The Most Beautiful Village I've Ever Been, It's In West Papua!

The "Broken Jetty" with mountain background is just dramatic to see. Source: ranggainthezone

It's Lobo, located in Triton Bay area, Kaimana, West Papua. It is one of the most beautiful places I've ever been, not without reasons why I said so. 

This village lies in the inner side of Triton Bay, that brings the calmer waves and waters, although in some months of the year, the weather can be irresistibly rough. It takes around 90 minutes by boat from Kaimana, and that's the only best way to get there so far. 

Triton Bay is one of the conservation areas in Kaimana, and it's rich of what sea can offer. On the way there we can drop by seeing the whaleshark at the bagan, see the rays, the dolphins and if you're lucky, Brydes whales breaching as if they're saying "Hi". What lies beneath the surface at the bay gives the people resources for their lives. 

Approaching the shore, we can see the rocky mountain standing at the back of the village, with mist covering the top and the green colour falls down to the valley. The village has total population of ±700 people, predominantly Christians with few muslims that are actually medics from outside Papua. Most of them rely on fishing although some start farming to support their families. 

We can go around the village within an hour, as every place is in walking distance. There are four churches, an elementary school and a medical center. Other than it, we can go to the jetty or go up to the mountain.

The island of New Guinea is home for birds of paradise. We can actually do birds watching by hiring local guides, but too bad there's no pricing that's set for the activity thus visitors are reluctant to have it. Not to mention, lack of information of how and when we can do the birds watching is just another thing to settle. 

Folklore about Garuda in Lobo

There is a monument of Garuda (mythological bird that's similar to eagle) the symbol of Indonesia, located across the village. People believe that the symbol of Indonesia comes from the Garuda from this area. 

So there were two eggs that hatched a black and a white eagle. The white eagle was gone undetected apparently, but the black one endured and lived in Mount Warimau. 

One day, there's flooding that killed people in Urera River and the flood dragged the dead bodies to the shore area (today's Lobo). The eagle followed them and ate them all. Since then, it moved to reside in Emansiri, the mount behind the village. 

Endulged by "gastronomical desire" of eating humans, and no more dead bodies, the black eagle then started hunting the villagers. They were frightened by the hunting eagle until the Portuguese came and shut it down. From then on, people use the giant eagle as the symbol of the village. Personally, I don't really get what it means, that people took something that once hunted them, as a symbol. I mean, usually we make a symbol out of the philosophy of something as caretakers or guards, not one taking us as preys. Anyway, whatever. A story is a story. 

Dutch arrival

The Dutch first opened the settlement in 1824 and built a fort named Bus. We can see the remnants of the fort here. There's a monument commemorating Dutch soldiers died in the area. It was carved "Ter Herinnering Aan de Overleden Militairen van de Bezetting van Fort du Bus" which means "In memoriam, the soldiers who died at Fort Bus". 


The monument built by Dutch in 19th century. Source: ranggainthezone

The topography, the rich Triton Bay and the folkloric touch have given this small village uniqueness and I take it as the most beautiful village I've ever been. It's really not that bad to drop by and say hello. You will see like when you feel the breeze of Triton Bay. 

Share:

Here We Go, Labuan Bajo!

Apa yang bisa dilihat dari puncak Pulau Padar. Damn good! Sumber: ranggainthezone

Labuan Bajo adalah salah satu tempat yang paling ingin kukunjungi, setidaknya sekali seumur hidup. Bukan tanpa alasan kenapa tempat ini begitu menarik. Selain Komodo dragon, pemandangan alam yang level keindahannya mendekati unreal membuatku semakin yakin harus mengunjungi tempat ini.

Starting point-ku untuk ke Labuan Bajo adalah di Kota Makassar. Setelah puas jelajah kota terbesar di Pulau Sulawesi ini, aku ingin melanjutkan ke Labuan Bajo. Saat itu adalah awal Juli 2018. Mulai lah cek harga transportasi ke sana. Aku buka aplikasi pemesanan tiket—yang logonya suka bikin salah pencet ketika kita mau buka aplikasi cuitan, tahu kan maksudku?—dan cek penerbangan Makassar – Labuan Bajo. 

Harganya mahal, setidaknya buatku, karena memang pesawat harus transit terlebih dahulu, entah di Bali atau Jakarta. Akhirnya kuputuskan untuk naik kapal laut aja, kapal Pelni. Aku pesan online dan keesokan harinya aku ke kantor perwakilan Pelni untuk mengambil tiket. Harganya? Rp176,500. Murah, kan? Jadwal kapal laut dari Makassar ke Labuan Bajo ada setiap lima hari, sedangkan untuk kembali ke Makassar bisa juga naik kapal laut. Jadi ini sangat cocok kalau punyak waktu luang / cuti yang panjang namun budget terbatas. Tinggal cocokin jadwal kapal untuk pergi dan pulangnya. So, let’s go!

Aku berjalan menyusuri Jalan Penghibur dari penginapan menuju pelabuhan. Jalanan ramai di malam hari. Aku bakal kangen dengan pisang epe’ yang tumpah ruah di sini, kangen dengan buroncong (kue seperti pukis tapi ada parutan kelapa di adonannya. Enak banget!) di pagi hari, serta jalang kote dan lumpia di waktu sore.

Aku tiba di pelabuhan Makassar jam 9 malam karena kapal berangkat jam 11 malam dan penumpang harus berada di pelabuhan dua jam sebelumnya. Anyway, pelabuhannya modern dan nyaman, nggak salah kalau kota ini menjadi hub di Indonesia timur. Perjalanan akan ditempuh sekitar 19 jam. Jadi akan sampai Labuan Bajo pada jam 6 sore besoknya.

Sedikit info nih, karena di kapal tidak ada pembagian kelas seperti ekonomi, bisnis, eksekutif (semua dipukul rata jadi ekonomi) maka jika ingin mendapatkan kenyamanan selama perjalanan, kita bisa sewa kabin. Harganya tergantung negosiasi. Cincai lah. Nanti ada 2 atau 3 orang penumpang yang berbagi kamar dengan kita. It’s not really bad karena ada tempat tidur, colokan listrik, televisi (gambarnya seperti semut, maklum di tengah lautan) dan kamar mandi di dalam kabin. 


Sunset di pelabuhan Labuan Bajo


Kapal tiba di Labuan Bajo pukul 6 sore, tepat sebelum matahari terbenam. Indah sekali. Kapal-kapal bersandar berlatar sinar matahari sore berwarna keemasan. Aku berjalan menuju penginapan. Anyway, saat itu pembangunan jalan dan beberapa proyek sedang berlangsung, jadi jalanannya berdebu. Banyak sekali tempat menginap di sini, mulai yang murah sampai resort / hotel berbintang. Aku menginap di penginapan seharga Rp116,000 per malam, dengan bunk bed di kamar berkapasitas 10 orang, dan sepertinya aku satu-satunya tamu lokal di kamar itu. 

Malamnya aku pergi ke Kampung Ujung, sebuah area dekat pelabuhan yang menjual berbagai makanan, mulai nasi goreng sampai seafood. Selesai makan, aku pergi ke agen wisata yang menyediakan paket island hopping ke pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Komodo.

Aku memilih paket 1-day tour seharga Rp450,000 per orang, sudah termasuk makan siang, kopi / teh dan snack. Namun, tidak termasuk harga tiket masuk ke Loh Buaya di Pulau Rinca yakni Rp90,000 per orang untuk wisatawan lokal. Ada 4 tempat yang akan dikunjungi, yakni Pulau Padar, Loh Buaya di Pulau Rinca, Pantai Manjarite dan terakhir adalah Pulau Kelor. Ini adalah open trip, jadi nanti aku akan bergabung dengan para wisatawan lainnya. Tidak lupa aku membawa air mineral tambahan dan sunscreen karena cuaca akan sangat panjang.

