My Holiday Story: Phuket (Part 2)

Kami melanjutkan perjalanan yang masih sangat panjang dan lama. Sempat kami tertidur dan tiba-tiba bus berhenti. Ternyata kami sampai di rest area dan masih sekitar dua jam lagi sampai Kuala Lumpur. Bisa ditebak, tempat pertama yang aku tuju adalah toilet karena metabolisme tubuhku yang luar biasa militan kerjanya.


Kami mencicipi kudapan yang dijual ibu-ibu di sini. Ada yang jual nasi, oleh-oleh, aneka minuman dan juice dan cemilan. Aku dan Indra membeli sesuatu kalau di Banjarmasin lebih seperti “pentol cucuk” dan langsung ludes kurang dari lima menit karena kami lapar parah kayak Zombie. Cukup lama bus berhenti di sini sampai aku hampir mati bosan. Akhirnya, setelah sekitar 20 menit bus pun melanjutkan perjalanan.



rest area, malaysia
mati bosan di rest area

Kami sangat antusias sekali ketika memasuki daerah Kuala Lumpur. Dari kejauhan, Menara Kembar Petronas mulai terlihat. Bangunan yang lebih dikenal dengan KLCC ini berdiri tegak  di tengah bangunan metropolis seperti Heidi Klum di antara para supermodel dan mannequin rumah mode ternama. Aku dan Indra seperti tersengat listrik 10000 watt karena begitu excited melihat menara Petronas bahkan walau dari kejauhan 2 mil. Sumpah, kampungan banget. Rudy lebih biasa-biasa saja karena memang ekspresi dia seperti itu, gak seperti kami berdua yang seperti minuman bersoda yang habis dikocok.


Di Kuala Lumpur, ada penumpang baru yang masuk.  Tiga bapak-bapak keturunan India. I’m so sorry, bukannya bermaksud gimana-gimana, tapi tahu sendiri kan apa yang harus dilakukan ketika dekat dengan orang India apalagi di bus ber-AC selain untuk tidak mendekat. I mean, mereka duduk di depan kursiku dan bisa dibayangkan sensasinya. Aku memutuskan untuk pindah tempat duduk, terserah mereka berpikir apa. Aku nggak mau mati atau setidaknya muntah akut karena aromatherapy yang tidak bisa dicerna oleh tubuhku.


Kami tertidur cukup pulas, entah karena memang lelah atau pingsan karena efek 3 India di depan kami. Kami terbangun dan mendapati sudah sampai di daerah perbatasan, masuk daerah Bukit Kayu Hitam. Bus kami berhenti di rest area lagi. Kami beristirahat dan sarapan di sana.  Setelah itu bus memasuki wilayah Thailand. Di sini semua perlahan-lahan mulai berubah. Zona waktu kembali normal (seperti di Batam), banyak patung Buddha, bahasa mulai berbeda, dan tidak ada alphabet.


Oiya, ngomong-ngomong tentang Buddha, di Thailand banyak sekali patung Buddha, seperti Jollibee di Manila. Setiap 100 meter ada Buddha and it was cool! Kami akhirnya sampai di imigrasi Hatyai. Kalau di Singapore sangat ketat, di sini mesin pemindai aja nggak berfungsi. Alhasil kami sudah capek gempor bawa tas dan bahkan petugas imigrasi tidak peduli.



Bus berhenti di terminal dan kami melanjutkan naik tuk-tuk menuju pusat kota yang berjarak sekitar 5 kilometer. Kami berkeliling sejenak di kota transit ini. Hatyai seperti Batam, cuma di sini lebih banyak tempat jual souvenir dan lebih tertata. Lebih bersih. Kami membeli beberapa barang dan membeli Bath. Sekedar informasi, nilai tukar Bath di Hatyai jauh lebih menarik daripada di Phuket atau Bangkok yang super mahal. Dan mereka juga menerima pecahan 50,000 rupiah.


Kegilaan pertama yang terjadi di negeri Gajah Putih ini adalah ketika Indra mengeluh sakit perut. Biasa, urusan di pagi hari. Jadi, dengan muka jelaga dan mental baja akibat perjalanan jauh, kami memutuskan untuk masuk ke salah satu hotel dan langsung nyeludur ke toilet di dekat lobby. Di bilik toilet, aku dan Rudy langsung cuci muka dan Indra dengan urusannya di toilt sebelah sampai akhirnya…

“Omigod!” Indra terdengar terkejut di sebelah.

“Ada apa?” Rudy menimpali.

“Kok nggak ada semprotannya di sini?” Okay dia mulai panic.

Ya. Pelajaran ketika traveling ke luar Indonesia, siap-siap aja tissue basah. Aku dan Rudy nggak bisa nahan tawa saking gelinya. Kami menarik tissue selembar dua lembar (sampai berpuluh-puluh mungkin) dan membasahinya dengan air dan melemparkannya ke bilik sebelah, tentunya sambil ketawa. 

Karena kami tidak mau memancing kecurigaan dan berakhir dengan dihempaskan keluar sama petugas hotel, kami tidak berlama-lama di situ setelah urusan Indra selesai. Dia keluar toilet dengan ekpresi muka super jijik dan aku masih “cannot tahan.” Kami pun melenggang keluar hotel dengan sok berwibawa setelah menghabiskan persediaan tissue toilet hari itu.

“What the...” Hahahahaha….


Share:

My Holiday Story: Phuket (Part 1)

traveling, phuket, dari, batam
L-R: Rangga-Indra-Rudy


Di Nagoya Hill aku sibuk memilih sepatu. Ya. Aku sudah lupa sebenarnya tujuan awal kami berdua ke sini untuk apa, yang pasti di depan mata sudah ada sepatu-sepatu yang berteriak “Take me! Take me!” seperti dalam telenovela “Maria Belen” yang seisi panti asuhan berebut orangtua asuh. Intinya, kalau ke mall jangan pernah sok-sok direncanakan deh mau beli apa karena sesampainya di sini semuanya “selesai”. Buyar.

“Kamu beli apa?” Rudy bertanya padaku.

“Nih,” jawabku sambil mengangkat tas berisi sepasang sepatu. Ekspresi dia sepertinya bukan untuk menerima jawaban sepatu. Anyway aku tidak ambil pusing. Yang penting besok ke Phuket, that’s all.

Entah karena semingguan bekerja dan stress atau kenapa, seringkali kita ke mall cuma untuk beli sesuatu—makanan, minuman, baju, kebutuhan yang lain—and that’s it

Dan kalau dipikir-pikir itu sangat membosankan, memuakkan, dan yang paling menyedihkan adalah kita akan mengulanginya lagi minggu depannya. Atau bahkan besok. Apalagi mall di Batam yang jumlahnya bahkan masih lebih banyak jumlah jari di satu tangan. I mean, bagaimana bangunan beton itu bisa menampung satu juta lebih masayarakat Batam? Pastinya tidak akan kaget kalau kita bertemu dengan mantan pacar, atau mantan teman tidur, atau mantan teman tidur satunya, atau yang satunya lagi, atau mantan teman tidur mantan pacar, dan mantan-mantan lainnya.

Oh, what did I say? Yup! I’m going to Phuket! For holiday!

Okay, jadi aku dan dua temanku, Rudy dan Indra, akan melakukan what so called as salah satu “ibadah puncak” karena di sana akan diadakan “Phuket Pride”, salah satu festival gay yang terkenal di Asia Tenggara. Phuket Pride diadakan setiap tahun di minnggu terakhir bulan April. Biasanya selama satu munggu.  Persiapan sudah dilakukan beberapa minggu sebelumnya, mulai izin cuti, pemesanan tiket ferry (cuma SGD32.00 pulang pergi, termasuk tax) dan lain-lain. Untungnya kami bertiga beda department so bisa ambil cuti bareng-bareng. Dan untungnya Rudy sebelumnya sudah pernah ke Phuket jadi aku dan Indra cuma ngikut dia aja. 

Esoknya, sekitar jam sembilan pagi kami sudah siap “berhijrah” seperti perjalanan ke Barat mengambil kitab suci dalam kisah “The Monkey King” dan Rudy sebagai Bhiksu Tong-nya.


ferry,batam,nongsa,tanah merah,singapore
Pemandangan dari atas ferry dari Pelabuhan Nongsa Batam ke Tanah Merah Singapore

Perjalanan kami diawali di Nongsa Pura Ferry Terminal, di mana kami akan menyeberang selat Singapore selama setengah jam dan tiba di negeri seberang. Karena ini kali pertama saya ke Singapore, petugas imigrasi menggiring saya ke pengecekan sebelum diijinkan masuk. Sekedar tahu aja, kalau baru pertama kali masuk Singapore, maka siap-siap aja “kena jaring”, apalagi yang namanya –sorry to say—mengandung unsur-unsur Arab, namanya cuma ada satu (like “Michael” instead of “Michael Faraday”), atau bajunya masuk dalam kategori “perlu diperiksa” .


Sempat was-was juga sih takut kalau-kalau aku berujung dengan kembali ke Batam dengan membawa stempel “REJECTED” di passport. Tapi aku selalu mengingat pesan seperti di film “21”, “think caual, act casual, be casual.” 


passport, stamp, stempel
My first Singapore stamp. Please notice beberapa hal sebelum masuk Singapore


Aku cuma duduk manis di situ selama 5 menit, nggak ditanya apa-apa selain mereka minta passport. Mungkin karena namaku juga lumayan netral (Rangga Yanwar Pratama) dan dari tampang lebih seperti target teroris ketimbang teroris itu sendiri, jadi mereka langsung mengembalikan passportku dan mengijinkanku masuk.

Setelah keluar ferry terminal, kami naik bus menuju Bedok, dan selanjutnya naik MRT sampai Woodlands. Kami sempat berkelakar selama di Singapore (yang selanjutnya menjadi kebiasaan) tentang bagaimana orang Singapore selalu berjalan “sangat cepat” karena takut ketinggalan MRT yang bahkan MRTnya bakalan ada 10 menit lagi. Bagaimana orang-orang bahkan harus “berjalan cepat di tangga berjalan” dengan alasan yang kurang lebih sama, bahkan eskalator di sana to be honest ya, lumayan cepat dari pada di Malaysia. Mungkin itulah kenapa orang sana bilang orang Malay itu slow. Lucu banget.

Sesampai Woodlands, kami melanjutkan naik bus menuju Johor Bahru. Anyway, imigrasi Malaysia tidak seketat yang ada di Singapore. Seperti di Indonesia, lempeng-lempeng aja. Setelah ritual “antri-stempel-cao!" selesai, kami naik bus ke stasiun bus di Larkin. Larkin seperti terminal Bungurasih di Surabaya, di mana banyak angkutan bus jurusan kota-kota di Semenanjung dan bahkan Thailand. Kami membeli tiket seharga 80 Ringgit untuk jurusan Larkin – Hatyai, kota di Thailand yang berbatasan dengan Malaysia.

Kami mampir dulu ke McDonald’s karena kami sangat lapar seperti imigran negara konflik. Restaurant cepat saji ini jadi tempat favorit ketika berlibur di kawasan karena menyediakan WiFi gratis yang bisa didapatkan di struk pembelian (which in the end is not free actually) biar cuma selama satu jam. Aku tidak ingat pukul berapa bus berangkat, mungkin pukul 6 atau 7 sore. Perjalanan akan ditempuh selama kurang lebih 12 jam. 

Anyway busnya dingin banget, dan aku setengah mati harus nahan pipis. Thank God, tidak lama bus berhenti di rest area. Pak supir pun menyilahkan para penumpang dan bilang bus akan berhenti selama 10 menit. Sebelumnya aku sudah menyiapkan beberapa sen Ringgit. Indra dan Rudy tidak turun, mungkin kandung kemih mereka sudah diplester atau mereka pake popok, I dunno, yang pasti aku kebelet banget.

Pas di toilet, ada cowok yang tiba-tiba nongol di sebelah. Dan Omigod, aku langsung takut karena dia memandangku seperti “I know we can make it blablabla” and I was like “EXCUSE ME!!” Aku nggak mau berakhir di kantor polisi dengan luka bacok atau pipi lebam atau di rumah sakit karena mengalami pelecehan seksual tinggi di toilet umum di negeri orang, aku pun bergegas menuju bus. Sambil menggumam “keparat!” pastinya. 








Share:

Banjarmasin: A City “Where Darkness Is Common”

And the lights out!

Yup! That’s what I experienced during my three-month time here in the capital city of South Kalimantan Province.  It is too bad and very ironic to admit since this island is full of energy resources on the ground and (more resources) underground.  The scheduled blackouts have become part of people’s daily life here. In the city area, the scheduled begin at around six in the evening. Could it be a moment, one hour or more is something we can never predict.

Just so you know that electricity industry is run by state owned company named PLN (Perusahaan Listrik Negara), and that’s it. Various fees the people have to pay, depends on the area they’re living in and the type of electricity they use, either for household or industrial purpose. Now, is it really worthy for us to pay them for the service we get?


signage, blackout, electricity
A signage stating apology for the scheduled lights out by PLN

Electricity as the basic need for society

The issue of energy crisis becomes highlight in some regions in Indonesia, even the government in Jakarta admitted that factors such as regulations and multi-layers complicated permission procedures has become issues for investments including in electricity industry that eventually constraint  the even electricity distribution for all. What they often neglect is the fact that electricity is something people can’t live without, it’s a basic need.

When the government issued a plan to increase the fuel or electricity price, people seemed like nearly at the point of no alternative, especially regarding the latter as it’s just monopolized. Thus, like it or not they will pay for it like no matter what, because it’s basic and monopolized. I’m sorry to say that the government failed in this case. 

The excuse they’ve been (PLN) saying is they’re so lack of energy resources that they have to make the scheduled daily blackouts. It’s a bit confusing as this land is rich of coal, unless the commercialized natural resources is something they cannot afford and yeah, we understand. That this coal-rich province is getting as dark as its coal, we understand. But still, should we make any complain or even big street-protest, if we question whether or not they’re capable to run it and should we let private company in, it’s understandable. Moreover, we are so far familiar with privatization. We keep buying mineral water by Danone as we know it’s good, we use Indosat and other telecommunication products as it is good, and affordable, even cheap.

What if…

Can you imagine the small little things that will turn out big in our daily life that make us consider that it’s a big issue?

  • For students in their house they should do homework under minimum light and it sooner or later affect their vision’s health.
  • Let’s say the hospital has its own generator, but still, what if they need more electricity for a bigger surgery? What if there is more patients need medical treatment? What if the devices do not work due to technical issues related to the electricity problem?
  • For other industries, such as hotels and manufactures, when they have to have their own generators for energy supply, and they have to pay the fuels, the rocket their budget will be, they know it’s costly. How to attract investors if they have to pay a lot?

These are the things the government and all of us should consider. We do not mind of private sectors get involved, though expansion and innovation and management reform in PLN itself is good to see as well.

Share: