Keikhlasan adalah hal paling bijak namun paling sulit untuk
dilakukan.
Minggu lalu merupakan minggu yang berat sekali yang harus
aku lalui. Ketika temanku mengajakku untuk pergi ke suatu tempat, tanpa
berpikir panjang aku langsung mengiyakan. Tidak ada salahnya untuk sekedar
meremajakan pikiran setelah depresi. Tidak ada salahnya menjauh dari tempat
yang telah banyak memberikan warna dalam hidupku. Mungkin orang akan bilang
bahwa aku kabur. Mungkin juga iya. Terserah.
Aku pergi ke tempat di mana jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.
Tempat yang bagus untuk mereka yang ingin memulihkan diri, dan hati. Aku melihat
hutan pinus, melewatinya. Aku melihat pemandangan kebun sayur yang terhampar
setidaknya satu mil. Ada tomat, padi, dan sayuran-sayuran lain yang tidak aku
ketahui wujud hidupnya. Saat melihat itu semua, saat itulah untuk pertama
kalinya aku tersenyum, sepenuh hati. Mungkin aku memang dalam pelarian. Tidak
masalah, pikirku. Selama ini membantuku mengatasi masalah batin yang sedang aku
alami sekarang.
Namun, ternyata senyuman itu tidak bertahan lama. Dia
kembali memasuki pikiranku. Aku kembali memikirkannya. Setiap kali dia
terlintas di kepalaku, ada yang bergejolak di dalam perutku. Entah itu apa.
Dari awal aku berpikir mungkn dengan mengunjungi tempat-tempat baru akan
membantuku melupakannya. Melupakan semua itu. Namun ternyata tidak. Dan aku
mulai memaksakan diriku untuk melupakannya. Ternyata tidak berhasil. Bahkan itu
hampir saja menarikku ke dalam kondisi buruk lagi. Secara emosi. Aku tidak
ingin hal itu terjadi lagi. Aku tidak lagi memaksa diriku untuk melupakannya.
Tidak akan. Kalau pun nanti akan berjalan lambat, butuh waktu yang tidak
singkat, aku jalani. Kalau pun nantinya jarak akan membantuku melupakannya, I’ll take it.
Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku.
Sesuatu itu adalah kenyataan bahwa kita memang tidak bisa bersama. Setiap hal
itu terlintas di benakku, perlahan-lahan aku kalut. Kenyataan bahwa kita tidak
bisa bersama adalah kenyataan bahwa aku tidak bisa memilikinya. Namun, aku juga
bertanya-tanya tentang kinginanku untuk memilikinya. Apa benar aku ingin
memilikinya?
Memiliki dan mencintai itu bukan hal yang sama. Ketika kita
ingin memiliki sesuatu atau seseorang pasti kita tidak akan merelakannya pergi.
Desire yang besar itu menghambat kita
untuk berkorban. Ketika kita mencintai seseorang, kita akan rela melakukan
apapun yang terbaik buatnya. Sedangakan kepemilikan yang nantinya kita dapatkan
dari rasa sayang dan cinta, hanyalah sebuah hadiah, bonus, yang bahkan suatu
saat nanti kita harus rela melepaskannya. Dan itu yang aku rasakan sekarang.
Bukan keinginan untuk memiliki, namun rasa
sayang, cinta yang sedang diuji. Aku tidak ingin hari-hariku dihantui
oleh hasrat untuk memilikinya, simply
karena aku tidk bisa merelakannya. Whereas
it violates the love of mine to the person itself. It violates the love itself.
Kalau memang aku sayang sama dia, harusnya tidak ada hasrat itu. Kalau aku
memang sayang sama dia, harusnya aku siap dengan segala kemungkinan terbaik dan
terburuk. Aku tidak berpendapat bahwa cinta itu harus melayani. Tidak. Itu
bahkan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini hanyalah masalah kesiapan.
Kesiapan dengan berbagai kemungkinan. Kesiapan dalam memutuskan.
I love it. And all I
can do is just letting it go. Bukan karena apa-apa, namun lebih karena aku
sayang dia. Dengan melepaskannya, tidak akan ada lagi pemaksaan hasrat untuk
memiliki yang sebenarnya dari awal itu tidak ada. Dan aku tidak ingin hasrat
itu menggantikan dan mendominasi perasaanku ke dia nantinya. Dia sudah
memberikan yang terbaik—demi hubungan yang telah terjalin dan agar hubungan itu
tidak semakin lebih buruk. Dia bersikap dewasa. Aku juga harus bersikap dewasa,
meskipun ini jauh lebih sulit. Oleh karena itu, aku akan melepaskannya. Toh
melepaskannya bukan berarti kita berakhir. Friendship
masih berjalan. Bukannya itu yang aku cemaskan dari awal? Pertemanan
berakhir? Bukannya itu yang dia jamin dari awal, bahwa hubungan kita berdua
akan baik-baik saja? It’s more than
enough, I think. Self-respect is not that easy, in this case. But I’ve gotta get it through, anyway, in
anyway!
Setibanya kembali aku di kota, aku merasa lebih tenang. Aku
bahkan bisa tersenyum kembali. Senyuman asli. Hal-hal yang telah aku alami
memberiku banyak pelajaran penting. Keikhlasan. Menerima kenyataan dan
menjalaninya. Tidak hanya di luar, namun di dalam hati. Karena saat kita telah
mampu melakukannya, itu bukti rasa sayang dan cinta kita kepada orang yang kita
sayangi. Lebih dari itu, itu bukti rasa sayang kita kepada diri kita sendiri. Just don’t let ourselves hurt us!
Photo source: http://soulhiker.com/2009/10/reboot-your-life-20-mental-barriers-you-should-let-go-off/
0 Post a Comment:
Posting Komentar