Keesokan harinya jam 5.30 pagi rombongan berangkat dari pelabuhan menuju tempat pertama dan terjauh yakni Pulau Padar. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 4 jam. Ada sekitar 12 wisatawan di kapal, sebagian besar dari Eropa dan hanya aku wisatawan lokal. Sepanjang perjalanan ke Pulau Padar, kami menghabiskan waktu, ada yang tidur di atas atap kapal, ngobrol ngalor ngidul dan ada juga yang menikmati pemandangan. 


How long is your trip?” tanyaku ke orang Jerman, simply karena yang lain berbicara bahasa-bahasa negara Eropa lainnya dan aku tidak mengerti.

“Two years. But I have two months left.” Jawabnya santai. Jadi dia punya waktu dua tahun untuk travelling. Dia sudah menjelajahi Amerika Selatan, Eropa, India dan Asia Tenggara. Sekarang tinggal 2 bulan lagi waktu liburannya. 

“Liburan 2 tahun. Gila ini orang,” batinku. Ini yang paling kusuka saat solo travelling, bisa ketemu orang-orang baru dan berbagi cerita dan pengalaman. Sekaligus termotivasi.

Tak terasa kami sampai di Pulau Padar. Ini adalah pulau terbesar ketiga di kawasan Taman Nasional Komodo setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Kami langsung menaiki bukit untuk melihat keindahan dari puncak. Tak terhitung berapa ratus tangga menuju ke sana, dan di bawah terik matahari membuat siapa saja merasa antara semangat dan putus asa. Namun semua terbayar setelah sampai puncak.

Teluk-teluk berbentuk hampir setengah lingkaran berada di sisi kiri-kanan pulau, seakan membelah dan menyisakan sedikit bukit batuan di antara teluk yang membelakangi satu sama lain. Tak berhenti di situ, karena bukit di antara teluk-teluk itu berakhir dengan gunung terjal yang ditutupi sabana kering berwarna coklat keemasan di ujung pulau. Pemandangan ini seakan membawaku kembali ke jaman Jura ratusan juta tahun yang lalu. Membayangkan pterodactyl terbang di atas pulau, stegosaurus di tengah padang rumput, brontosaurus menyusuri teluk, wah, keren sekali.


The dragons being "mager"

Puas dengan Pulau Padar, kami menuju Loh Buaya di Pulau Rinca. Di sini adalah tempat hidup komodo selain di Pulau Komodo, tentunya. Kami langsung melakukan registrasi dan membayar tiket masuk (usahakan untuk membawa uang pas agar registrasi lancar). Setelah itu, rombongan akan didampingi ranger, sebutan untuk pemandu di sini. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti orang yang sedang menstruasi / ada luka dilarang berkunjung ke sini, dilarang berjalan sendirian apalagi melewati batas “no trespassing” (dilarang melewati batas ini), dan pastinya dilarang mendekati komodo.

Ada 3 komodo dewasa yang sedang “mager”. Semua antusias ingin mengabadikan moment dengan berfoto yang seakan-akan mereka berada di belakang reptil purba tersebut. Namun keadaan berubah ketika tiba-tiba ada komodo besar lainnya datang dan perkelahian pun terjadi. Suara komodo seperti desisan ular namun jauh lebih keras dan kuat. Setelah adegan dua menitan itu, ranger bertanya kepada pengunjung apakah ada lagi yang mau “selfie” dengan komodo. Dan semua kompak bilang “Tidak, terima kasih!” 

Perjalanan dilanjutkan dengan short trekking di sekitar Loh Buaya. Di sini lingkungannya tandus, namun pohon-pohon lontar yang menjulang membuat landscape sedikit lebih hidup. Ranger menjelaskan tentang kehidupan reptil yang memiliki nama ilmiah Varanus komodoensis itu. Mulai bagaimana mereka “merampas” sarang burung (lubang di tanah) untuk menempatkan telur-telur mereka sampai sifat kanibalisme di antara mereka. Hidup ini keras, bro!

Selanjutnya kami menuju Pantai Manjarite. Ini adalah tempat snorkelling yang bagus. Airnya jernih dan terumbu karangnya luas sekali. Aku menyempatkan untuk berenang beberapa saat, setelah itu istirahat di jetty dengan latar belakang pemandangan bukit yang sangat indah. Singkat saja waktu yang dihabiskan di sini karena banyak kapal yang antre. Kami melanjutkan ke tempat terakhir, yakni Pulau Kelor. 

Pulau Kelor adalah pulau kecil dengan bukit terjal yang menjadi persinggahan kapal sebelum kembali ke Labuan Bajo. Kami berpencar. Ada yang duduk-duduk di pantai, berenang, foto-foto pemandangan atau sekedar bersantai minum kelapa muda. Aku membeli kelapa muda seharga Rp25,000. Aku mendaki bukit karena sepertinya tidak terlalu tinggi. Memang tidak terlalu tinggi sih, namun kemiringan yang terjal dan tanah kering justru licin membuat pendakian sangat menantang. Ditambah satu tangan memegang kelapa muda, uh, kekar lenganku. Namun, saat sampai di atas, pemandangannya bagus sekali! 

Gradasi warna mulai pasir putih bersambung dengan warna air laut yang biru toska dan semakin jauh semakin gelap warna birunya. Tidak berhenti di situ, di seberang terlihat gugusan perbukitan berbentuk segitiga dengan warna hijau dari vegetasi di bawah bukit, dan cokelat terang dan abu-abu menutupi lereng hingga puncak bukit. Perahu yang berlalu-lalang menambah suasana menjadi vibrant. Tak ingin menyianyiakan momen, aku mengambil foto dari puncak bukit. Aku mengambil foto kelapa muda dengan pemandangan tersebut.

Kami sampai di Labuhan Bajo sekitar pukul 6 sore. Tidak terasa lelah karena masih larut dalam perasaan takjub dengan apa yang kulihat selama island hopping. Mengunjungi pulau-pulau di Taman Nasional Komodo dan melihat langsung komodo adalah pengalaman yang sangat berharga. Memang belum bisa mengunjungi tempat-tempat lain di sekitarnya seperti Pulau Komodo, Pink Beach, Gili Lawa Darat, Manta Point dan masih banyak lainnya, namun tetap saja, ini sangat berkesan. Dan Labuan Bajo sepertinya bukan tempat yang wajib dikunjungi sekali seumur hidup, karena aku pasti akan kembali melihat keindahan di sana. Semoga.






Tulisan ini pernah dimuat di RedDoorz blog dengan judul "Labuan Bajo, Let's Go!" (https://www.reddoorz.com/blog/id/places-to-visit/labuan-bajo-let-s-go) namun ada penambahan informasi oleh penulis di sini.











Share:

Love Hurts In The End

Aku pernah memasukkan kalimat itu ke dalam lyrics lagu yang kutulis beberapa bulan yang lalu. Lebih tepatnya "Love pleases but then hurts in the end". Mungkin ada yang bertanya mengapa aku tiba-tiba menulis tentang itu? Well...


Cinta. C I N T A. I don't like this 5-letter word. Tapi aku bersyukur pernah mengenalnya. Sering merasakannya. Menurutku, cinta adalah buah tangan Tuhan yang paling indah yang  pernah di build-in-kan  ke dalam jiwa setiap manusia. Banyak kejadian historis yang ujung-ujungnya jika kita drag penyebabnya romansa dua insan. Kisah Troy, misalnya. Bagaimana Helene jatuh cinta kepada Paris pada pandangan pertama (terlepas intrik dan intervensi cupid ato pihak-pihak lain yang tidak diharapkan).Mereka akhirnya kabur dari Yunani, dan, terjadilah perang. Kisah segitiga Romeo-Juliet-Paris yang berujung pada tewasnya mereka bertiga. Bukan hanya tragedi, namun, perdamaian tercipta juga karena cinta. Flower Generation, misalnya. Mereka yang anti Perang Vietnam begitu berperan dalam menyebarkan perdamaian lewat musik. Sebut saja The Beatles, The Rolling Stones, Big Brother and the Holding Company. Peristiwa di tahun 1960-an itu sangat berpengaruh terhadap musik, seni, fashion, bahkan politik yang mempromosikan perdamaian dan kebebasan, karena mereka mencintai perdamaian dan kebebasan. Cinta. Masih banyak lagi kisah cinta yang berperan dalam peradaban manusia. We are raised in it.


Aku percaya tidak ada yang gratis dalam kehidupan ini. Begitu pula dengan cinta. Ketika kita jatuh cinta, banyak hal yang tidak terasa telah kita korbankan. Mulai dari hal-hal yang tak kasat mata, semisal pikiran kita dan waktu. We keep thinking of someone we're in to, don't we? Padahal, instead of  thinking of it, kita bisa saja fokus ke hal-hal lainnya yang lebih urgent, seperti kuliah, pekerjaan, hobby. Sedangkan hal yang bersifat materiil yang secara tidak sadar kita korbankan lebih banyak lagi. Mulai dari hal-hal yang paling daily, seperti pulsa (we keep texting, trying to make a call, chatting, apps-ing, stalking, tweeting, ANYTHING! Just to keep in touch with them), hadiah, uang jalan, uang bensin, banyak sekali. Bukannya bermaksud menjadi sangat perhitungan. Tidak. Ini hanya deskripsi dan...sedikit elaborasi. Harap jangan miskonklusi. See? :)


Banyak hal yang kita lakukan demi mendapatkan cinta, memilikinya, menjaganya, atau sekedar--sok tegar--melepaskannya. Nah, di sinilah ambivalensi cinta bekerja. Mulai dari awal kita jatuh cinta, kita pasti merasakan perasaan bahagia, namun tidak sedikit pula rasa khawatir beradu. Love pleases but then hurts in the end


Ketika kita melakukan verbalisasi cinta kepada, let's say, target, perasaan khawatir dan bahagia benar-benar beradu. Mungkin kebahagiaan akan tetap ada dan bahkan semakin besar ketika cinta kita berbalas. Begitu juga sebaliknya. Putus asa, hampa, terluka, mencoba bahagia--meskipun sulit--kita rasakan ketika cinta kita hanya one side. Love pleases but then hurts in the end.


Ketika kita memasuki jenjang hubungan yang lebih serius, pacaran misalnya, ambivalensi cinta tetap bekerja. Perasaan cemburu, sayang yang berlebihan, posesif adalah contohnya. Mungkin kebahagiaan itu akan berlanjut. Namun, bisa saja tidak. Putus, misalnya. Entah karena memang sudah tidak ada kecocokan lagi, atau bosan, atau selingkuh, whatever. Love pleases but then hurts in the end.


Memasuki jenjang hubungan yang jauh lebih serius lagi, pertunangan atau pernikahan, tetap saja sama. Hubungan itu bisa langgeng sampai menjadi keluarga ideal, bahagia, dengan anak-cucu dan segala tetekbengeknya. Namun, bisa saja tidak. Perceraian, perselingkuhan--yang berujung pada perpisahan--misalnya. Kalaupun--kembali lagi ke keluarga bahagia--iya, tetap saja kematian juga yang ambil alih. It's all about time.  Love pleases but then hurts in the end.


Wajar kalau kita takut kehilangan. Wajar kita ingin selalu memiliki. Tapi, kita juga harus menyadari bahwa there's a price to pay, somehow, in this life, isn't it? Kehidupan terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Let love colour our life journey. It's not that bad. Bahkan seperti kisah Romeo-Juliet-Paris sekalipun. It's not that bad. But one for sure: deal with it. That it is: Love pleases but then hurts in the end.



with love, as usual
Rangga
  

Share: