Putra Mosque, taken from across the Putra Square, Putrajaya, Malaysia |
Aku sebenarnya masih ngantuk banget ketika harus bangun jam 5 pagi. Aku sempat terbangun ketika kulihat Philippe tiba-tiba ada di kamar. Rupanya dia menutup pintu di balkoni kamar karena hujan semakin deras. Lucu sekali. I mean, seperti melihat foto siluet model celana dalam Dolce & Gabbana ketika dia terkena cahaya lampu dari luar saat menutup sliding door dan tirai. Cuma kali ini modelnya benar-benar telanjang.
“Mau tidur basah kuyup?” tapi anginnya malam itu memang gila banget.
“Terserah deh. Thank you” jawabku sekenanya, berterima kasih. Aku kan ngantuk banget. Ada sesuatu hangat berbulu di kakiku. Ternyata Max. I love this cat so much.
Jam lima kurang beberapa menit aku terbangun karena Philippe masuk kamar sambil “Wake up! Wake up!” layaknya sipir. Pesawat pagi keparat.
Aku mulai terbiasa bangun dan disambut dengan pemandangan jaman purba di mana manusia belum mengenal pakaian. Aku sempat kepikiran apa di sini pernah ada pesta seks. Maksudku, wajar kan kalau hal itu pernah terjadi. Orang-orang telanjang dan semua mupeng. Mengerti maksudku, kan?
Rupanya Henri juga sudah bangun. Dia tadi malam bilang padaku kalau minggu-minggu ini banyak sekali orang nikah jadi dia bakalan sangat sibuk. Maklum, dia berkerja di EO. Aku LANGSUNG mandi—literally, tanpa ada acara buka baju. Setelah berkemas, aku pun siap pamitan.
“Hey, hati-hati,” Philippe tiba-tiba nongol di balik pintu ketika baru saja aku menutupnya dan hendak menuju lift.
“I
know you miss me,” aku berkelakar. Dia ketawa mengiyakan. Jujur,
dia orangnya asik banget.
Sebenarnya pesawatku berangkat jam 8.25. Tapi karena Don Mueang (nama bandara) jauh, jadi harus berangkat pagi-pagi. Ditambah lagi, aku masih trauma karena pernah ketinggalan pesawat (nggak mau lagi!). Jarak kondo – Don Mueang… I dunno how far tapi seperti Medan – Kualanamu. Hanya saja mendekati bandara mulai macet. Padahal masih pagi-pagi banget. Menurutku orang-orang yang tinggal di kota besar adalah golongan orang-orang yang paling sabar dan paling tidak punya “me time” kecuali mereka memang betah di kendaraan selama berjam-jam.
Sesampai di bandara, hal pertama yang terlintas di benakku adalah aku mau balik lagi aja ke rumah telanjang. Ini seperti di NAIA ketika mau ke Cebu, penuh sesak. Sampai-sampai aku nggak yakin aku menghirup udara bersih atau udara buangan nafas orang lain saking padatnya ini gedung dengan manusia.
Pesawat berangkat tepat waktu dan tiba di Kuala Lumpur jam 12 siang. Aku senang sekali ketika tiba di Kuala Lumpur karena untuk pertama kalinya aku akan menjelajahi downtown kota ini (setelah sekian kali hanya numpang lewat atau sekedar transit). Yey!
Aku langsung beli tiket KL Transit menuju Putrajaya. Hanya RM6.20! David yang menyarankanku untuk jalan-jalan ke Putrajaya sebelum ke pusat kota pada malam harinya. Setiba di stasiun Putrajaya, aku naik bus yang tiketnya seharga SETENGAH Ringgit saja, hal yang mustahil ditemukan di jagad raya Indonesia untuk moda transportasi public yang nyaman dan aman. Bahkan sampah baja reot yang bernama JoNo (Jodoh-Nongsa, angkutan umum di Batam) saja paling tidak kita harus bayar 5000 rupiah hanya untuk menghirup gas beracun pembungan yang keluar dari bawah tempat duduk penumpang. I mean, really!
Ketika di bus, dua orang imigran mengajakku ngobrol.
“Where
are you going?” cowok Bengal brewok-tipis dengan beanie hat abu-abunya memulai obrolan.
“Going
around here. I have no idea actually where to go. But I heard this township is quite
new and a must-visit.” Itu saran David sebulan yang
lalu sih sebenarnya.
“Di sini cuma ada gedung-gedung sih, dan IOI. Kalau pengen lihat landmarknya Putrajaya ya di sekitar sini. Itu kita bisa lihat sekarang.” Ya aku bisa lihat bangunan seperti White House mentereng di kejauhan sana.
“Okay,
so that’s Malaysia’s White House, right?” Aku
menebak-nebak.
“Ya.”jawab si beanie hat. “Where are you from?” lanjutnya bertanya.
“Indonesia.”
“Is
it true that the company burning the land is from other countries?” jawab si brewok satunya. Cuma dia lebih brewok. Jenggotnya seperti
Santa Clause.
“Ya.
Some are from Malaysia and Singapore.” Jawabku
blak-blakan. Cowok Melayu sebelahku langsung curi-curi pandang ke kami bertiga.
Sepertinya dia nggak terima, aku sih nggak peduli.
“Where
are you guys, anyway?” Nggak ada yang bisa
dibanggakan dengan asap merajalela lintas negara, apalagi asap itu berasal dari
negara kita sendiri. Aku langsung mengalihkan pembicaraan.
“I’m from Iraq,” jawab si beanie hat. Mendengar kata Iraq aku cuma bisa pasang ekspresi “Oh…” senetral mungkin tapi sial karena ekpresiku lebih seperti “Oh, negara konflik itu? Nggak heran sih kamu pindah ke sini,” dan kami bertiga menyadari hal itu. SO AWKWARD!
Tapi dia lumayan ok loh. I mean, tidak seperti yang di berita-berita CNN atau Aljazeera tentang orang Iraq dengan wajah penuh beban dan ratapan hidup akibat perang. Dia menarik dan terlihat parlente.
“I’m
from Bangalore,” si Santa Clause langsung
menyambung, memecahkan suasana canggung.
“I
heard about the city. It’s nice there, isn’t it?”
basa-basiku.
“Ya.
But I like here.” Ya lah di sini lebih enak. Di
India kan sudah terlalu penuh dengan manusia.
“So,
where have you been?” sambungnya.
“I’ve been around let say the region for these recent days. Vietnam, Cambodia, Bangkok.”
“Oh…So,
anything interesting there?” si beanie hat bertanya.
“Yeah,
you can smoke p*t in Siem Reap.” Jawabku.
“Yeah,”jawab keduanya reflek, mengungkapkan jati diri mereka yang bejat.
Kami bertiga ngobrol tentang tempat-tempat mana saja yang ingin kami kunjungi. Mereka ribut karena si beanie hat nggak pernah nonton film “3 Idiot” dan si Santa Clause seperti “Hey, masa nggak pernah nonton? It’s Bollywood!” Mungkin itu parameter gaul ketika kamu hidup di Asia Selatan. Film Bollywood. Dan wajar lah si beanie hat nggak sempat nonton—setidaknya ketika dia di IRAQ!—mengingat negaranya saja sibuk bunuh-bunuhan. Sampai mereka akhirnya menyanyikan lagu Jason Mraz sambil si Santa Clause mengoreksi lyric yang dinyanyikan beanie hat. Menarik sekali persahabatan mereka, sangat akrab seperti kaka beradik.
“So,
do you speak Malay?” aku bertanya pada mereka
berdua. Si beanie hat sudah dua
setengah tahun di Malaysia, sedangkan Santa Clause hampir empat tahun.
“No.
And we have no reason why we should learn Malay.”
Jawab Santa Clause. Mereka berpikir nggak ada untungnya belajar Malay bahkan dalam
waktu 2-3 tahun ke depan.
“Ya.
I see,” aku mengiyakan. “Luckily they speak English.” Sambungku.
Mereka berdua setuju. Pembicaraan berakhir ketika aku harus berhenti di bundaran dekat masjid besar.
“Nice to meet you,” aku berjalan menuju pintu bus.
“Have fun,” si beanie hat mengacungkan kedua jempolnya sambil tesenyum. Kubilang juga apa? Dia menarik.
Aku menghabiskan waktu di seputar Putra Square. Kalau di Indonesia itu alun-alun. Di sekelilingnya ada Perdana Putra, Gedung Putihnya Malaysia tempat perdana menteri bekerja, Masjid Putra dan semacam-shopping-mall-tapi-sepi-banget. Mungkin karena ini pusat pemerintahan dan semuanya pasti bekerja di kantor jadi sangat sedikit orang di luar.
Selain itu, kita juga bisa melihat Istana Darul Ehsan yang sekilas seperti istana penginggalan Inggris yang berada di pinggir danau dan Seri Wawasan Bridge yang sangat dramatis itu. Tapi cuaca hari itu hujan deras—Serius, semua tempat yang aku kunjungi selalu hujan—dan kabut asap yang sangat tebal jadi aku cuma bisa menikmatinya dari foodcourt di pinggir danau. Sempat ada pasangan Chinese yang melakukan foto pre-wedding yang menghadap ke Istana Darul Ehsan di tengah udara pengap karena asap. Kok nggak sekalian aja mereka bergaun sambil pakai masker.
Selain dataran ini, ada juga IOI City tak jauh dari Putra Square. Aku pergi ke sana dan ternyata sebuah mall dan aku langsung muak. Maksudku, aku nggak mau jauh-jauh beli tiket pesawat dan hanya berakhir di sebuah pusat perbelanjaan, karena menurutku semua mall sama saja. Itu-itu aja!
Menurutku Putrajaya adalah salah satu dari sedikit bukti keberhasilan Malaysia sebagai sebuah negara. Kapan ya Indonesia bisa bangun ibukota baru seperti ini? Aku kembali ke Putra Sentral pada jam lima sore untuk selanjutnya ke Kuala Lumpur.
“I’m
on the way to BTS. Around 7 I’ll be there as I have to change LRT.” Aku Whatsapp David. Dia
berjanji akan menjemputku di stasiun LRT terdekat.
“Okay.
I’ll be there. See you.” Aku membayar tiket kereta
sebesar lima ringgit tigapuluh sen. Dan, Omigod,
barusan aku Whatsapp siapa? I mean, ya di kereta ini ada WiFi. As a solo traveler, I love Malaysia in this
case.
tiket kereta api dari Putra Jaya ke Kuala Lumpur |