kami nongkrong sekarang.


            “Fadil, kok malah diem sih?” Ia beralih memainkan rambut ikal cokelatnya dengan jari telunjuknya.


            “ Ya nggak lah, Nad. Lagian kamu serius gitu. Jadi bingung, tau?”


           Ia menatapku. Terlihat jelas bola matanya yang berwarna hijau kecokelatan—dulu saat masa orientasi di kampus aku sempat mengira dia memakai soft lens—sampai ia berkata, “ Aku lesbian.”


            Aduh! Sama sekali di luar dugaan, itulah hal pertama yang terlintas dalam benakku.  Cewek yang selama ini berteman sangat akrab denganku ternyata anti laki-laki. Parahnya lagi, aku tidak menyadari hal itu. Sudah lah, bukan saatnya untuk mrnghakimi atau bersikap sinis terhadapnya. Dia ngomong begitu karena dia percaya sama aku. Itulah yang terpenting. Apakah aku harus menghindari dia, sementara ia sudah bersikap terbuka, berkata jujur, ngasih kepercayaan kepadaku tentang hal paling pribadi dalam dirinya? Bukankah itu berarti aku egois, dan itu ga etis? Benar, kan?


            Selama ini aku dan Nadia adalah teman dekat. Sahabat dekat, lebih tepatnya. Dia adalah treman sekelasku di kampus. Kami satu angkatan. Namun bukan karena itu sebenarnya kami dekat. Kedekatan kami berawal ketika aku sedang makan siang di rumah makan Sunda di dekat kampus.  Kebetulan aku lihat dia sedang asik selfie. Mungkin karena sama-sama sendirian, aku coba sapa dia sekedar basa-basi, dan kami pun berkenalan. Keesokan harinya kami mulai menceritakan tentang kebiasaan, hobby sampai kebiasaan masing-masing. Semenjak itulah kami semakin dekat.


            Nadia adalah cewek berdarah Jawa-Rumania, yang lebih kelihatan Rumania-nya ketimbang Jawa-nya. Nadia Demetra Harjoabdi, dengan tinggi 172cm –hanya terpaut satu sentimeter lebih tinggi dariku—banyak teman di kampus menganggap kami adalah pasangan serasi. Bahkan cowok-cowok lain  enggan mendekati Nadia—atau cewek-cewek lain enggan mendekatiku, ah...—karena mengira kami pacaran. Padahal kami sama-sama mahasiswa yang sangat santai menjalani hidup, ga terlalu repot dengan masalah pasangan atau yang lain semacam itu.


            Nadia bukan tipe cewek pecinta Limp Bizkit atau Jimmy Hendrix. Dia juga bukan aktivis feminisme yang –katanya–anti laki-laki. Dia justru feminine, seperti cewek-cewek lain. Manja, suka diperhatikan, mempermasalahkan rambutnya. Cewek banget lah.


            Pernah suatu sore saat kami pulang bareng aku bertanya padanya apakah dia ga merasa sendiri. Gampangnya, apakah dia tidak ingin menjalin hubungan serius dengan cowok-cowok keren di kampus.


            “Bukannya kita dah sama-sama tahu kalau kita ga repot-repot dengan masalah begituan?” jawabnya ringan.


            “Tapi coba lihat, banyak cowok di kampus yang berharap sama kamu. Andry misalnya. Tahu sendiri lah,siapa sih yang ga kenal dia. Dan tahu juga kan, dia suka sama kamu. Belum lagi Rama, trus anak HI angkatan atas. Apa di antara mereka ga ada yang cocok buat kamu?” tanyaku.


            “Kalo mereka ga ada yang cocok sama aku, apa kamu mau pacaran sama aku?” Tawaran yang bagus, batinku.


            “ Kalo kamu mau, kenapa nggak?” jawabku ga tanggung-tanggung.


“Tai bener lo!” Kami berdua tertawa sepanjang perjalanan pulang sore itu.


Namun saat ini terjawab sudah mengapa di antara cowok-cowok yang menyukainya tidak seorang pun yang cocok baginya, mengapa ia selama ini memberikan harapan kosong kepada mereka.


“ Kamu ga bakalan jauhin aku kan, Fadil?” lanjutnya. Ia masih menatapku.


”Hey,” jujur, aku masih ngerasa ”gimana ya” menyadari kalau dia seorang lesbian. ” Ga lah, Nad. At least aku ga perlu khawatir tentang gosip kalo kita bener-bener pacaran.”


Dia masih terlihat gugup, bingung seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri,”Kenapa bego banget ya aku ngomong terus terang ke dia?


” Tenang, I’ll keep it in secret, okay?” janjiku.


Dia menjadi sedikit santai. Tatapan seriusnya pun hilang, digantikan senyuman manis wajahnya.


”Eh,” aku mencoba menghangatkan suasana, ”Temen-temenku di Skype cantik-cantik, gila bener deh. Mau aku kenalin? Ada kok e-mail-nya, ato langsung nomor telepon, barangkali?” godaku.


Oh, please.... I need it, honey.” Bahkan sifat manjanya sudah nampak kembali.


I love you, Fadil...” Dengan rengekan yang keras dan manja itu ia mengatakannya padaku. Semua mata tertuju pada meja kami. Maksudku, pada kami berdua. Aku tahu kalau kata L itu berarti ga lebih dari seorang sahabat. Aku tahu semua orang menatap dengan iri kepada kami berdua. Terutama cowok-cowok yang menatapku seakan-akan berkata ”Huh. Sok pamer mentang-mentang punya pacar cantik keturunan Indo. Basi lo!” Padahal...ck..ck..ck..!!!


Share: