Solotrip 5 Negara Asean (Part 7: Keliling Putrajaya, Malaysia)

masjid putra, putrajaya
Putra Mosque, taken from across the Putra Square, Putrajaya, Malaysia

Aku sebenarnya masih ngantuk banget ketika harus bangun jam 5 pagi. Aku sempat terbangun ketika kulihat Philippe tiba-tiba ada di kamar. Rupanya dia menutup pintu di balkoni kamar karena hujan semakin deras. Lucu sekali. I mean, seperti melihat foto siluet model celana dalam Dolce & Gabbana ketika dia terkena cahaya lampu dari luar saat menutup sliding door dan tirai. Cuma kali ini modelnya benar-benar telanjang.


“Mau tidur basah kuyup?” tapi anginnya malam itu memang gila banget.


“Terserah deh. Thank you” jawabku sekenanya, berterima kasih. Aku kan ngantuk banget. Ada sesuatu hangat berbulu di kakiku. Ternyata Max. I love this cat so much.


Jam lima kurang beberapa menit aku terbangun karena Philippe masuk kamar sambil “Wake up! Wake up!” layaknya sipir. Pesawat pagi keparat.


Aku mulai terbiasa bangun dan disambut dengan pemandangan jaman purba di mana manusia belum mengenal pakaian. Aku sempat kepikiran apa di sini pernah ada pesta seks. Maksudku, wajar kan kalau hal itu pernah terjadi. Orang-orang telanjang dan semua mupeng. Mengerti maksudku, kan?


Rupanya Henri juga sudah bangun. Dia tadi malam bilang padaku kalau minggu-minggu ini banyak sekali orang nikah jadi dia bakalan sangat sibuk. Maklum, dia berkerja di EO. Aku LANGSUNG mandi—literally, tanpa ada acara buka baju. Setelah berkemas, aku pun siap pamitan.


“Hey, hati-hati,” Philippe tiba-tiba nongol di balik pintu ketika baru saja aku menutupnya dan hendak menuju lift.


“I know you miss me,” aku berkelakar. Dia ketawa mengiyakan. Jujur, dia orangnya asik banget.


Sebenarnya pesawatku berangkat jam 8.25. Tapi karena Don Mueang (nama bandara) jauh, jadi harus berangkat pagi-pagi. Ditambah lagi, aku masih trauma karena pernah ketinggalan pesawat (nggak mau lagi!). Jarak kondo – Don Mueang… I dunno how far tapi seperti Medan – Kualanamu. Hanya saja mendekati bandara mulai macet. Padahal masih pagi-pagi banget. Menurutku orang-orang yang tinggal di kota besar adalah golongan orang-orang yang paling sabar dan paling tidak punya “me time” kecuali mereka memang betah di kendaraan selama berjam-jam.


Sesampai di bandara, hal pertama yang terlintas di benakku adalah aku mau balik lagi aja ke rumah telanjang. Ini seperti di NAIA ketika mau ke Cebu, penuh sesak. Sampai-sampai aku nggak yakin aku menghirup udara bersih atau udara buangan nafas orang lain saking padatnya ini gedung dengan manusia.


Pesawat berangkat tepat waktu dan tiba di Kuala Lumpur jam 12 siang. Aku senang sekali ketika tiba di Kuala Lumpur karena untuk pertama kalinya aku akan menjelajahi downtown kota ini (setelah sekian kali hanya numpang lewat atau sekedar transit). Yey!


Aku langsung beli tiket KL Transit menuju Putrajaya. Hanya RM6.20! David yang menyarankanku untuk jalan-jalan ke Putrajaya sebelum ke pusat kota pada malam harinya. Setiba di stasiun Putrajaya, aku naik bus yang tiketnya seharga SETENGAH Ringgit saja, hal yang mustahil ditemukan di jagad raya Indonesia untuk moda transportasi public yang nyaman dan aman. Bahkan sampah baja reot yang bernama JoNo (Jodoh-Nongsa, angkutan umum di Batam) saja paling tidak kita harus bayar 5000 rupiah hanya untuk menghirup gas beracun pembungan yang keluar dari bawah tempat duduk penumpang. I mean, really!


Ketika di bus, dua orang imigran mengajakku ngobrol.


“Where are you going?” cowok Bengal brewok-tipis dengan beanie hat abu-abunya memulai obrolan.


“Going around here. I have no idea actually where to go. But I heard this township is quite new and a must-visit.” Itu saran David sebulan yang lalu sih sebenarnya.


“Di sini cuma ada gedung-gedung sih, dan IOI. Kalau pengen lihat landmarknya Putrajaya ya di sekitar sini. Itu kita bisa lihat sekarang.” Ya aku bisa lihat bangunan seperti White House mentereng di kejauhan sana.


“Okay, so that’s Malaysia’s White House, right?” Aku menebak-nebak.


“Ya.”jawab si beanie hat. “Where are you from?” lanjutnya bertanya.


“Indonesia.”


“Is it true that the company burning the land is from other countries?” jawab si brewok satunya. Cuma dia lebih brewok. Jenggotnya seperti Santa Clause.


“Ya. Some are from Malaysia and Singapore.” Jawabku blak-blakan. Cowok Melayu sebelahku langsung curi-curi pandang ke kami bertiga. Sepertinya dia nggak terima, aku sih nggak peduli.


“Where are you guys, anyway?” Nggak ada yang bisa dibanggakan dengan asap merajalela lintas negara, apalagi asap itu berasal dari negara kita sendiri. Aku langsung mengalihkan pembicaraan.


“I’m from Iraq,” jawab si beanie hat. Mendengar kata Iraq aku cuma bisa pasang ekspresi “Oh…” senetral mungkin tapi sial karena ekpresiku lebih seperti “Oh, negara konflik itu? Nggak heran sih kamu pindah ke sini,” dan kami bertiga menyadari hal itu. SO AWKWARD! 


Tapi dia lumayan ok loh. I mean, tidak seperti yang di berita-berita CNN atau Aljazeera tentang orang Iraq dengan wajah penuh  beban dan ratapan hidup akibat perang. Dia menarik dan terlihat parlente.


“I’m from Bangalore,” si Santa Clause langsung menyambung, memecahkan suasana canggung.


“I heard about the city. It’s nice there, isn’t it?” basa-basiku.


“Ya. But I like here.” Ya lah di sini lebih enak. Di India kan sudah terlalu penuh dengan manusia.


“So, where have you been?” sambungnya.


“I’ve been around let say the region for these recent days. Vietnam, Cambodia, Bangkok.”


“Oh…So, anything interesting there?” si beanie hat bertanya.


“Yeah, you can smoke p*t in Siem Reap.” Jawabku.


“Yeah,”jawab keduanya reflek, mengungkapkan jati diri mereka yang bejat.


Kami bertiga ngobrol tentang tempat-tempat mana saja yang ingin kami kunjungi. Mereka ribut karena si beanie hat nggak pernah nonton film “3 Idiot” dan si Santa Clause seperti “Hey, masa nggak pernah nonton? It’s Bollywood!” Mungkin itu parameter gaul ketika kamu hidup di Asia Selatan. Film Bollywood. Dan wajar lah si beanie hat nggak sempat nonton—setidaknya ketika dia di IRAQ!—mengingat negaranya saja sibuk bunuh-bunuhan. Sampai mereka akhirnya menyanyikan lagu Jason Mraz sambil si Santa Clause mengoreksi lyric yang dinyanyikan beanie hat. Menarik sekali persahabatan mereka, sangat akrab seperti kaka beradik.


“So, do you speak Malay?” aku bertanya pada mereka berdua. Si beanie hat sudah dua setengah tahun di Malaysia, sedangkan Santa Clause hampir empat tahun.


“No. And we have no reason why we should learn Malay.” Jawab Santa Clause. Mereka berpikir nggak ada untungnya belajar Malay bahkan dalam waktu 2-3 tahun ke depan.


“Ya. I see,” aku mengiyakan. “Luckily they speak English.” Sambungku.


Mereka berdua setuju. Pembicaraan berakhir ketika aku harus berhenti di bundaran dekat masjid besar.


“Nice to meet you,”  aku berjalan menuju pintu bus.


“Have fun,” si beanie hat mengacungkan kedua jempolnya sambil tesenyum. Kubilang juga apa? Dia menarik.


Aku menghabiskan waktu di seputar Putra Square. Kalau di Indonesia itu alun-alun. Di sekelilingnya ada Perdana Putra, Gedung Putihnya Malaysia tempat perdana menteri bekerja, Masjid Putra dan semacam-shopping-mall-tapi-sepi-banget. Mungkin karena ini pusat pemerintahan dan semuanya pasti bekerja di kantor jadi sangat sedikit orang di luar.


Selain itu, kita juga bisa melihat Istana Darul Ehsan yang sekilas seperti istana penginggalan Inggris yang berada di pinggir danau dan Seri Wawasan Bridge yang sangat dramatis itu. Tapi cuaca hari itu hujan deras—Serius, semua tempat yang aku kunjungi selalu hujan—dan kabut asap yang sangat tebal jadi aku cuma bisa menikmatinya dari foodcourt di pinggir danau.  Sempat ada pasangan Chinese yang melakukan foto pre-wedding yang menghadap ke Istana Darul Ehsan di tengah udara pengap karena asap. Kok nggak sekalian aja mereka bergaun sambil pakai masker.


Selain dataran ini, ada juga IOI City tak jauh dari Putra Square. Aku pergi ke sana dan ternyata sebuah mall dan aku langsung muak. Maksudku, aku nggak mau jauh-jauh beli tiket pesawat dan hanya berakhir di sebuah pusat perbelanjaan, karena menurutku semua mall sama saja. Itu-itu aja!


Menurutku Putrajaya adalah salah satu dari sedikit bukti keberhasilan Malaysia sebagai sebuah negara. Kapan ya Indonesia bisa bangun ibukota baru seperti ini? Aku kembali ke Putra Sentral pada jam lima sore untuk selanjutnya ke Kuala Lumpur.


“I’m on the way to BTS. Around 7 I’ll be there as I have to change LRT.” Aku Whatsapp David. Dia berjanji akan menjemputku di stasiun LRT terdekat.



“Okay. I’ll be there. See you.” Aku membayar tiket kereta sebesar lima ringgit tigapuluh sen. Dan, Omigod, barusan aku Whatsapp siapa? I mean, ya di kereta ini ada WiFi. As a solo traveler, I love Malaysia in this case.


tiket, LRT, KL transit
tiket kereta api dari Putra Jaya ke Kuala Lumpur


Pricing and Tips:

Taxi fee to Don Mueang Airport Bangkok: 200-300 Bath. Better go to the airport several hours before as there will be so much traffic jam even at 6 in the morning!

Flight ticket Airsia Bangkok DMK - Kuala Lumpur KLIA2: MYR177.00. Better buy the ticket 2 months before departure or during promotion. They offer a really good price!

KLIA Transit ticket KLIA2-Putra Sentral Putrajaya: MYR6.20

Bus from Putra Central: MYR0.50-MYR3.00. It was so cheap that you don't need to worry.

KLIA Transit ticket Putra Sentral - Bandar Tasik Selatan: MYR5.30. You can go to KL Sentral which is the centre of train route in Kuala Lumpur. You can change to LRT or monorail to explore the city of Kuala Lumpur from this station. 


Share:

Solotrip 5 Negara Asean (Part 6: Kaum Naturist Di Bangkok)


Aku dan Laura harus bangun jam SATU DINI HARI karena bus ke Bangkok berangkat jam 2 dan kami harus bersiap-siap. Aku ngantuk BANGET karena malamnya aku baru bisa tertidur hampir tengah malam (ada yang mencoba jalan seperti Hobbit tapi tidak berhasil, dan setelah aku keluar kamar, ternyata Steven). 

Dia rupanya baru dari Pub Street bareng Emmauelle, traveller dari Italia yang penampilannya seperti orang yang nggak pernah mengenal pisau cukur seumur hidupnya (Laura seringkali ngawur sebut namanya dengan Alfonso, Fernando dan nama-nama Hispanik lainnya).

Tepat jam dua pagi, bus sampai di depan tempat stay. Kami harus membayar USD15.00 dari Siem Reap – Bangkok (Laura benar-benar shocked karena sebelumnya dia lihat harganya cuma USD10.00). Pak supir meminta kami menunjukkan tiket bus, dan mempersilahkan kami berdua masuk. Sudah ada beberapa penumpang ternyata, dan ada 3 orang cakap Melayu. Perjalanan Siem Reap – Bangkok memakan waktu delapan jam.

Kami sempat berhenti sekitar 10 menit karena harus menjemput penumpang lainnya. Pak supir meminta kami menunjukkan tiket lagi.

“My God, what’s wrong with these people? They asked us the ticket like every 5 minutes.Like, really!”Akhirnya omelanku keluar juga seperti lolongan serigala di pagi buta.

Tapi jangan salah ya, di Cambodia emang….what to say….sangat manual dan merepotkan mereka sendiri. Bayangkan saja, kami sudah bayar USD20.00 untuk Angkor Wat dan harus menunjukkan tiket setiap kami kami masuk candi (parahnya, punya Laura sudah seperti kertas daur ulang). Okay lah wajar, tapi bahkan mereka periksa NOMOR TIKET, padahal harusnya mereka cek tanggal valid berkunjung (itu lebih penting dan lebih masuk akal). What’s the point? I mean, scanner juga nggak ada. Hey!

“And it’s not even a bus, it’s a minivan.” Laura langsung nyambung omelanku sambil nyerahin tiket ke pak supir.

Traveller Perancis langsung ketawa di belakang kami. Aku dan Laura saling pandang seperti  “Okay, orang ini habis "make". And it’s working.” Kami berdua menahan tawa. Dan ternyata benar, bule sèdhèng ini sering banget ketawa-tawa sepanjang perjalanan.

Setelah sekitar 2 jam perjalanan, bus tiba-tiba berhenti. Ternyata kami sudah sampai di Poipet, daerah perbatasan Cambodia – Thailand dan bahkan ini belum jam 5. Dan ternyata perbatasan baru buka jam enam pagi.

Sumpah deh, semua orang nggak habis pikir. Kenapa nggak berangkat jam 3 saja? Macet juga nggak. I mean, di siang hari aja kendaraan juga jarang. Ya ampun, nggak tahu deh! Jadilah satu bus seperti pengungsi Syiria yang terlunta-lunta di perbatasan Eropa. Ada yang senam-senam kecil, ada yang lihat-lihat sekitar, dan aku memilih tetap di bus sambil ngobrol dengan 3 cowok Malaysia.

“Turun mane?” salah satu dari mereka bertanya padaku.

“Bangkok. You?” balasku

“Poipet. Terus ke Krabi.”

Mereka mau lihat-lihat Poipet sebelum ke Krabi. I have no idea apa yang mereka cari di Poipet kecuali mereka suka berjudi (ada casino loh tapi aku lupa namanya).

Pak supir meminta tiket kami dan menukarnya dengan sepotong sellotape warna merah yang harus ditempel di baju kami. Kami baru tahu ternyata itu untuk memudahkan mereka “mengidentifikasi para penumpang” setelah masuk wilayah Thailand. Kami diangkut pakai Tuk-tuk dari imigrasi menuju bus-stop terdekat (lebih tepatnya rumah makan) dan baru jam setengah delapan bus kami berangkat ke Bangkok.


Khosand road, bangkok
Khaosand Road, Bangkok, Thailand

Bus tiba di Khaosand Road, Bangkok pada jam setengah dua belas siang. Kami berdua berpisah di sini karena Laura mau pergi ke utara (Chiang Mai) dengan kereta api.


“Nice to meet you!” kami pun berpelukan.


“Have fun!”


“Take care!” sahutku.


Hal pertama yang aku lakukan setibaku di Khaosand Road adalah menukarkan dollar. Aku suka banget berada di Thailand karena negara ini asik BANGET, bebas, dan ada semacam ketenangan jiwa. Aku makan Big Mac karena lapar sekali dan McDonald’s adalah tempat di mana aku bisa mendapatkan koneksi internet.


Ada Line masuk, ternyata Philippe.

“Where are you?”                                                               

“Just arrived at Khaosand Road. I’m having Big Mac as I’m sooooooooooooo hungry.”

“Haha… I know. You know how to get here, right?”

“Yup!”

“See you!”

Setelah kenyang, aku lihat-lihat daerah ini. Ada mas-mas nyodorin kalajengking goreng (gede banget!), tapi karena aku sudah sangat capek aku cuma berlalu saja (next time kalau aku balik lagi ya!)  dan berhenti di tampat massage. Sebenarnya aku nggak begitu suka massage, bahkan ketika aku di Phuket pun, cuma Indra dan Rudi saja yang ngebet massage layaknya perjaka ke kantor penghulu karena kebelet kawin. Tapi aku bahkan coba massage di Vietnam, jadi…

“S#$%^&*((*&^%”  mbak-mbak ngobrol sama teman tukang massagenya dalam bahasa Thai sambil menarik kedua lengaku ke belakang. Di sebelah, dua cewek Jepang cekikikan karena nggak tahan geli. Sesi pijat-pijat selesai dalam waktu setengah jam. Massage di sini murah banget. Setengah jam Thai massage cuma 150 bath, kalau satu jam 250 bath. Dan enak banget!  

Aku terjebak macet dalam perjalanan Khaosand Road – National Stadium. I don’t like big cities. Hujan deras memperparah kemacetan. Sebelum aku mati bosan di taksi, aku memberikan dua lembar Rupiah pecahan 5,000 dan 10,000 dan VND1,000 ke pak supir karena di langit-langit dalam taksinya banyak banget koleksi  uang kertas dari para penumpang dari berbagai negara.

“You’re from Filipin?” tanyanya dengan logat Thailand-nya yang susah banget untuk ditiru.

“No. Indonesia.”

“Ha.” Jawabnya singkat sambil senyum. Pasti dia nggak tahu Indonesia.

Aku harus bayar taksi 200 bath lebih untuk perjalanan sejauh 4 km.

Dari National Stadium, aku naik skytrain ke Phra Khanong. Aku bilang ke Philippe sekitar jam 4 tiba di tempatnya, ternyata nggak sampai pukul 4 aku sudah berdiri di depan pintu kondonya.

“Hujan,” adalah kata pertama yang keluar dari mulutku ketika dia buka pintu.

“I see. Come,” ternyata dia nggak telanjang. Setidaknya belum.


“Emang tukang catnya belum balik?” Philippe tadi sempat bilang ada 2 orang lagi ngecat ruang TV, jadi dia nggak telanjang.


“Sudah balik, jam 2 tadi.” Dia menunjukkan kamarku dan kami langsung ngobrol—okay, lebih tepatnya dia yang bertanya BANYAK hal!

“Mau keluar sekarang?” tanya dia.

“Yeah…”

“Kamu mandi dulu atau aku yang mandi duluan?”

“Kamu aja deh mandi duluan.” Aku langsung ke balcony dan menikmati pemandangan sub-urban dari lantai 8. Masih gerimis.

“Handuknya ada di deket wastafel ya.” Rupanya dia sudah selesai mandi. Aku berbalik dan ternyata dia telanjang seperti balita.

“Okay,”

Sebenarnya kalau aku tiba di Bangkok sesuai jadwal, aku bakalan bertemu dengan cewek Prancis dalam keadaan telanjang juga. Sekarang cuma tinggal cowok-cowok saja, seperti kawanan prajurit Sparta di film “300.”

Kami berdua pergi naik scooter (helmnya lucu banget. Ada tanduknya.), tapi setelah 300 meter, kami memutuskan balik ke kondo karena gerimis.

Sepanjang malam Philippe ngeledekin karena kejadian gerimis tadi (“Yaelah, hujan gitu aja masa nggak jadi keluar?”). Sebenarnya aku fine-fine aja dengan kehujanan, bahkan kami nge-dance di jalanan Pub Street dengan banyak orang sambil setengah teler. Mungkin karena perjalanan yang melelahkan.

Oiya, aku lupa menceritakan seperti apa tempat aku stay di sini. Jadi, ini adalah rumah naturist, orang yang mempraktikkan naturism. Istilah itu sendiri atau bisa juga disebut nudism sebenarnya adalah gerakan yang mempraktikkan telanjang di kehidupan sehari-hari. Singkatnya, social nudism. Dan—panggil saja—Philippe adalah salah satu dari sekian juta orang di jagad ini yang lebih suka tidak pakai baju.

Dan kondo ini sendiri juga lumayan luas. Seperti kamar di hotel Northam Penang, tapi lebih luas kondo ini. Dan ada jacuzzinya juga di kamar mandi. Fasilitas gym dan kolam renang di lantai sembilan (kita nggak telanjang di area publik anyway karena yang lain masih seperti manusia kebanyakan) di mana kita bisa melihat pemandangan downtown of The Big Mango.

"There must be philosophical base for this,” aku bertanya padanya.

“Ya. Pas kita lahir pake apa? Baju?” jawabnya.

“Lagian, kita bisa lebih menyatu dengan alam. Dan, pikiran jadi gak ribet. We don’t need to worry on everything. Seperti yang paling sederhana,keluar dari kamar mandi kita ribet pake handuk. Ya, “pakai” handuk untuk mengeringkan badan, itu saja.”

“Okay,” aku mulai mencerna.

“Nature. Nggak ada yang ditutup-tutupi.” Lanjutnya. Aku mulai mengerti.

Malam pertama di Bangkok dihiasi dengan hujan. Menyebalkan sekali. Kami bertiga makan Tom Yam Goong di restoran local. Enak banget! Philippe suka banget makanya dia bawa aku ke sini. Dan Henri memakan hampir semua rempah yang ada di dalamnya. 

Karena aku nggak bisa diam, aku menggantungkan pecahan Rupiah 1,000 dan beberapa uang Vietnam pecahan 1,000 di pohon harapan yang ada di sudut restoran. Mereka berdua melihatku dengan tatapan “what?!” terutama Philippe dengan wajahnya yang seakan-akan bilang “Oh, come on!”

Asal tahu saja, Philippe orangnya nggak banyak omong sebenarnya, tapi dia suka banget komentar. Seperti:

“Why your phone is vibrating everytime you text?”/”It’s just vibrating, not making some noise anyway. Come on”

“Amongst any other thing, kenapa harus “Germinal” (novel yang kamu baca)? It was a dark story.”//Aku dapatnya buku itu, Philippe. Lagian aku juga baca Shakespeare. Naskah dramanya, bukan novel ya.”

Aku sih menjawab apa adanya.

Kalau Henry orangnya suka gym. Pada malam pertama dia mengajakku ke lantai sembilan untuk gym dan kami ngobrol banyak hal tentang pekerjaan dan pengalaman masing-masing. Selesai gym, kami kembali ke kondo. Ternyata Philippe sudah tidur. 

Aku dan Henri lanjut ngobrol di meja makan (meja di ruang TV ada di kamarku karena tadi habis dicat) dan dia memperlihatkan beberapa buku tentang“Healthy Food” dan diet sehat. Banyak sekali bukunya. Dia tahu tentang hampir setiap makanan yang ia santap. Saking tahunya, sampai dia kadang pilih-pilih.

Hari kedua aku jalan-jalan di Bangkok. Cuma seputaran MBK saja karena, disamping Bangkok hujan seharian (kenapa setiap tempat yang aku kunjungi selalu hujan?”), aku juga kehabisan uang dan hampir jadi gelandangan.

Karena Philippe berencana pindah ke Barcelona dalam beberapa bulan ke depan, dia mulai belajar lagi Bahasa Spanyol. Dia sempet terkejut karena aku bisa sedikit-sedikit bahasa Spanyol.

“Estudiando Espanol, Senor.” Sambil menangkap Max. Oiya, di sini ada dua kucing, Max dan Loulou. I love Max karena dia menggemaskan dan dia selalu naik ke tempat tidur. So adorable!

“You don’t have problem with the “R”?” tanyanya.



cat, max

“Like eRRRRRRe.” Aku melafalkan R dalam bahasa Spanyol sedikit hiperbolis. Sorry ya. Lidahku kan Indonesia, jadi nggak ada masalah ngucapin apapun, emang  orang Prancis yang bilang “R” kayak orang kena radang tenggorokan menahun.

“You’re so drama,” responnya singkat.

“I am. Merci.” aku mencoba melafakan kata terakhir. “Am I right?” tanyaku.

“Ya. That’s it!”


Kami berdua menonton “La Otra Familia”, film Spanyol yang salah satu pemainnya seperti Antonio Banderas. Sedangkan Henry sibuk dengan buku-buku makanan sehatnya. Aku sering menirukan dialog yang ada di film dan Philippe bilang “Ya” kalau aku benar dan mengulangi dialog itu kalau ada yang keliru pelafalannya, sambil dia mondar-mandir dapur-ruang TV dengan makanannya.

“Mau?” dia menawarkan makanan seperti dimsum padaku.

“Nggak. Kenapa kamu makan terus?” tanyaku balik.

“Kenapa tidak? Kenapa kamu makannya sedikit?” tanyanya balik.

Karena telanjang, mau nggak mau pandanganku tertuju pada barang pribadinya. Dan itu wajar. Maksudku, untuk itulah kita berpakaian. Dan alam bawah sadar kita kalo kita telanjang pasti langsung nutupin bagian itu kan? Karena jika tidak ditutupi, barang itu lah yang akan dilihat oleh orang lain karena alam bawah sadar mereka pasti mengarah ke situ. You know what I mean, right?

“Why there should be that kind of thing on “it”?” aku menanyakan kenapa ada (semacam) cincin dipasang di “situ”.

“I dunno. I just love it.” Dia menjawab dengan santai. “Anyway punyamu besar.” Dia mengomentariku.

“Punyamu lebih besar, Philippe.” Selorohku.

“Tapi punyamu…besar. Seksi.”

“My God,” kami kembali nonton film. Anyway, film ini bagus juga. Tentang gay adoption. Tapi sayang sekali sutradara mematikan karakter ibu-pecandu-narkoba yang anaknya diperebutkan oleh pasangan gay dan calon orangtua lainnya. Dan itu membuatku sedikit gregetan.

“Why?” tanya Philippe.

“Why? It’s too easy to set the condition. Ibunya mati overdosis itu jadi satu point untuk pasangan gay untuk adopsi anak itu.” Aku mulai ngomel-ngomel.

“Come on, Rangga. It’s just a movie.”

“But, still.” Tapi akhir ceritanya juga nggak terlalu buruk karena pasangan gay itu dijerat undang-undang pelecehan seksual.

“It’s gonna be a long story. Like TV series.” Lanjutku.

Philippe cuma mengiyakan pendapatku. Mungkin dia capek karena aku nggak bisa berhenti berkomentar.

Bangkok hujan deras sekali disertai angin dan petir.

Selesai film, kami pun pergi ke kamar masing-masing. Dan Max menyusulku ke tempat tidur.

“Max. Come come.” Dia langsung bergulung di sekitar kakiku. Semoga dia tidak menggigit-“nya” ketika aku tidur dalam kondisi tanpa baju.

Pricing:


Tiket Bus Siem Reap - Bangkok: USD15.00
Pijat Thai: 150-250 Bath
Taxi: Mulai 100 Bath tergantung jarak
Tips: Bus akan turun di Khaosand Road di mana ini adalah kawasan backpacker. Banyak guest house di sini jadi, tenang saja. Dan selamat menikmati Thailand! 


Share:

Solotrip 5 Negara Asean (Part 5: Nyasar Di Vietnam, Keliling Angkor Wat dan Ada G.nj. Di Kamboja)

angkor watt, siem reap, foto kaki, kamboja
My feet track di salah satu candi di Angkor Wat, Kamboja


Jangan pernah percaya apabila travel agent Vietnam bilang perjalanan Ho Chi Minh City – Siem Reap bisa ditempuh dalam waktu 8 jam. It’s a totally bullshit!


Jadi, aku membayar USD23.00 dan bangun pagi-pagi sekali (jam 7!!!) dan berjalan satu blok karena bus berangkat dari tempat travel agent jam setengah sembilan. Mereka bilang aku akan tiba di Siem Reap pada pukul 5 sore, jadi masih ada waktu untuk istirahat dan bangun subuh untuk melihat sunrise di Angkor Wat. Awalnya hanya ada aku sendiri di bus  (okay, lebih tepatnya minivan), sepuluh menit kemudian menyusul satu traveller dari Israel, dan yang terakhir satu turis Korea dengan tas-tas Starbucks berhamburan ke segala penjuru.


Mungkin karena semua lelah, kita semua tertidur selama perjalanan. Sampai akhirnya satu persatu bangun. Seperti biasa, aku buka Path dan memberitahu Philippe karena aku pasti sangat telat tiba di Bangkok (dia menanyakan terus sejak aku di Saigon). Traveller lainnya aku tidak peduli. Maksudku, kita sibuk autis dengan handphone masing-masing, dan itu lumrah di jaman sekarang.


 Travel agent bilang perjalanan bisa cepat ke Siem Reap karena tidak melewati Pnom Penh (ibukota Cambodia), melainkan langsung menuju Xa Mat, daerah perbatasan Barat Laut Vietnam dengan Cambodia.


Mungkin pepatah “Man proposes, God disposes” (Manusia berencana tapi Tuhan main-main) tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi setelah tiga jam pertama perjalanan kami bertiga. Entah kenapa supir bus berkendara bukan ke Pnom Penh dan bukan juga ke Xa Mat, tapi belok kanan ke antah-berantah di pedalaman Vietnam.


“Hey, I think we are going the wrong way” turis Korea memberitahuku. 


Kami bertiga cek GPS, dan ternyata kita tersesat jauh ke pelosok. Kami bertiga mencoba memberitahu “jalan yang benar” ke driver teman-temannya, tapi mereka baru percaya setelah mereka bertanya setidaknya empat kali kepada penduduk setempat dan tidak berhasil (untuk itulah ada GPS, hai orang Vietnam). 


Turis Israel dengan sabar mengarahkan mereka ke mainroad menuju Xa Mat seperti Nabi Musa membawa kaum Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Yang Dijanjikan.


"Haruskah aku yang nyetir, guys?" sepertinya dia mulai tidak sabar. Tawa kami bertiga langsung meledak.


Setelah dua jam melewati perkebunan, sawah, hutan lindung (national park, kita di mana sih sebenarnya????!!!), akhirnya kita sampai di daerah perbatasan pada pukul 3 sore.


Pak supir menjajikan kita sampai di Siem Reap dalam waktu tiga jam. Aku dan Israel cuma saling pandang sambil berpikir keras karena tidak mungkin sampai ke Siem Reap yang,


“Jaraknya ratusan kilo dari sini loh,” Israel menjelaskan. 

                                               

“Dengan kendaraan dan kondisi jalan seperti ini,” aku menimpali.


Kesan pertama tentang Cambodia adalah negara ini begitu miskin. Pos imigrasi mereka seperti pos security daerah Muka Kuning (jauh lebih bagus di Muka Kuning), sedangkan tempat pengurusan Visa on Arrival mereka seperti pos penjaga parkir DC Mall, cuma jauh lebih jelek. Dan sepanjang perjalanan aku melihat kehidupan orang Cambodia yang masih jauh dari target Millenium Development Goals PBB. Sepanjang perjalanan kulihat banyak sekali kuil-kuil Buddha, dan satu dua masjid kecil. Mungkin mereka ini yang disebut orang Cham ya, minoritas Muslim di Cambodia.


Hampir jam 11 malam kami baru sampai Siem Reap dan disambut dengan antusias oleh bapak-bapak tuk-tuk sekeluar kita dari bus, seperti paparazzi yang mengejar para anggota boyband yang kepergok keluar dari limousine menuju gaybar pada Jumat malam. Kita bubar jalan menuju tujuan masing-masing.


Sesampai di guest house aku bertemu dengan dua traveller, Laura (Czech) dan Natasha (Luxembourg). Aku dan Laura harus bangun jam 4 subuh karena kami berdua ingin melihat matahari terbit di Angkor Wat, sedangkan Natasha punya agenda tour sendiri. Kami bertiga janji akan makan malam bersama setelah tour selesai.


Kami menuju Angot Wat yang berjarak tujuh kilometer dari tempat menginap. Mungkin karena kami akan ke Angkor Wat, ditambah kami naik Tuk-Tuk (going local, yey!!!) jadi rasa kantuk pun lenyap. Sesampai di sana, banyak sekali orang—ratusan—berkumpul di dekat sejenis-empang-di-depan-Angor-Wat menanti matahari terbit, seperti gerombolan hippies yang menantikan penampilan musisi sakaw favorit mereka di World Music Festival.

“Man proposes, God disposes”.

Lupakan golden sunrise whatsoever karena langit berkhianat. Cuaca mendung, dan hujan (okay, gerimis yang sedikit lebih deras daripada gerimis pada umumnya). Awalnya mereka tetap berkumpul di situ, optimis matahari akan muncul (dasar keras kepala). Tapi setelah lewat pukul 6.10 (matahari harusnya terbit pada jam 5.45) dan mereka tidak berkeringat karena radiasi panas surya tapi basah karena hujan, mereka akhirnya semburat mengikuti tour guide masing-masing.

Kesan pertama tentang Angkor Wat adalah keren BANGET!!! Kami melakukan small tour dengan mengunjungi 7 komplek candi (seingatku. I mean, banyak banget candinya!). Candi yang kedua bagus banget. Sangat dramatis. Setelah makan siang kami melakukan big tour dengan mengunjungi 5 candi. Tidak lupa juga melihat langsung candi (lebih tepatnya reruntuhan) tempat Angelina Jolie shooting “Tomb Raider.” So exciting!


tomb raider, angkor watt, cambodia, siem reap
Salah satu lokasi syuting Tomb Raider

Ada beberapa hal perlu diketahui ketika mengunjungi Angkor Wat. Pertama, jangan membeli sarapan di sana karena SANGAT TIDAK ENAK dan MAHAL! Aku memesan omelette seharga USD4.50 dan ya Tuhan, rasanya menyedihkan. Laura memesan kopi seharga USD1.00 dan berujung dengan dia mengumpat dan betapa kangennya dia dengan makanan Indonesia.


Kedua, di setiap komplek candi siap-siap saja disamperin oleh para penjual souvenir tapi kita berdua bisa mengatasinya dan untung ada turis-turis Cina yang menjadi sasaran empuk para pedagang di sana, jadi kita berdua selamat.


Ketiga adalah di setiap candi ada orang yang menjaga patung Buddha dan menawarkan dupa kepada para pengunjung. JANGAN TERMAKAN BUJUKAN MEREKA karena dibalik semua itu mereka akan menyodorkan baskom berisi pecahan USD1.00 kepada kita setelah acara ritual komersialisasi-Buddha selesai. Kami berdua sih aman-aman saja. Setidaknya diriku, karena Laura mengalami hal memalukan di salah satu komplek candi dan menolak mentah-mentah untuk membayar.


“No,” ketika melihat penjaga Buddha menyodorkan baskom untuk “beramal USD1.00”.


“It’s one dollar only,” penjaga Buddha menimpali dengan muka masam.


“No. I paid 20 US dollars for these temples, and now I have to pay for this in every temple? Fifteen temples means 15 dollars and I have to work for hours in Australia for this amount.” Dia tinggal di Australia selama satu setengah tahun sebelum memulai travellingnya dari Bali kemudian Cambodia.


“But only one dollar,” penjaga Buddha mulai spaneng.


“I’m a student. I have no permanent job so, NO. And Goodluck!” Laura balik kanan meninggalkan penjaga Buddha yang menatap kami dengan muka SHOCKED! 


pohon raksasa, angkor watt, cambodia
Salah satu komplek candi Angkor Wat. Epic


Sorry, kita bukan seperti turis-turis Asia pada umumya yang seringkali “merasa tidak enak” setelah ritual komersialisasi Buddha seperti itu. Kami berdia cekikikan keluar kompleks. Saking spanengnya, Laura sampai berfoto naik patung gajah segede sapi di salah satu sudut candi. Semua orang melihat aksi kami berdua, sambil cekikikan kami segera meninggalkan kompleks candi karena tidak mau berakhir di kantor polisi gara-gara melakukan pelecehan terhadap benda keramat.


Big tour selesai pada jam empat sore. Sebenarnya kami ingin melihat sunset karena langit mulai cerah, namun tidak jadi karena sudah terlalu capek dan tidak mau menunggu 2 jam hanya untuk itu. Kami bisa melihat Angkor Wat berwarna PUTIH tertimpa sinar matahari sore.


angkor watt, cambodia, siem reap, lorong, column, corridor
Foto dari lorong salah satu candi di Angkor Wat, Kamboja

Dalam perjalanan pulang kami mengunjungi salah satu monument peringatan pembantaian Khmer (Khmer Rouge) dengan bantuan Vietnam Utara dan Soviet yang menewaskan lebih dari satu juta orang Cambodia sekitar tahun 1975. Kami mendengar kesaksian orang local bagaimana dulu banyak orang pintar dibantai di seluruh Cambodia dan banyak ukiran di Angkor Wat yang dihancurkan oleh rezim penguasa.  


Banyak sekali tengkorak yang dipajang, dan juga foto-foto orang yang menjadi korban pembantaian. Selain itu ada juga foto tentang kehidupan masyarakat Cambodia di bawah kekuasaan Khmer Rouge. Ini adalah sebagian kecil saja dan kita bisa menemukan yang jauh lebih besar jumlahnya di Pnom Pehn. Sisi gelap Cambodia, seperti halnya sisi gelap nagara Indonesia dengan Gestok-nya pada tahun 1965 silam. Sangat kelam!

Malam harinya kami makan malam dengan menu sesuat-seperti-soto-ayam. Enak banget! Kami berempat, aku, Laura, Natasha dan Diep (local Cambodian) lanjut dengan karaoke. Kami bertiga menyayikan lagu Outcast dan Backstreet Boys, sedangkan teman Cambodia kami menyayikan Beyonce’s Halo tapi versi Cambodia yang membuat kami bertiga melongo saking terkejutnya.


Malam hari Siem Reap hujan deras, jadi kami bertiga (Diep ada urusan lain) mampir ke tempat pancake. Tahu nggak sih kalau di Siem Reap kita juga bisa mendapatkan herb alias g*nja dengan mudah? I mean, tidak secara terbuka tapi tetap mudah. You know what I mean, right? Kami bertiga akhirnya mencobanya ditambah pesan pancake yang ada campuran daun laknat itu. Efeknya kami seperti bahagia, senyum-senyum nggak jelas. Namun, kami segera melanjutkan tour malam itu.

Setelah nongkrong di café tadi, kami lanjut ke Pub Street. Kawasan ini adalah jalan di mana kanan-kirinya banyak sekali pub. Kami memesan satu bucket bir di “Angkor Wat?” bar dan hampir mati bosan di sana sampai akhirnya aku dan Laura naik meja dan semua menjadi heboh. Mungkin karena efek "daun singkong hibrida" yang kami makan tadi.

Sesaat setelah itu, kami bertiga diajak segerombolan pengunjung ke Temple bar, tepat di depan bar kami sebelumnya.

“Where are you from?” pria bermuka Timur Tengah bertanya padaku.

“Indonesia. Where are you from? Lebanon?”

“USA,” sambil menempelkan badannya yang tanpa baju ke araku, karena suara music yang sangat keras. Aku bisa melihat tattoo tulisan Arab di dadanya.

Hampir tengah malam kami memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami bertemu tiga traveller remaja dari Amerika yang menanyakan di mana Pub Street karena mereka penasaran. Alhasil,

“We’re baaaack!!!”  kami kembali ke Temple dan gila-gilaan lagi sampai pukul tiga dini hari.

Sebenarnya aku diundang oleh pemilik salah satu bar yang ada di Pub Street (orang Perancis)untuk main ke barnya. Hanya saja karena sudah hampir subuh, jadi pulang dalah pilihan yang tepat.

Hari kedua kami kedatangan traveller dari Amerika (banyak sekali orang Amerika di sini). Namanya Steven. Menurutku, dia orangnya menarik. Dia sudah delapan bulan traveling dan berencana menghabiskan waktu satu bulan di Cambodia (dan membuat Laura seperti “What??!!!” mendengar empat kata terakhir).

Kami bertukar ide. Dia belajar theology dan philolophy, mencoba mengimbangi obrolan filsafat dan politik yang aku pernah pelajari. Untungnya kami langsung nyambung dan nggak bisa berhenti ngobrol. 

Mungkin beberapa orang harus menempuh perjalanan panjang untuk meraih kebahagiaan sejati dalam hidup. Contohnya Steven, dia besar di Atlanta di mana—seperti daerah Selatan pada umumnya—nilai Kristiani sangat dijunjung tinggi. Konservatif. Tapi akhirnya dia memilih melanglangbuana, belajar dari pengalamannya selama traveling. Dia juga bercerita bagaimana dia sangat senang berada di Thailand dan memberitahu kami  semua  hal tentang Chiang Mai dan sekitarnya. Laura antusias sekali karena dia akan pergi ke Chiang Mai setelah dari Siem Reap.

“Where you can smoke p*t like a lot,” aku berkelakar.

“Ya, kamu pasti juga pengen kan? Lupakan Bangkok, ikut gue ke sana.” kita bertiga tertawa.


Kompong Phluk, Cambodia, desa air
Kompong Phluk atau Floating Village di Kamboja


Sore harinya aku, Laura, Diep dan Wang (Singapore) pergi ke Floating Village atau Kompong Phluk dalam bahasa lokal (Natasha berangkat ke Laos pagi-pagi sekali, Steven tidak jadi ikut karena menurutnya harga tour mahal sekali). Kami harus merogoh kocek USD25.00 untuk biaya tour saja, belum lagi USD10.00 untuk Tuk-Tuk. Bahkan Wang terkejut dengan harga di sini.

“Kenapa harus pakai US?” tanyanya.

Aku cuma bisa angkat bahu. Semoga dia betah di sini karena masih ada Pnom Pehn yang harus ia singgahi setelah Siem Reap.

Jadi Floating Village berada di sepanjang Sungai Siem Reap yang berujung ke Danau Siem Reap, sebelum berlanjut ke Vietnam dan bermuara di sana. Di desa ini kami bisa mengetahui kehidupan asli orang Cambodia. Bagaimana mereka tinggal di rumah panggung setinggi 5-10 meter dari permukaan air dan melakukan akitivas sehari-hari di sana. Rumah panggung tersebut sengaja dibuat tinggi karena pada musim hujan sungai bisa meluap sampai 5 meter. 

Saat berkeliling desa, kami membawa buku tulis yang kami beli sebelumnya untuk anak-anak di sana. Kami melihat volunteer local mengajar anak-anak kecil di sana. And you know what, anak-anak kecil itu (mungkin kalau di Indonesia kelas 2 SD) sangat fasih bahasa Inggris.


“Hi. What’s your name?” anak perempuan bertanya padaku

“Hi. I’m Rangga.”

“Where are you from?”

“I’m coming from Indonesia.” Aku terkejut dengan fasihnya anak ini ngomong.

“How many brothers and sisters do you have?”

“How many persons of your family in your house?”

“How old are you?”

“How long are you staying in Cambodia?”

Sepertinya anak kecil ini berbakat jadi wartawan CNN.

Dalam perjalanan pulang Diep bercerita tentang negaranya, mulai dari isu politik, ekonomi, hubungan dengan negara-negara tetangga sampai bagaimana orang Cambodia sangat membenci orang Vietnam (mungkin karena factor historis).

“Orang Vietnam itu penjajah. Mereka tidak berani mengusik Thailand karena kuat, beda dengan kami dan Laos. Di sini semua korupsi dan di kendalikan oleh mereka (Vietnam).”

“I see. In my country, Vietnam is like ‘little brother’.” Wang, warga negara China yang bekerja di Singapore sangat terkejut mendengar fakta yang barusan dikemukakan Diep.

“Gimana dengan Laos?” aku lanjut bertanya.

“Laos? Oh, come on. Mereka sangat pemalas. Sudah pasti mereka di bawah mereka.” Aku dan Laura saling menatap dengan ekspresi “Wew”.

Malam kedua kami di Siem Reap berakhir dengan hujan (yeah….menyebalkan). Kami tidak ke Pub Street lagi karena Cuma tinggal kami berdua (Wang tidak mau, dan Natasha sudah di antahberantah), di samping kami harus berangkat ke Bangkok pada jam 2 dini hari. Overall, negara kecil ini sangat berkesan.

Pricing to note:

  • Tiket bus Saigon – Siem Reap: USD23.00
  • Tiket Angkor Wat: USD20.00
  • Tuk-tuk untuk tour Angkor Wat: USD10.00 (ini karena dua orang, kalau satu orang bisa 20-30 US dollar)
  • Tour Floating Village: USD25.00
  • Tuk-Tuk untuk Floating Village Tour: USD10.00 (ini karena patungan, kalau cuma sendirian saja bisa jauh lebih mahal)
  • Makan: USD2.00-7.00
  • Beer per bucket: USD10.00-20.00
  • Angkor Beer harganya rata-rata USD1.00-2.00
  • Herbs: tergantung. Hehe.
Tips: Lebih baik bawa cash USD daripada ngambil di mesin ATM, karena biaya setiap penarikan USD5.00!




Share: