Pernah kepikiran nggak sih untuk “puasa” atau tanpa social media?
To be honest penasaran bagaimana, so I’m considering to stop using social media / information sources untuk satu atau dua minggu. Aku akan stop penggunaan social media yang selama ini aku gunakan, yakni:
- Twitter
- Instagram
- Facebook (meskipun aku bahkan sudah nggak tahu lagi cara menggunakannya)
- Google news
- Muatan berita di televisi (meskipun terkadang ini tidak bisa dihindarkan. I mean, we’re watching TV sometimes dan running text berita dengan polosnya ada di baris bawah).
- YouTube
- Online shop / e-commerce
- Tentunya, akun-akun alter juga termasuk
Ada juga pengecualian seperti:
- Whatsapp, karena biarpun aku nggak akan update status dan cek story, I’ll be using this apps. Ini seperti versi advance dari fitur SMS. So ya, I’ll be using this apps.
- Email. In case ada email penting tentang pekerjaan, misalnya. Meskipun bahkan akun email “penting” isinya sebagian besar adalah subscription dan bulk dan spam yang pastinya akan automatically skipped by my eyes.
- Blog. I’ll be using my blog to update about what’s going on when I’m not using social media for a while.
Jadi aku tidak akan menggunakan aplikasi di atas mulai tanggal 22 April 2021 sampai dengan 28 April 2021. Kalaupun nanti aku di tanggal 28 April ingin melanjutkan lagi untuk seminggu ke depan, aku tinggal menjalankan apa yang sudah berjalan satu minggu sebelumnya, which is pretty much under control, I expect.
Ada yang harus aku “clear”-kan agar teman-teman (di dunia maya) tidak mengira aku hilang atau gimana.
- Malam sebelumnya aku mengumumkan melalui akun Instagram (story dan feed) dan Twitter bahwa dari 22-28 April 2021 I’ll be stopping using social media, dan ada kemungkinan untuk ditambah tujuh hari lagi.
- Selanjutnya aku keluar dari akun-akun social media yang selama ini aku gunakan. I logged out of my Twitter and Instagram accounts. Untuk Twitter aku “force stop” aplikasi karena, entah kenapa, biasanya setelah log out selalu saja auto log-in dan notifikasi langsung membanjiri layar. Aku buang widget news karena it’s pretty much distracting. So, everything is clear. Alles klaar.
So let’s kick it off with…
DAY 1
22 April 2021
Biasanya saat baru bangun pasti sebagian besar orang akan merah ponselnya, cek jam berapa, notifikasi tentang apapun, hanya sekedar tahu atau memang ditunggu dan penting. Apapun itu. Sama, aku bangun pagi ini, tetap meraih ponselku dan cek pukul berapa. Namun, karena sudah bear in mind bahwa no social media, jadi aku tidak terlalu risau.
Biasanya aku bangun pagi dan sudah dibanjiri dengan informasi dan pesan-pesan, balasan, tentang isu yang sedang hangat. Hari ini aku tidak tahu apa-apa saja yang sedang trending, siapa yang melakukan apa, siapa yang melecehkan siapa, pejabat mana yang korupsi apa, buzzer mana yang menyerang siapa, buzzer mana yang membela siapa, meme tentang siapa, penambahan jumlah Covid-19 berapa, dan apa-apa lainnya.
Berita terakhir yang aku tahu adalah tenggelamnya kapal selam di perairan Bali. Semoga saja segera ditemukan, I hope so, amen. Selain itu, tidak ada. Aku melakukan rutinitas seperti biasa. Membaca buku. Membalas pesan Whatsapp dari teman. Olahraga. Nothing’s exceptional. Oh iya, aku mimpi bertemu Nicholas Saputra. Jadi, di mimpiku aku melihat sepeda Nicholas Saputra terparkir and I was like “oh, it’s his!” the I turned around and found him grab the bike dan lanjut gowes sambil dilihatin berpuluh pasang mata. He’s just having pit-pitan. That might be counted exceptional.
Menjelang siang, entah seperti sudah tertanam di alam bawah sadar ketika cek ponsel aku tidak sengaja menekan tombol Instagram. Luckily, it’s not signed in. Then I just went back out. Beberapa lama kemudian aku tidak sengaja menekan Twitter dan hampir saja aku melihat Home. Ini benar-benar refleks saja karena sudah menjadi rutinitas. Akhirnya, aku uninstall Twitter.
Aku masih meraba-raba seberapa substansial kah penggunaan social media secara pribadi. Mungkin terlalu dini dan naif kalau menyimpulkannya sekarang karena ini baru saja satu hari. Tapi dari semua hal yang sudah aku coba uraikan, sebenarnya adalah bagaimana sebenarnya kemudahan menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Yup. Itu yang terlintas di pikiranku. Begini penjelasannya.
Aku pernah “tinggal” di Pulau Aiduma di Kaimana, Papua Barat. Pulau itu berjarak setidaknya dua jam perjalanan boat 2x40 PK dari pusat kota Kaimana. Tidak ada sinyal telepon di sana. Hanya tersedia telepon dan WiFi satelit dan itu sangat mahal. Jadi untuk penggunaan WiFi pun seringkali dibatasi karena harus berbagi juga dengan tamu.
Dengan keterbatasan yang ada, setiap orang harus mulai memprioritaskan apa-apa saja yang essensial, dan apa-apa saja yang bisa di-skip seperti “ini bisa nanti”. Bahkan dalam hal komunikasi, seperti urusan suplai makanan selama seminggu dan permintaan khusus tamu dan bahan bakar. It’s a factor of condition.
Di tempat-tempat lain di mana koneksi jaringan internet cepat dan semua berjalan lebih cepat, seseorang akan perlahan beradaptasi, atau malah diharuskan untuk beradaptasi. Tujuannya adalah agar lebih mudah nantinya mengikuti perkembangan dan dalam hal penggunaan demi kemudahan.
The thing is aku kadang bingung atau mungkin sudah larut dengan apa-apa saja yang baik untuk diikuti. Tapi ternyata ada dua hal yang berbeda:
- Perkembangan, transformasi dan adaptasi. Perkembangan teknologi dan bagaimana ia mengubah aspek-aspek kehidupan adalah niscaya dan kemampuan manusai untuk beradaptasi adalah penting. And that’s what we “have to” do.
- Produk dari perkembangan itu sendiri. We’re talking about products so ya ini termasuk social media, informasi terkini, media informasi, dan mungkin ada yang bisa menyebutkan lebih banyak lagi?
Kemampuan beradaptasi adalah penting karena demi keberlangsungan dan manfaat dan kemudahan yang akan didapat. Tidak ada salahnya mencoba hal-hal baru, mengetahui bagaimana ia bekerja, atau kalau perlu mendalaminya. Apalagi sekarang hal-hal baru sangat mudah dicoba dan digunakan, karena pada dasarnya kita sudah mengenalnya. Seperti maraknya social media yang baru dan orang dengan mudah menggunakannya. Seperti log-in dengan email dan voila sudah jadi. We know the first step of how to use it, then it’ll go along with passion.
Nah, dengan semakin mudahnya dan banyaknya pilihan, kita kadang berada di grey area di mana itu seakan menjadi prioritas dan entitled to our existence. Ini yang perlu disortir. Ada dorongan untuk selalu mendapatkan informasi terkini atau apapun terkini, dan ada dorongan untuk sekedar ‘ada” di situ. So, like, your existence is defined by them. The products. You may think it’s partially true but what you start neglecting is that it’s not. Karena apa-apa yang ada di social media atau virtual world, or simply we can call it online identity is not 100% true about you. Mungkin saja orang posting karena tuntutan atau hobi. Musik, fotografi, masak, seni, DIY. But, it’s not defining you. It’s not defining me. Hanya karena stop di media social, so I start vanished. No.
Ini penting for me, personally karena kalau tidak disortir, maka bisa saja aku “kecanduan” tanpa sadar apa sebenarnya itu. Moreover it’s virtual. Mungkin beda konteks ketika penggunaan untuk bisnis dan komersial, yang bahkan hal itu juga semakin jauh dari “definisi diri”. Because your product is not you, somehow. Atau tentang isu-isu penting, yang hanya karena kita tidak membicarakannya bukan berarti kita ignorant. Dan hanya karena membicarakannya bukan berarti kita terlihat alpha secara pemikiran. Lebih parah kalau kita malah jadi arogan. It’s a topic, so chill.
Dari kemudahan-kemudahan itu, timbul “kebutuhan-kebutuhan”, dan untuk menyortir mana-mana saja yang penting, berhenti menggunakan social media adalah salah satu cara yang aku ambil. Berbeda dengan di Papua Barat dengan keterbatasan jaringan dan koneksi, di sini koneksi cepat dan orang membicatakan satu hal ke hal lainnya dalam hitungan detik.
Mungkin ada yang bertanya “Jadi kamu membatasi, menyulitkan atau menyiksa diri gitu?”
Mungkin. Tapi dari keadaan terbatas ini hopefully I know what defines me and what becomes my priority. Life is not floating in the unlimited virtual arena. And I don’t wanna be drowning deep or flying high in it. It’s just not the real world.