Solotrip 5 Negara Asean (Part 5: Nyasar Di Vietnam, Keliling Angkor Wat dan Ada G.nj. Di Kamboja)

angkor watt, siem reap, foto kaki, kamboja
My feet track di salah satu candi di Angkor Wat, Kamboja


Jangan pernah percaya apabila travel agent Vietnam bilang perjalanan Ho Chi Minh City – Siem Reap bisa ditempuh dalam waktu 8 jam. It’s a totally bullshit!


Jadi, aku membayar USD23.00 dan bangun pagi-pagi sekali (jam 7!!!) dan berjalan satu blok karena bus berangkat dari tempat travel agent jam setengah sembilan. Mereka bilang aku akan tiba di Siem Reap pada pukul 5 sore, jadi masih ada waktu untuk istirahat dan bangun subuh untuk melihat sunrise di Angkor Wat. Awalnya hanya ada aku sendiri di bus  (okay, lebih tepatnya minivan), sepuluh menit kemudian menyusul satu traveller dari Israel, dan yang terakhir satu turis Korea dengan tas-tas Starbucks berhamburan ke segala penjuru.


Mungkin karena semua lelah, kita semua tertidur selama perjalanan. Sampai akhirnya satu persatu bangun. Seperti biasa, aku buka Path dan memberitahu Philippe karena aku pasti sangat telat tiba di Bangkok (dia menanyakan terus sejak aku di Saigon). Traveller lainnya aku tidak peduli. Maksudku, kita sibuk autis dengan handphone masing-masing, dan itu lumrah di jaman sekarang.


 Travel agent bilang perjalanan bisa cepat ke Siem Reap karena tidak melewati Pnom Penh (ibukota Cambodia), melainkan langsung menuju Xa Mat, daerah perbatasan Barat Laut Vietnam dengan Cambodia.


Mungkin pepatah “Man proposes, God disposes” (Manusia berencana tapi Tuhan main-main) tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi setelah tiga jam pertama perjalanan kami bertiga. Entah kenapa supir bus berkendara bukan ke Pnom Penh dan bukan juga ke Xa Mat, tapi belok kanan ke antah-berantah di pedalaman Vietnam.


“Hey, I think we are going the wrong way” turis Korea memberitahuku. 


Kami bertiga cek GPS, dan ternyata kita tersesat jauh ke pelosok. Kami bertiga mencoba memberitahu “jalan yang benar” ke driver teman-temannya, tapi mereka baru percaya setelah mereka bertanya setidaknya empat kali kepada penduduk setempat dan tidak berhasil (untuk itulah ada GPS, hai orang Vietnam). 


Turis Israel dengan sabar mengarahkan mereka ke mainroad menuju Xa Mat seperti Nabi Musa membawa kaum Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Yang Dijanjikan.


"Haruskah aku yang nyetir, guys?" sepertinya dia mulai tidak sabar. Tawa kami bertiga langsung meledak.


Setelah dua jam melewati perkebunan, sawah, hutan lindung (national park, kita di mana sih sebenarnya????!!!), akhirnya kita sampai di daerah perbatasan pada pukul 3 sore.


Pak supir menjajikan kita sampai di Siem Reap dalam waktu tiga jam. Aku dan Israel cuma saling pandang sambil berpikir keras karena tidak mungkin sampai ke Siem Reap yang,


“Jaraknya ratusan kilo dari sini loh,” Israel menjelaskan. 

                                               

“Dengan kendaraan dan kondisi jalan seperti ini,” aku menimpali.


Kesan pertama tentang Cambodia adalah negara ini begitu miskin. Pos imigrasi mereka seperti pos security daerah Muka Kuning (jauh lebih bagus di Muka Kuning), sedangkan tempat pengurusan Visa on Arrival mereka seperti pos penjaga parkir DC Mall, cuma jauh lebih jelek. Dan sepanjang perjalanan aku melihat kehidupan orang Cambodia yang masih jauh dari target Millenium Development Goals PBB. Sepanjang perjalanan kulihat banyak sekali kuil-kuil Buddha, dan satu dua masjid kecil. Mungkin mereka ini yang disebut orang Cham ya, minoritas Muslim di Cambodia.


Hampir jam 11 malam kami baru sampai Siem Reap dan disambut dengan antusias oleh bapak-bapak tuk-tuk sekeluar kita dari bus, seperti paparazzi yang mengejar para anggota boyband yang kepergok keluar dari limousine menuju gaybar pada Jumat malam. Kita bubar jalan menuju tujuan masing-masing.


Sesampai di guest house aku bertemu dengan dua traveller, Laura (Czech) dan Natasha (Luxembourg). Aku dan Laura harus bangun jam 4 subuh karena kami berdua ingin melihat matahari terbit di Angkor Wat, sedangkan Natasha punya agenda tour sendiri. Kami bertiga janji akan makan malam bersama setelah tour selesai.


Kami menuju Angot Wat yang berjarak tujuh kilometer dari tempat menginap. Mungkin karena kami akan ke Angkor Wat, ditambah kami naik Tuk-Tuk (going local, yey!!!) jadi rasa kantuk pun lenyap. Sesampai di sana, banyak sekali orang—ratusan—berkumpul di dekat sejenis-empang-di-depan-Angor-Wat menanti matahari terbit, seperti gerombolan hippies yang menantikan penampilan musisi sakaw favorit mereka di World Music Festival.

“Man proposes, God disposes”.

Lupakan golden sunrise whatsoever karena langit berkhianat. Cuaca mendung, dan hujan (okay, gerimis yang sedikit lebih deras daripada gerimis pada umumnya). Awalnya mereka tetap berkumpul di situ, optimis matahari akan muncul (dasar keras kepala). Tapi setelah lewat pukul 6.10 (matahari harusnya terbit pada jam 5.45) dan mereka tidak berkeringat karena radiasi panas surya tapi basah karena hujan, mereka akhirnya semburat mengikuti tour guide masing-masing.

Kesan pertama tentang Angkor Wat adalah keren BANGET!!! Kami melakukan small tour dengan mengunjungi 7 komplek candi (seingatku. I mean, banyak banget candinya!). Candi yang kedua bagus banget. Sangat dramatis. Setelah makan siang kami melakukan big tour dengan mengunjungi 5 candi. Tidak lupa juga melihat langsung candi (lebih tepatnya reruntuhan) tempat Angelina Jolie shooting “Tomb Raider.” So exciting!


tomb raider, angkor watt, cambodia, siem reap
Salah satu lokasi syuting Tomb Raider

Ada beberapa hal perlu diketahui ketika mengunjungi Angkor Wat. Pertama, jangan membeli sarapan di sana karena SANGAT TIDAK ENAK dan MAHAL! Aku memesan omelette seharga USD4.50 dan ya Tuhan, rasanya menyedihkan. Laura memesan kopi seharga USD1.00 dan berujung dengan dia mengumpat dan betapa kangennya dia dengan makanan Indonesia.


Kedua, di setiap komplek candi siap-siap saja disamperin oleh para penjual souvenir tapi kita berdua bisa mengatasinya dan untung ada turis-turis Cina yang menjadi sasaran empuk para pedagang di sana, jadi kita berdua selamat.


Ketiga adalah di setiap candi ada orang yang menjaga patung Buddha dan menawarkan dupa kepada para pengunjung. JANGAN TERMAKAN BUJUKAN MEREKA karena dibalik semua itu mereka akan menyodorkan baskom berisi pecahan USD1.00 kepada kita setelah acara ritual komersialisasi-Buddha selesai. Kami berdua sih aman-aman saja. Setidaknya diriku, karena Laura mengalami hal memalukan di salah satu komplek candi dan menolak mentah-mentah untuk membayar.


“No,” ketika melihat penjaga Buddha menyodorkan baskom untuk “beramal USD1.00”.


“It’s one dollar only,” penjaga Buddha menimpali dengan muka masam.


“No. I paid 20 US dollars for these temples, and now I have to pay for this in every temple? Fifteen temples means 15 dollars and I have to work for hours in Australia for this amount.” Dia tinggal di Australia selama satu setengah tahun sebelum memulai travellingnya dari Bali kemudian Cambodia.


“But only one dollar,” penjaga Buddha mulai spaneng.


“I’m a student. I have no permanent job so, NO. And Goodluck!” Laura balik kanan meninggalkan penjaga Buddha yang menatap kami dengan muka SHOCKED! 


pohon raksasa, angkor watt, cambodia
Salah satu komplek candi Angkor Wat. Epic


Sorry, kita bukan seperti turis-turis Asia pada umumya yang seringkali “merasa tidak enak” setelah ritual komersialisasi Buddha seperti itu. Kami berdia cekikikan keluar kompleks. Saking spanengnya, Laura sampai berfoto naik patung gajah segede sapi di salah satu sudut candi. Semua orang melihat aksi kami berdua, sambil cekikikan kami segera meninggalkan kompleks candi karena tidak mau berakhir di kantor polisi gara-gara melakukan pelecehan terhadap benda keramat.


Big tour selesai pada jam empat sore. Sebenarnya kami ingin melihat sunset karena langit mulai cerah, namun tidak jadi karena sudah terlalu capek dan tidak mau menunggu 2 jam hanya untuk itu. Kami bisa melihat Angkor Wat berwarna PUTIH tertimpa sinar matahari sore.


angkor watt, cambodia, siem reap, lorong, column, corridor
Foto dari lorong salah satu candi di Angkor Wat, Kamboja

Dalam perjalanan pulang kami mengunjungi salah satu monument peringatan pembantaian Khmer (Khmer Rouge) dengan bantuan Vietnam Utara dan Soviet yang menewaskan lebih dari satu juta orang Cambodia sekitar tahun 1975. Kami mendengar kesaksian orang local bagaimana dulu banyak orang pintar dibantai di seluruh Cambodia dan banyak ukiran di Angkor Wat yang dihancurkan oleh rezim penguasa.  


Banyak sekali tengkorak yang dipajang, dan juga foto-foto orang yang menjadi korban pembantaian. Selain itu ada juga foto tentang kehidupan masyarakat Cambodia di bawah kekuasaan Khmer Rouge. Ini adalah sebagian kecil saja dan kita bisa menemukan yang jauh lebih besar jumlahnya di Pnom Pehn. Sisi gelap Cambodia, seperti halnya sisi gelap nagara Indonesia dengan Gestok-nya pada tahun 1965 silam. Sangat kelam!

Malam harinya kami makan malam dengan menu sesuat-seperti-soto-ayam. Enak banget! Kami berempat, aku, Laura, Natasha dan Diep (local Cambodian) lanjut dengan karaoke. Kami bertiga menyayikan lagu Outcast dan Backstreet Boys, sedangkan teman Cambodia kami menyayikan Beyonce’s Halo tapi versi Cambodia yang membuat kami bertiga melongo saking terkejutnya.


Malam hari Siem Reap hujan deras, jadi kami bertiga (Diep ada urusan lain) mampir ke tempat pancake. Tahu nggak sih kalau di Siem Reap kita juga bisa mendapatkan herb alias g*nja dengan mudah? I mean, tidak secara terbuka tapi tetap mudah. You know what I mean, right? Kami bertiga akhirnya mencobanya ditambah pesan pancake yang ada campuran daun laknat itu. Efeknya kami seperti bahagia, senyum-senyum nggak jelas. Namun, kami segera melanjutkan tour malam itu.

Setelah nongkrong di café tadi, kami lanjut ke Pub Street. Kawasan ini adalah jalan di mana kanan-kirinya banyak sekali pub. Kami memesan satu bucket bir di “Angkor Wat?” bar dan hampir mati bosan di sana sampai akhirnya aku dan Laura naik meja dan semua menjadi heboh. Mungkin karena efek "daun singkong hibrida" yang kami makan tadi.

Sesaat setelah itu, kami bertiga diajak segerombolan pengunjung ke Temple bar, tepat di depan bar kami sebelumnya.

“Where are you from?” pria bermuka Timur Tengah bertanya padaku.

“Indonesia. Where are you from? Lebanon?”

“USA,” sambil menempelkan badannya yang tanpa baju ke araku, karena suara music yang sangat keras. Aku bisa melihat tattoo tulisan Arab di dadanya.

Hampir tengah malam kami memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami bertemu tiga traveller remaja dari Amerika yang menanyakan di mana Pub Street karena mereka penasaran. Alhasil,

“We’re baaaack!!!”  kami kembali ke Temple dan gila-gilaan lagi sampai pukul tiga dini hari.

Sebenarnya aku diundang oleh pemilik salah satu bar yang ada di Pub Street (orang Perancis)untuk main ke barnya. Hanya saja karena sudah hampir subuh, jadi pulang dalah pilihan yang tepat.

Hari kedua kami kedatangan traveller dari Amerika (banyak sekali orang Amerika di sini). Namanya Steven. Menurutku, dia orangnya menarik. Dia sudah delapan bulan traveling dan berencana menghabiskan waktu satu bulan di Cambodia (dan membuat Laura seperti “What??!!!” mendengar empat kata terakhir).

Kami bertukar ide. Dia belajar theology dan philolophy, mencoba mengimbangi obrolan filsafat dan politik yang aku pernah pelajari. Untungnya kami langsung nyambung dan nggak bisa berhenti ngobrol. 

Mungkin beberapa orang harus menempuh perjalanan panjang untuk meraih kebahagiaan sejati dalam hidup. Contohnya Steven, dia besar di Atlanta di mana—seperti daerah Selatan pada umumnya—nilai Kristiani sangat dijunjung tinggi. Konservatif. Tapi akhirnya dia memilih melanglangbuana, belajar dari pengalamannya selama traveling. Dia juga bercerita bagaimana dia sangat senang berada di Thailand dan memberitahu kami  semua  hal tentang Chiang Mai dan sekitarnya. Laura antusias sekali karena dia akan pergi ke Chiang Mai setelah dari Siem Reap.

“Where you can smoke p*t like a lot,” aku berkelakar.

“Ya, kamu pasti juga pengen kan? Lupakan Bangkok, ikut gue ke sana.” kita bertiga tertawa.


Kompong Phluk, Cambodia, desa air
Kompong Phluk atau Floating Village di Kamboja


Sore harinya aku, Laura, Diep dan Wang (Singapore) pergi ke Floating Village atau Kompong Phluk dalam bahasa lokal (Natasha berangkat ke Laos pagi-pagi sekali, Steven tidak jadi ikut karena menurutnya harga tour mahal sekali). Kami harus merogoh kocek USD25.00 untuk biaya tour saja, belum lagi USD10.00 untuk Tuk-Tuk. Bahkan Wang terkejut dengan harga di sini.

“Kenapa harus pakai US?” tanyanya.

Aku cuma bisa angkat bahu. Semoga dia betah di sini karena masih ada Pnom Pehn yang harus ia singgahi setelah Siem Reap.

Jadi Floating Village berada di sepanjang Sungai Siem Reap yang berujung ke Danau Siem Reap, sebelum berlanjut ke Vietnam dan bermuara di sana. Di desa ini kami bisa mengetahui kehidupan asli orang Cambodia. Bagaimana mereka tinggal di rumah panggung setinggi 5-10 meter dari permukaan air dan melakukan akitivas sehari-hari di sana. Rumah panggung tersebut sengaja dibuat tinggi karena pada musim hujan sungai bisa meluap sampai 5 meter. 

Saat berkeliling desa, kami membawa buku tulis yang kami beli sebelumnya untuk anak-anak di sana. Kami melihat volunteer local mengajar anak-anak kecil di sana. And you know what, anak-anak kecil itu (mungkin kalau di Indonesia kelas 2 SD) sangat fasih bahasa Inggris.


“Hi. What’s your name?” anak perempuan bertanya padaku

“Hi. I’m Rangga.”

“Where are you from?”

“I’m coming from Indonesia.” Aku terkejut dengan fasihnya anak ini ngomong.

“How many brothers and sisters do you have?”

“How many persons of your family in your house?”

“How old are you?”

“How long are you staying in Cambodia?”

Sepertinya anak kecil ini berbakat jadi wartawan CNN.

Dalam perjalanan pulang Diep bercerita tentang negaranya, mulai dari isu politik, ekonomi, hubungan dengan negara-negara tetangga sampai bagaimana orang Cambodia sangat membenci orang Vietnam (mungkin karena factor historis).

“Orang Vietnam itu penjajah. Mereka tidak berani mengusik Thailand karena kuat, beda dengan kami dan Laos. Di sini semua korupsi dan di kendalikan oleh mereka (Vietnam).”

“I see. In my country, Vietnam is like ‘little brother’.” Wang, warga negara China yang bekerja di Singapore sangat terkejut mendengar fakta yang barusan dikemukakan Diep.

“Gimana dengan Laos?” aku lanjut bertanya.

“Laos? Oh, come on. Mereka sangat pemalas. Sudah pasti mereka di bawah mereka.” Aku dan Laura saling menatap dengan ekspresi “Wew”.

Malam kedua kami di Siem Reap berakhir dengan hujan (yeah….menyebalkan). Kami tidak ke Pub Street lagi karena Cuma tinggal kami berdua (Wang tidak mau, dan Natasha sudah di antahberantah), di samping kami harus berangkat ke Bangkok pada jam 2 dini hari. Overall, negara kecil ini sangat berkesan.

Pricing to note:

  • Tiket bus Saigon – Siem Reap: USD23.00
  • Tiket Angkor Wat: USD20.00
  • Tuk-tuk untuk tour Angkor Wat: USD10.00 (ini karena dua orang, kalau satu orang bisa 20-30 US dollar)
  • Tour Floating Village: USD25.00
  • Tuk-Tuk untuk Floating Village Tour: USD10.00 (ini karena patungan, kalau cuma sendirian saja bisa jauh lebih mahal)
  • Makan: USD2.00-7.00
  • Beer per bucket: USD10.00-20.00
  • Angkor Beer harganya rata-rata USD1.00-2.00
  • Herbs: tergantung. Hehe.
Tips: Lebih baik bawa cash USD daripada ngambil di mesin ATM, karena biaya setiap penarikan USD5.00!




Share:

0 Post a Comment:

Posting Komentar