Songs of the Year: 2012 The Chronicle

Seringkali ketika kita mendengarkan sebuah lagu, akan teringat pada kejadian-kejadian, baik yang telah berlalu maupun yang sedang kita alami. Kejadian-kejadian itu mungkin berakhir senang, sedih, bahagia, duka, bingung, atau mungkin “hampir gila” atau bahkan “gila”. Nah, sekarang aku mencoba me-recap songs yang mengiringi apa saja yang aku alami sepanjang 2012. Mungkin gak seheboh cerita-cerita chick lit, anyway, it's just a recap. So, here they are: 

We Found Love by Rihanna/ You Make Me Feel by Cobra Starship
These songs menghiasi awal tahun 2012ku. These songs remind me of someone I ever had a crush on. Or maybe ones. Ya, aku jatuh cinta sama seseorang. Tapi sayangnya, waktu itu aku masih 'takut' untuk bilang sayang atau cinta. Bukan itu saja, parahnya, aku bahkan gak tahu namanya, semester berapa, fakultas apa. Anything. At all! Seriously, we found love 'in a hopeless phase'. Belum cukup di situ. Jadi awalnya aku suka banget sama orang itu, tapi akhirnya aku malah jatuh cinta sama temannya.  Sama parahnya dengan orang pertama, aku bahkan gak tahu nama, semester berapa, fakultas apa orang kedua ini kuliah. Anything. At all! Tapi akhirnya perasaan itu perlahan-lahan menghilang. Aku bahkan gak peduli nama mereka siapa, semester berapa, fakultas apa. Seperti khilaf. Yang sebentar. You make me feel that!!!
  
Fix You by Coldplay

Lagu ini mengingatkanku pada nenekku. Beliau meninggal awal Maret 2012. Aku merasa kehilangan sekali dengan kepergiannya. Beliau meninggal karena stroke yang dideritanya selama lebih dari setahun. Aku masih ingat dulu kalau mau berangkat sekolah aku selalu salim-cium pipi kanan-cium pipi kiri dan dahi nenekku. Bahkan sampai aku kuliah pun kalau aku pulang ke Batu masih saja salim-cium pipi kanan-cium pipi kiri-dahi. Banyak hal yang kita lewati. Sudahlah, let it just linger in my mind. Moreover, ini kan recap lagu OST of my life, bukan cerita berjudul 'Nenekku'. Buat nenekku, I'll be missing you!

Fly by Nicki Minaj ft. Rihanna/ One Thing by One Direction 
Dua lagu ini menjadi soundtrack andalan pas sidang skripsi. Yey! Aku lulus tahun ini (meskipun tidak sedikit temanku bertanya 'Kamu bercanda kan?' atau malah 'Gak usah bohong, Gaga!'). Well, bulan Juni adalah bulan paling menegangkan dan hectic. Aku (dan juga teman-temanku) sibuk ngebut kejar sidang skripsi. Ngebut lulus karena sudah muak untuk bayar SPP lagi.  

 
"I came to win, to fight, to conquer, to strike. I came to win, to survive, to prosper, to rise. Fly. . . .y. . .y. . .y. . ." 

Itu adalah lagu ketika aktor utama berjalan menuju ruang sidang. Dengan dresscode formal dan jas almamater yang tidak nyaman dipakai dan sedikit mengganggu pemandangan, dengan pengambilan gambar slow motion, dengan latar belakang teman-temannya memberi dukungan sambil duduk di kursi di depan ruang sidang. Ada juga yang sambil mengiringi langkahnya sampai di depan ruang sidang  (gambar slow motion juga). Kemudian dia membuka pintu sidang, kamera shoot (masih slow motion) dari belakang aktor utama dan teman-teman yang mengiringinya, memperlihatkan sekilas ruang sidang di mana terdapat  meja besar bertaplak hijau khas Pengadilan Negeri dengan dosen-dosen penguji duduk menanti aktor utama. Ada yang sambil membolak-balikkan materi yang akan diuji, ada yang sambil ber-lepas-pakai kacamata, ada yang tersenyum ramah (kelihatannya sih tulus, tapi tetap saja mengerikan dalam situasi seperti ini), dan ada juga yang hanya duduk dan menunggu dan kelihatan muak (ini akting paling natural. Khas dosen-dosen). Kamera kembali shoot aktor utama dan teman-teman mereka di depan pintu ruang sidang, slow motion, mereka menepuk-nepuk punggung aktor utama. Tapi tiba-tiba pengambilan gambar kembali normal, suasana panik dan riuh terekam apa adanya, aktor utama masuk ruang sidang karena ada salah satu temannya yang mendorongnya masuk dan dia mencoba menahan dorongan tadi tapi tidak berhasil, kamera mendekat, dan 'ceklek-derr!' pintu tertutup.

Okay. Kembali ke realita. Pintu tertutup dan. . .here I am, di ruang sidang. Pasang senyum Pepsodent. Berasa neraka. And this is it, satu set dosen penguji, lengkap dengan aksesoris, gak pake baterai, gak dijual terpisah. Oh, sh.t!  Aku sidang hari Selasa, 12/6/2012, jam 12.00 siang!!! Okay lah aku tidak begitu suka tidur siang, tapi pada saat itu aku sadar kenapa banyak orang bilang bahwa tidur siang itu enak. Sidang skripsi berjalan selama 1,5-2 jam. Gimana jalannya sidang? Well. .  
 

'I've tried playing it cool, but when I'm looking at you (wahai, para dosen penguji!), I can't ever be brave, coz you make my heart race' 


Ya. Aku gak bisa menyangkal kalau aku lumayan tegang saat sidang. Suhu ruangan tiba-tiba naik. Berasa neraka. Aku seperti dim sum yang lagi dikukus. Keringatku bercucuran, saking banyaknya sampai aku yakin bisa menuhin laguna yang kering. That's gross!  Mungkin sedikit tidak biasa, tapi aku punya cara biar sedikit relax di dalam sana. Jadi, aku anggap saja ruangan itu adalah ruangan audisi American Idol. Aku harus berhasil meyakinkan Randy Jackson, Jennifer Lopez dan Steven Tyler bahwa aku layak mendapatkan the golden ticket ke Hollywood which is Gedung Soetardjo, tempat wisudaku kelak. And it works! And you know what, hal pertama yang keluar dari mulutku ketika salah satu dosen penguji stated that I'm going through adalah 'Omigod! Thank you!'. Mereka saling menatap. Ya, mereka sedikit terguncang dengan reaksiku.

Call Me Maybe by Carly Rae Jepsen/ I Wish by One Direction

 
Bulan Juni setelah sidang skripsi, aku mengikuti NUEDC di STIKES Bali. Lumayan lah. Ke Bali gratis. Tapi jangan berharap lebih dari sesuatu yang gratis, karena kemungkinannya seperti undian berhadiah. Perjalanan Jember-Bali itu tidak singkat dan tidak menyenangkan. Bayangkan, aku berangkat jam 4 sore dan tiba on the spot (Hotel Fave, Seminyak) jam setengah 5 pagi, satu jam sebelum acara dimulai (setidaknya, itu yang tertulis di rundown). Wajar dong kalau aku berharap perjalanan –yang durasinya sebelasduabelas dengan waktu kerja buruh FoxConn, berasa ilegal di negeri sendiri karena hampir dilempar kembali ke pesisir Jawa oleh petugas pelabuhan Gilimanuk gara-gara KTP-ku kadaluarsanya keterlaluan, sampai salah naik 'taksi mafia' yang argometernya malah kayak visualisasi bar di Winamp ketimbang nunjukin bill secara TRANSPARAN yang WAJIB diketahui penumpang—ini  berakhir indah di Hotel Fave nanti. Mungkin roommate-ku nanti lumayan banyak, 3 orang mungkin (boleh!), dari daerah-daerah lain, salah satu ada yang menarik. New friends, fresh air. Tapi, undian berhadiah tetaplah undian berhadiah. Roommate-ku cuma satu orang, dan. . . . . . .dia. . . . . . .sedikit. . . . . . . . .mengapung. Ketika dia bukain pintu kamar, he said “Dah lama nunggu (di depan pintu)?” I said "Hey! Kamu (la~gi!)" Hey, I (just) met you. And this is crazy. Jangan berharap lebih dari sesuatu yang gratis.  

Terlepas dari hal itu, aku mengalaminya lagi. Jatuh cinta. Kejadiannya ketika aku sedang breakfast sendirian, eh, tiba-tiba di depanku ada someone duduk sambil membawa menu breakfastnya. Tatapan kita sempat bertemu. Tatapannya seperti '?' dan aku meresponnya dengan tatapan 'Ya? Okay, aku mau makan. Dah!'. Tapi setelah 5 sendok makan, aku baru menyadari kalau orang ini. . .menarik. Aku jatuh cinta setelah 5 sendok nasi. #sigh  

Since then, kepalaku mulai terisi dengan 'dia'. Dia memenuhi kepalaku. Setiap kali lihat dia, I was like 'Stay, Rangga! Don't fall!'. Setiap kali lihat dia tersenyum I was like shouting myself 'STAY!' kayak peserta neriakin tumpukan duit di Million Dollar Money Drop. Trying to maintain but I'm struggling. 


'When you walk by, I try to say it. But then I freeze and never do it. My tounge gets tied, the words get trapped'  

Aku gila. Aku cuma bisa termehek-mehek (ke temanku), memanggil-manggil tidak jelas (ke temanku), memasang tatapan 'Hey, aku lagi jatuh cinta ma orang itu!' (ke temanku), memukul-mukul (temanku), dan membuat muak (temanku). Tapi akhirnya, secara kebetulan banget, aku bisa ngobrol sama dia. Di depan toilet. Sebentar sih tapi lumayan bikin aku. . .mixed! Dia ternyata berasal dari ujung Indonesia. Tempat yang bahkan aku gak punya niatan pergi ke sana karena di sana sangat strict. Aku ingin melihatnya debate, actually, sayang gak sempat. Anyway, aku kembali ke Jember dengan cinta. Haha. . . It was fun!

Share:

Coming Out Of The Closet?

Judul di atas mungkin sedikit asing di telinga sebagian besar orang, atau mungkin tidak. Okay, sebaiknya kita tahu dulu apa sih coming out of the closet itu? 

Coming out of the closet (kalau diterjemahkan literal ke bahasa Indonesia berarti "keluar dari lemari") adalah sebuah kiasan yang merujuk kepada keterbukaan seorang Lesbian, Gay, Biseksual, atau Transgender (disingkat LGBT) tentang orientasi seksual mereka or their gender identity. Mungkin beberapa dari kita pernah mengalami ketika teman kita tiba-tiba mengaku dirinya seorang gay atau lesbian. Nah, yang dilakukan teman kita itu namanya coming out of the closet. 

Pembukaan jati diri apakah seseorang itu adalah gay atau bukan memang masih menjadi hal yang "luar biasa sekali" bagi orang lain untuk sekedar mengetahuinya. Oleh karenanya, coming out of the closet juga sangat bergantung pada pelaku itu sendiri, mudah tidaknya dilakukan. Ketika seseorang memutuskan untuk membuka jati diri atau tidak (diam-diam saja), mereka pasti sudah mengetahui costs and benefits dari tindakan mereka itu. Hal itu penting! Kebanyakan orang tidak membuka diri karena faktor sosial. Bagaimana lingkungan masih saja menerapkan nilai, norma atau aturan yang menolak LGBT. Bahwa ketika seseorang bertindak "di luar batas", masyarakat dengan mudahnya menghakimi bahwa ini tidak patut, melanggar etika, tidak sopan, tidak mencerminkan budaya timur, dan "tidak baik-tidak baik menurut mereka" lainnya. Sama halnya dengan kasus coming out of the closet, seseorang pasti tidak ingin mengambil risiko yang besar (yang mengancam kelangsungan hidupnya) hanya karena pembukaan jati diri. Mereka menyadari bahwa masyarakat akan membenci, bahkan mengalienasi ketika mereka tahu. Inacceptance and intolerance! 

Ini seperti kehamilan di luar nikah, ketika masyarakat menjunjung tinggi nilai keperawanan dan mereka bersikap berbeda ketika ada seorang gadis—tahu-tahu—punya anak dengan meninggalkan pertanyaan "bapaknya siapa?" kepada khalayak umum. Tapi, bukankah seiring berjalannya waktu masyarakat sudah sedikit lebih lunak menyikapi kasus seperti itu? Mungkin karena mereka kasihan sama anaknya, atau mungkin mereka kasihan sama ibunya yang telah dihamili (meskipun sebelumnya mereka membuat sang ibu jadi bulan-bulanan nyinyiran mereka sendiri seperti "cewek kok seperti itu?!" dan yang lainnya), atau alasan lain.  Bahkan, jangan jauh-jauh, ketika kita ke salon kecantikan pasti juga akan menghadapi hal-hal semacam itu, seperti adanya "mbak-mbak salon". Dan masyarakat sudah terbiasa dengan hal itu. Bahwa ada space of tolerance di situ. Alasan-alasan dan perubahan itulah yang sampai sekarang tidak terjadi (atau setidaknya sulit sekali terjadi) regarding to homosexuality. That's why banyak orang lebih memilih tutup mulut.

Lingkungan berperan penting apakah seseorang akan come out of the closet atau tidak. Ketika lingkungan tidak mendukung seperti di atas, mereka yakin bahwa bunuh diri sosial tidak termasuk dalam opsi. Tapi, bahkan ketika lingkungan mendukung pun, membuka jati diri tidak semudah membalik telapak tangan. Kalau pun lingkungan menerima—katakanlah di kalangan mahasiswa yang liberal (meskipun kadang bercandanya sedikit rasis), universalis, feminis—mereka  tidak serta merta akan melakukannya. Dari lingkungan tersebut, acceptance bisa dipastikan ada, toleransi iya. Tapi terlepas dari itu, ada pertimbangan-pertimbangan yang sangat personal. Mungkin mereka tidak siap menghadapi image shifting dari teman-teman mereka. Somehow, hal itu memang berperan signifikan. Tapi sebenarnya, lingkungan seperti itu—yang biasanya ada di kampus-kampus dan di kawasan urban atau let's say dunia maya (sosial media, misalnya)--adalah awal yang baik untuk lebih terbuka tentang jati diri kepada orang lain. Akan ada proses yang tidak sebentar agar lingkungan bisa terbiasa dengan keberadaan kaum LGBT. Dan pada akhirnya, tidak ada lagi paranoia terhadap LGBT, yang berarti bahwa proteksi dengan sendirinya berjalan. Penerimaan dan toleransi lah yang menjadi proteksi itu sendiri.

Terlepas dari apakah coming out itu dilakukan atau tidak, motifnya sebenarnya sama: self protection. tapi, bukankah aktualisasi diri dan keterbukaan itu juga perlu? Lebih baik juga kan ketika kita bahagia bukan karena apa yang orang lain pikirkan tentang kita :)


Share:

Distance (Ease Off My Pain)

Well, gak tahu kenapa tadi sempet galau lagi. Tapi untungnya temanku kapan hari mengenalkanku pada meditasi jadi aku bisa kendalikan emosi, daaaaaan berujung pada inspirasi (just so you know, I'm wondering there are other ways of getting inspirations instead of by feeling blue at the very first place. If there is any, I'll be IN it!!!!).  Anyway, kalo iya para pencipta lagu handal itu harus galau dulu baru bikin lagu yang nge-hit, gak heran kalo mereka-mereka selalu terlihat kurus (it burns out your calories like hell!!!! Seriously!). So, ini tadi hasil genjreng-genjreng.

Distance (Ease Off My Pain)

For the first time in my whole life
I'm breaking down
Fall to pieces
All the time
I'm trying to let you go
Making spaces

I'm destined for something else
somewhere else

And I believe that
Distance will ease off my hurting feeling 
Distance will ease off my pain
Distance will ease it all off 
Loose it all off
Distance eases off my pain

Maybe you don't deserve it 
Simply, I deserve one better there out
What you think you need is 
What actually you can live without

So let it go, don't look back, ever back!
Let it go, don't hold them back, hold them back!

Cause I'm destined for something else
somewhere else

And I believe that
Distance will ease off my hurting feeling 
Distance will ease off my pain
Distance will ease it all off 
Loose it all off
Distance eases off my pain 



The picture was taken from http://samawdsley.blogspot.com/2012/08/saying-goodbye.html

Share: