Naik Gunung Api Banda

Desa Lonthoir dan Gunung Api Banda dari Bèntèng Hollandia

Sebelum ke Gunung Api, saya menyempatkan  pergi ke Banda Besar dengan naik kapal kecil. Ini adalah pulau terbesar, di mana ada Desa Lonthoir yang sangat indah pemandangannya dari atas Benteng Hollandia yang terbengkalai. Selain itu, ada banyak perkebunan pala, kayu manis, kacang mete, dan kacang kenari (pohonnya besar sekali!). Di sini juga ada festival Cuci Parigi alias cuci sumur suci setiap sepuluh tahun sekali, terakhir tahun 2018. Jadi kalau mau lihat festival ini harus nunggu tahun 2028. Hmmm...

Selain itu, tidak banyak yang bisa dilihat di sini. Pulau ini memang lebih besar namun lebih didominasi dengan perkebunan rempah-rempah. Memang ada bangunan-bangunan peninggalan era kolonial namun tidak terawat, seperti dibiarkan begitu saja, ditutupi tanaman liar. Bahkan, ada bangunan berbentuk pintu dari batu dan ada tulisan VOC di atasnya, yang berada di antara tanaman pala dan semak liar. Jejak-jejak itu seakan bilang bahwa waktu tidak bisa begitu saja mengaburkan peristiwa sejarah di sana. 

Transportasi antar pulau terbilang murah yakni Rp5,000 saja sekali jalan, dengan naik kapal kecil. Kapal-kapal itu beroperasi dari pagi sampai sekitar jam 5 sore. Antara pulau Banda Neira dan Banda Besar bisa ditempuh dalam waktu 5-10 menit saja. Dari dermaga menuju desa Lonthoir bisa naik ojek dan harganya Rp20,000 karena memang jauh jaraknya. Kalau Banda Neira ke Banda Api (pulau tempat Gunung Api Banda) bisa ditempuh kurang dari 5 menit.

Akhirnya, it's the day  ke Banda Api. Gunung Api Banda memiliki ketinggian 656 mdpl, merupakan gunung aktif dan terakhir erupsi di tahun 1988. Sebelumnya saya bertanya ke masyarakat lokal bagaimana pergi ke sana, dan akhirnya ada yang bersedia mengantarkan pendakian dengan membayar Rp200,000. Mungkin akan lebih murah per orang kalau tidak solo travelling, dan tergantung negosiasi. 

Ternyata ada beberapa warga lokal yang ikut mendaki, siswa-siswa SMA. Kami berlima menyeberang dengan kapal kecil dan hanya butuh dua menit. Sempat kepikiran mungkin bisa berenang saja saking dekatnya jarak yg ditempuh. Seperti berenang di sekitar house reef  Triton Bay Divers, tapi pastinya arus di sini kencang karena ini adalah selat, dan pastinya tidak ada walking shark.

gunung api, banda, banda neira
Gunung Api Banda, Maluku 

Setelah sampai melanjutkan perjalanan ke puncak. Terakhir aku naik gunung adalah di Bukit Teletubbies di Kalimantan Selatan dan Gunung Panderman di Kota Batu—yang ternyata adalah bukit—jadi setelah lima belas menit perjalanan...


"Nggak papa kan?" tanya salah satu kawan. Saya muntah dong, jam tujuh pagi. Macam ibu hamil aja.


"Nggak papa. Masuk angin mungkin." Belum-belum sudah jadi Frodo Baggins yang sepertinya berat sekali beban yang ia pikul, terlihat lelah dan sakit-sakitan dalam perjalanannyauntuk melempar cincin laknat ke kawah Gunung Api. Anyway, namanya sama loh Gunung Api!

Akhirnya kita istirahat sepuluh menit sebelum melanjutkan perjalanan.

Medan yang dilalui naiknya menanjak dan terjal, banyak batuan kecil dan pasir, jadinya licin. Kayak shuffling. Seriously, you can sing "I'm sexy and I know it!" saat melewati medan terjal ini biar sensasi shuffling-nya lebih afdol. 

Tidak sabar untuk menikmati pemandangan dari puncak. Namun, semakin dekat ke puncak, kabut tebal dan angin menyelimuti pandangan. Sangat dingin. Lupakan pemandangan, karena sampai puncak kami semua kedinginan. Perjalanan naik gunung itu ditempuh dalam waktu sekitar dua setengah jam, lebih lama dari biasanya yakni dua jam, kata guide. 

Karena gunung aktif, jadi ada lubang di sela-sela batuan yang mengeluarkan uap panas. Jadi tinggal dicungkil-cungkil saja batunya, seperti bikin lubang, nah dari situ keluar uap panas.  Beberapa dari kami menghangatkan diri di sana, berasa sauna. 

Sambil menghangatkan badan, kami menikmati sarapan yang ternyata sudah disediakan oleh guide. Setelah muntah-muntah, tanjakan, jalan berkerikil, licin, dan kedinginan karena kabut, kami makan nasi bungkus dengan lauk ikan, plus kerupuk. Plus sambal di nasinya. Sumpah enak banget! 

Lama kami menunggu awan menghilang. Kami mondar-mandir di puncak agar tidak kedinginan. Ada yang mager menghabiskan snack, ada yang sibuk video call cek cuaca di bawah. Just so you know di puncak Gunung Api Banda masih terjangkau sinyal 4G. Not bad at all!


Banda Neira dari Gunung Api Banda. Terlihat runway bandara membelah pulau.

Cuaca tidak semakin baik. Kabut masih menyelimuti puncak. Dan anginnya kencang sekali. Tapi keren sih, seenggaknya sudah sampai sini, nggak rugi lah. Akhirnya kami turun. Perjalanan saat turun lebih seru karena terasa sekali medannya yang licin. Sering kami sengaja perosotan karena jalan setepak yang penuh dengan kerikil dan pasir. 

Kami berhenti sejenak, melihat pemandangan di bawah. Kota Banda Neira terlihat seluruhnya, mulai kawasan pelabuhan sampai bandara, tak ketinggalan Benteng Bélgica terlihat keabuan, kokoh dan menjadi bangunan paling menonjol di pulau itu.

Kalau main ke Maluku atau Indonesia bagian timur, Banda Neira bisa jadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Buat yang suka sejarah pasti akan terkesan dengan setiap sisi di pulau kecil itu yang memiliki nilai historis. Buat yang suka mendaki, tinggal lompat saja dan naik ke Gunung Api. Buat yang suka menyelam, just set up your dive gear and get down. 

 It was fun!




Share:

Cerita Dari Banda Neira

benteng, belgica, banda neira, sejarah, belanda, portugis
Benteng Belgica dengan latar belakang langit sore di Gunung Api Banda

               

Apa yang terlintas ketika mendengar Banda Neira? Yup. Pasti sebagian merujuk ke "Oh, yang udah bubar itu ya?" Atau mungkin masih menerka-nerka itu apa. 

Pada pertengahan Juni 2019 saya melakukan perjalanan ke Banda Neira di Maluku. Banda Neira adalah salah satu pulau yang berada di Kepulauan Banda, Maluku. Pulau ini terkenal dengan pala, sejenis rempah yang menjadi komoditas paling berharga pada abad ke-16. Terdapat tiga pulau utama di sini, yakni Banda Neira, Banda Besar dan Banda Api. Letaknya pun saling berdekatan. 

Apa saja sih yang ada di tiga pulau itu?

Di Banda Neira kita bisa menikmati suasana kota dan pelabuhan. Di sini terdapat banyak sekali bangunan peninggalan Belanda. Mulai banteng sampai gereja. Di Banda Besar terdapat desa Lonthoir dan perkebunan rempah-rempah. Sedang Banda Api adalah pulau vulkanik Gunung Api Banda. Untuk yang hobi menyelam, banyak dive spot di sekitar Kepulauan Banda. Yang terkenal adalah dive spot di mana kita bisa melihat hummerhead shark (hiu kepala martil), yang bentuk kepalanya pipih dan ada mata di kedua ujungnya itu.

Waktu berkunjung.

Paling bagus waktu berkunjung adalah akhir tahun sampai dengan bulan April-Mei. Pada kurun waktu ini banyak pengunjung terutama dari kapal pesiar dan catamaran singgah. Periode awal Juni-September cuaca dipengaruhi oleh angin timur, seringkali ombak dan hujan intensitas tinggi pada bulan-bulan tersebut. Ada kesamaan antara wilayah ini dengan Papua Barat dalam hal musim yang bagus dan tidak bagus.

Akses ke sana? 

  • Dari Ambon bisa naik pesawat Susi Air. Pastikan selalu tanya jadwal dari dan ke Banda Neira.
  • Naik kapal cepat dari Ambon (Tulehu), akan memakan waktu sekitar 6 jam.
  • Naik kapal kapal perintis atau kapal Pelni yang besar. Bisa dicheck jadwal pergi pulangnya.
  • Dari Papua Barat bisa naik kapal Pelni, nanti akan ikut rute Dobo, Kota Tual, Banda Neira. 

Pastikan periksa semua jadwal untuk berangkat dan pulang, karena kepulauan ini berada di tengah-tengah laut Banda, dan tidak sering ada jadwal kapal / pesawat.

Akomodasi

Terdapat beberapa penginapan, juga dive center untuk yang hobi menyelam. Harga penginapan per malam sekitar Rp200,000 sudah termasuk sarapan (biasanya nasi kuning + cakalang bumbu, atau pancake. Basic), dan kamarnya luas. Saya menginap di Delfika guest house yang merupakan bangunan kuno, namun penuh dengan benda-benda hiasan yang bikin betah berlama-lama di sana. 

Benteng Belgica dengan background Gunung Api Banda yang ada di uang pecahan Rp1,000. Sumber: ranggainthezone

Keliling Pulau

Hampir semua tempat di Banda Neira bisa dijangkau dengan jalan kaki, dan gratis, kecuali untuk Rumah Budaya dan Benteng Belgica. Berikut beberapa tempat yang saya datangi.

  • Rumah Budaya Banda Neira yang berada persis di depan tempat saya menginap. Di sini terdapat barang-barang asli jaman VOC dan catatan sejarah kehidupan jaman Belanda. Yang paling menarik adalah sejarah kelam pembantaian masyarakat Banda Neira oleh penjajah pada abad ketujuh belas. Ada juga lukisan Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal VOC pada saat itu. Selain itu, ada juga koin-koin kuno dan gramophone yang menurutku super dope. Tempat ini cukup terawat, meskipun ada bau debu dan lukisan-lukisan itu yang—jujur saja—membuatku takut. Tiket masuknya adalah Rp20.000 per orang.
  • Gereja Tua Banda. Gereja ini dibangun pada tahun 1873. Ketika sampai dan lihat lantainya, I was like Lantainya unik ya karena ada tulisan-tulisan kuno. Namun setelah diberitahu bahwa tulisan-tulisan di atas plat itu ternyata kuburan, I was like Really? Ternyata gereja ini dibangun di atas tiga puluh kuburan prajurit Belanda yang tewas berperang untuk menguasai Banda. Pulau ini benar-benar menarik. 
  • Istana Mini. Bangunan ini dibangun pada tahun 1622 dan menjadi tempat gubernur jenderal. Dari luar bangunan ini terlihat seperti Istana Negara di Jakarta, cuma lebih kecil sesuai namanya. Di dalam hanya ada ruangan kosong seperti aula, lubang meriam di ujung aula dan ruangan-ruangan di sisi kanan kiri. Sempat kepikiran Kalo ada teman yang indigo ke sini, pasti dia sibuk sekali. Haha. 
  • Setelah itu saya lanjut ke rumah pengasingan Bung Hatta pada tahun 1936. Sayang sekali saat itu tempatnya ditutup, jadi aku lanjut ke Parigi Rante, sebuah sumur. Di tempat ini ada daftar 40 orang Banda yang jatuhi hukuman mati pada era VOC. Aku terdiam beberapa saat setelah membaca tulisan di tugu itu dan mendoakan mereka yang telah gugur.  
  • Mercusuar di Lautaka, ujung Pulau Banda Neira. Mercusuar ini seperti menara SUTET, dan tidak disarankan bagi yang akrofobia (takut ketinggian). Tinggi mercusuar ini sekitar 30-40 meter. Agak gemetar saat naik, ada sensasi goyang karena hembusan angin, but it paid off! Pemandangan dari atas mercusuar bagus sekali! Bentangan bukit menuju kota di sebelah kiri di kejauhan dan lautan lepas di sebelah kanan, dan di depan adalah Gunung Api Banda yang berdiri digdaya di seberang. Seriuosly, it paid off!
Mercusuar Lautaka, Banda Neira. Sumber: koleksi pribadi

Yang paling terkenal di antara peninggalan kolonial di pulau ini adalah Benteng Belgica. ikon yang menjadi gambar di uang pecahan seribu rupiah. Bangunan ini awalnya dibangun oleh bangsa Portugis di abad ke-16, dan dilanjutkan oleh Belanda pada abad ke-17. Berada di sini berasa seperti di Casterly Rock di Game of Thrones, karena berada di atas bukit (30 meter di atas permukaan laut) dan bisa melihat pemandangan laut, Gunung Api Banda dan matahari sore. Indah sekali. Saya naik ke salah satu menara banteng—hati-hati saat naik tangga karena bisa jadi kejedot tembok, sakit sekali—dan foto uang seribuan dengan background banteng yang berbentuk segilima dan Gunung Api. Tidak ada tiket masuk, namun kotak kontribusi tersedia di dalam bangunan.

Untuk makanan sendiri di sini cukup terjangkau, kisaran Rp15,000 per porsi. Setiap ada kapal Pelni bersandar, kawasan pelabuhan berubah menjadi pasar yang penuh dengan orang yang menjual dagangan mereka. Jadi ini saat paling tepat untuk menikmati makanan khas Banda Neira dan berburu oleh-oleh dan hal unik yang bisa ditemukan. Beberapa hal yang saya coba adalah:

  • Suami. Ya, namanya suami. Bukan suami orang ya, guys. Suami adalah makanan khas terbuat dari singkong parut yang dikukus dan berbentuk kerucut. Rasanya hambar maybe because they barely added some sugar in it or that's the taste of cassava. Harganya Rp 2,000 per buah dan besar. Paling enak makan suami dengan kuah ikan, karena lebih mudah ditelan dan ada rasanya. 
  • Mento, kue yang berbentuk seperti dadar gulung tapi isinya suwiran cakalang dan sayuran. Kalau biasanya dadar gulung isinya kelapa manis, this one is savory.
  • Ulang-ulang. Makanan ini seperti salad atau karedok(?), suka sekali karena basically saya suka sayuran. Plus ada rasa asam-asamnya. It's really good.
  • Ikan komu asar, yakni ikan cakalang yang dipanggang. Biasanya ditusuk dengan bambu. Saya beli makanan ini saat baru tiba di pelabuhan Banda Neira. Makanan ini besar sekali untuk porsi saya, kata ibunya paling enak dimakan dengan sambal, but I had it plain karena aroma dan rasa daging cakalang yang sudah enak. Akhirnya saya makan dengan suami. 
  • Olahan pala, mulai selai pala, manisan pala, ikan pala (kuah ikan ada campuran palanya), dan kopi pala. Ada juga rempah-rempahnya kering seperti kayu manis, biji pala dan bunga pala kering yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh.
  • Akar bahar. It's common for us to see it in Maluku and Papua. Saya masih bingung sebenarnya akar bahar ini tanaman atau hewan laut. "Akar" ini sangat kuat (risilient), dan bisa dibengkokkan sesuai keinginan kita. Biasanya dijadikan gelang. Di Banda Neira dijual dengan harga mulai Rp100,000 per buah. Saya sendiri tidak membelinya karena saya punya beberapa yang dibawa langsung dari Papua, dan saya kasih ke teman-teman.

Share:

Mengenal Budaya Banjar Di Pasar Terapung Lok Baintan Banjarmasin

Pasar Terapung Lok Baintan, Kalimantan Selatan. 
Sumber: ranggainthezone


Generasi 90an mungkin masih ingat slogan RCTI Oke yang menampilkan ibu-ibu di pasar terapung. Waktu kecil saya bertanya-tanya kok bisa ya jualan di atas perahu di atas sungai, karena maklum di Jawa tidak ada sungai yang besar. Rasa penasaran terjawab ketika mengunjungi Pasar Terapung Lok Baintan di Kalimantan Selatan. 

Pasar terapung ini berlokasi di daerah aliran Sungai Martapura, Banjarmasin, dan satu-satunya pasar terapung yang genuine yang ada di Indonesia. Mungkin ada yang bilang "Siapa bilang? Di Sumatra juga ada, di Jawa Barat juga ada." Ya, itu juga pasar terapung tapi itu artificial. Sedangkan pasar Lok Baintan sudah ada sejak jaman Kesultanan Banjar (sekitar abad ketujuh belas). Itu saja? Tentu tidak. Pasar terapung di Lok Baintan sebagai bentuk budaya masyarakat Banjar yang tidak lepas dari air / sungai. Dulu sebelum adanya pembangunan transportasi darat, masyarakat Banjar mengandalkan sungai untuk mendukung mobilitas mereka, yang pada akhirnya mendukung perekonomian mereka dengan adanya interaksi jual beli dan barter oleh masyarakat. 

Sekarang emang sudah nggak lagi? Masih bertahan, walaupun sebagian besar mulai beralih ke pasar tradisional pada umumnya. Namun, dari pasar terapung ini kita bisa mengenal lebih banyak budaya Banjar. Apa aja emang? Nanti. Pero un momento, por favor, ada hal teknis yang perlu dijelaskan.

Lokasi Dan Waktu Berkunjung

Pasar ini terletak di Sungai Martapura, Banjarmasin. Waktu berkunjung di pagi hari, setelah subuh sampai menjelang siang sekitar jam 10:00 WITA.

Akses Ke Lok Baintan

Ada beberapa pilihan untuk pergi ke sana. Ini berdasarkan pengalaman kami (2 orang).

  1. Sewa klotok (perahu bermotor) yang bisa dijumpai di Siring Tendean, Banjarmasin. Harga Rp 400,000 an. Akan sedikit menguras kantong kalau pergi sendiri atau berdua. Selain itu harus cari tempat penginapan yang dekat dengan Siring Tendean karena harus berangkat pagi sekali. Otherwise you have to hire a taxi. Share cost kisaran @Rp300,000 / orang untuk sewa klotok dan penginapan.
  2. Menginap di Swiss-Belhotel Banjarmasin. Akhirnya pilihan kami jatuh ke sini. Hotel ini menyediakan fasilitas trip ke Lok Baintan secara gratis untuk tamu yang menginap. Share cost juga hampir sama, plus nggak repot. Bisa minta wake-up call, dan tinggal jalan ke depan untuk naik klotok. Hotel ini berada di pinggir aliran Sungai Martapura anyway. Disclaimer: ini bukan endorsement ya, simply for sharing information based on our experience. Dan kebijakan ini bisa berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Atau mungkin ada banyak opsi serupa yang bisa dicari di internet, based on your preference.
  3. Lewat darat dengan naik motor. Tinggal ikuti aja peta Google et...voilà! Selain itu, kalau lewat darat bisa sekalian ambil foto dari atas jembatan Lok Baintan.

Rumah Lanting terlihat mengapung sepanjang Sungai Martapura. Sumber: koleksi pribadi.

The experience starts here.

Kami berangkat pukul 05:00 WITA dengan naik klotok. Perjalanan ditempuh selama 30-40 menit. Karena masih gelap, tidak banyak yang bisa dilihat sepanjang sungai. Namun, saat langit semakin terang, pemandangan sekitar mulai tampak. 

Rumah-rumah khas Banjar berdiri di kiri-kanan tepi sungai. Ada satu yang menarik perhatian, yakni rumah lanting. Rumah ini adalah rumah terapung yang dibuat untuk bisa berpindah-pindah mengikuti atau menyesuaikan arus sungai. Jika rumah adat Banjar kita bisa melihat jelas tiang penyangga yang menancap di sungai, hal itu tidak berlaku dengan rumah lanting yang terlihat pres dengan permukaan sungai. Seperti hanyut. Rumah ini seperti portable house yang mobile. Kalau di Kaimana ada bagan yang berfungsi sebagai rumah sekaligus tempat menangkap ikan, hanya saja bagan di laut dan memiliki ukuran lebih besar daripada rumah lanting.

Banyak sekali jembatan penyebrangan di atas sungai yang bisa dilihat dari klotok. Aktivitas pagi masyarakat Banjarmasin bisa kita lihat di sini. Kita bisa melihat matahari terbit dari atas klotok, warna jingga yang terpantulkan aliran sungai.

Suasana sangat vibrant ketika sampai di Lok Baintan. Banyak jukung yang berlalu lalang. Jukung adalah perahu kecil yang digunakan oleh para penjual untuk menjajakan dagangannya. Mayoritas penjual di sini adalah ibu-ibu, orang lokal menyebutnya acil. Mereka biasanya memakai tanggui, topi khas Banjar yang terbuat dari daun nipah. 

Saat melihat para acil, kami bertanya-tanya kenapa wajah mereka tertutup bedak tebal seperti masker yang dibiarkan mengering atau lupa dibilas. Ternyata sebagian masyarakat di sini terbiasa memakai bedak khas Banjar yang dinamakan pupur (bedak) basah / pupur dingin dan pupur bangkal. Pupur basah terbuat dari beras yang dihaluskan, dan ada juga dari bengkoang. Bedak ini berwarna putih. Sedangkan pupur bangkal terbuat dari kayu pohon bangkal yang dikerik lalu ditumbuk. Bedak ini berwarna kekuningan.

Di pasar ini, mereka umumnya menjual buah-buahan musiman, dan tidak jarang buah khas Kalimantan seperti buah mentega, kasturi, kuweni (sejenis mangga tapi aromanya sangat harum), buah kapul, tiwadak, salak, duku / langsep dan masih banyak lagi. Ada juga jajanan tradisional seperti kue cincin (seperti cucur tapi memiliki tekstur keras dan kering di bagian dalam, serta berbentuk piringan dengan 4 lubang), roti pisang (seperti kue lumpur tapi berbahan pisang. Jujur ini enak banget!), untuk (roti goreng ada isiannya), pais, dan masih banyak lagi. Bahkan ada yang jual pulsa! Seriously!



Pedagang dengan aneka buah di atas jukung. Sumber: ranggainthezone


Selain itu banyak makanan kering dan souvernir yang bisa dijumpai di sini, di atas jukung tentunya. Beberapa dibungkus dengan kerajinan tas dari purun, yakni sejenis tanaman yang digunakan sebagai bahan anyaman. 

Kalau ingin makan nasi, bisa juga beli nasi kuning bumbu habang (merah) dengan hintalu (telur) atau ikan. FYI, beras Banjar berbeda dengan beras yang biasa digunakan di Jawa. Beras Banjar lebih "terpisah-pisah" dan seringkali bagi orang yang baru pertama kali memakannya kadang terasa "nyereti". Kita bisa sarapan di atas klotok sambil menikmati suasana pasar terapung. Atau bisa juga mencoba naik jukung penjual, tapi harus hati-hati karena perahunya hanya selebar badan dan butuh keseimbangan agar tidak oleng. 

Di sini kita juga mengenal akad jual-beli. Pedagang akan menyebutkan kata “jual /dijual” dan pembeli akan menyahut dengan kata “tukar/ditukar” yang berarti membeli saat transaksi dilakukan (sempat bingung saat belum tahu arti tukar adalah beli kalau di Banjarmasin). Kalau masih bingung nanti akan dibimbing oleh acil penjual. 

Budaya akad jual-beli tidak lepas dari pengaruh agama Islam yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) melalui kitabnya, Sabilal Muhtadin. Akad itu lambang sahnya jual-beli. Kalau sekarang mungkin seperti yang sering diucapkan di acara televisi itu. Deal? Deal!

Yang unik lainnya dari pasar terapung Lok Baintan adalah adanya acil bapantun, yakni ibu-ibu yang pandai sekali berpantun. Entah dilatih atau spontan, pantun-pantun itu bisa menyesuaikan dengan konteks obrolan. Mungkin Denny Cagur dan Raffi Ahmad belajar berpantun dari mereka. 

Para pengunjung bisa naik ke atap perahu untuk mengambil gambar karena pemandangan lebih luas. Mungkin tidak banyak yang indah dalam hal pemandangan bagus seperti di tempat-tempat wisata lainnya dengan bangunan ikonik, tapi keberadaan pasar ini sendiri sudah menjadi ikon dengan segala nilai sejarah dan budaya masyarakat yang menjalankan keseharian di sini. This place is not artificial, if you're looking for something more than fancy. Dan itu cukup worth to visit jika berkunjung ke Banjarmasin, mengenal budaya Banjar lewat pasar terapung dengan naik kapal menyusuri sungai Martapura. 




Referensi
Pasar Terapung Lok Baintan
http://pidii.info/index.php?option=com_content&view=article&id=900:pasar-terapung-lok-baintan&catid=35:investasi-news&Itemid=101?&tmpl=component#:~:text=Pasar%20Terapung%20Lok%20Baintan%20telah,Pemerintah%20Pusat%20Banjarmasin%2C%20Kalimantan%20Selatan.&text=Di%20sepanjang%20pesisir%20aliran%20Sungai%20Martapura%20Lokbaintan%20terlihat%20konvoi%20jukung,Banjar)%20menuju%20lokasi%20pasar%20terapung.

Bedak Bangkal, Bedak Tradisional Banjar Khas Kalimantan Selatan Kebanyakan Pembelinya Orang Jawa

Rumah Lanting: Kilas Kronologi Dan Eksistensinya Saat Ini

Share: