Coming Out Of The Closet?

Judul di atas mungkin sedikit asing di telinga sebagian besar orang, atau mungkin tidak. Okay, sebaiknya kita tahu dulu apa sih coming out of the closet itu? 

Coming out of the closet (kalau diterjemahkan literal ke bahasa Indonesia berarti "keluar dari lemari") adalah sebuah kiasan yang merujuk kepada keterbukaan seorang Lesbian, Gay, Biseksual, atau Transgender (disingkat LGBT) tentang orientasi seksual mereka or their gender identity. Mungkin beberapa dari kita pernah mengalami ketika teman kita tiba-tiba mengaku dirinya seorang gay atau lesbian. Nah, yang dilakukan teman kita itu namanya coming out of the closet. 

Pembukaan jati diri apakah seseorang itu adalah gay atau bukan memang masih menjadi hal yang "luar biasa sekali" bagi orang lain untuk sekedar mengetahuinya. Oleh karenanya, coming out of the closet juga sangat bergantung pada pelaku itu sendiri, mudah tidaknya dilakukan. Ketika seseorang memutuskan untuk membuka jati diri atau tidak (diam-diam saja), mereka pasti sudah mengetahui costs and benefits dari tindakan mereka itu. Hal itu penting! Kebanyakan orang tidak membuka diri karena faktor sosial. Bagaimana lingkungan masih saja menerapkan nilai, norma atau aturan yang menolak LGBT. Bahwa ketika seseorang bertindak "di luar batas", masyarakat dengan mudahnya menghakimi bahwa ini tidak patut, melanggar etika, tidak sopan, tidak mencerminkan budaya timur, dan "tidak baik-tidak baik menurut mereka" lainnya. Sama halnya dengan kasus coming out of the closet, seseorang pasti tidak ingin mengambil risiko yang besar (yang mengancam kelangsungan hidupnya) hanya karena pembukaan jati diri. Mereka menyadari bahwa masyarakat akan membenci, bahkan mengalienasi ketika mereka tahu. Inacceptance and intolerance! 

Ini seperti kehamilan di luar nikah, ketika masyarakat menjunjung tinggi nilai keperawanan dan mereka bersikap berbeda ketika ada seorang gadis—tahu-tahu—punya anak dengan meninggalkan pertanyaan "bapaknya siapa?" kepada khalayak umum. Tapi, bukankah seiring berjalannya waktu masyarakat sudah sedikit lebih lunak menyikapi kasus seperti itu? Mungkin karena mereka kasihan sama anaknya, atau mungkin mereka kasihan sama ibunya yang telah dihamili (meskipun sebelumnya mereka membuat sang ibu jadi bulan-bulanan nyinyiran mereka sendiri seperti "cewek kok seperti itu?!" dan yang lainnya), atau alasan lain.  Bahkan, jangan jauh-jauh, ketika kita ke salon kecantikan pasti juga akan menghadapi hal-hal semacam itu, seperti adanya "mbak-mbak salon". Dan masyarakat sudah terbiasa dengan hal itu. Bahwa ada space of tolerance di situ. Alasan-alasan dan perubahan itulah yang sampai sekarang tidak terjadi (atau setidaknya sulit sekali terjadi) regarding to homosexuality. That's why banyak orang lebih memilih tutup mulut.

Lingkungan berperan penting apakah seseorang akan come out of the closet atau tidak. Ketika lingkungan tidak mendukung seperti di atas, mereka yakin bahwa bunuh diri sosial tidak termasuk dalam opsi. Tapi, bahkan ketika lingkungan mendukung pun, membuka jati diri tidak semudah membalik telapak tangan. Kalau pun lingkungan menerima—katakanlah di kalangan mahasiswa yang liberal (meskipun kadang bercandanya sedikit rasis), universalis, feminis—mereka  tidak serta merta akan melakukannya. Dari lingkungan tersebut, acceptance bisa dipastikan ada, toleransi iya. Tapi terlepas dari itu, ada pertimbangan-pertimbangan yang sangat personal. Mungkin mereka tidak siap menghadapi image shifting dari teman-teman mereka. Somehow, hal itu memang berperan signifikan. Tapi sebenarnya, lingkungan seperti itu—yang biasanya ada di kampus-kampus dan di kawasan urban atau let's say dunia maya (sosial media, misalnya)--adalah awal yang baik untuk lebih terbuka tentang jati diri kepada orang lain. Akan ada proses yang tidak sebentar agar lingkungan bisa terbiasa dengan keberadaan kaum LGBT. Dan pada akhirnya, tidak ada lagi paranoia terhadap LGBT, yang berarti bahwa proteksi dengan sendirinya berjalan. Penerimaan dan toleransi lah yang menjadi proteksi itu sendiri.

Terlepas dari apakah coming out itu dilakukan atau tidak, motifnya sebenarnya sama: self protection. tapi, bukankah aktualisasi diri dan keterbukaan itu juga perlu? Lebih baik juga kan ketika kita bahagia bukan karena apa yang orang lain pikirkan tentang kita :)


Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar