Songs When I Die


Dua Lipa, future nostalgia, love again
Love Again by Dua Lipa 


Berbicara tentang kematian, tentu saja kita tidak akan pernah tahu kapan itu terjadi. Yang pasti, itu akan terjadi, semua akan mengalaminya. Nah, beberapa orang sudah mempersiapkan hal-hal yang diinginkan ketika mereka nanti menemui ajal. Bisa mereka ingin kucing atau anjingnya diberikan ke orang lain nantinya, bisa minta dimainkan piano dengan lagu favorit mereka saat prosesi persemayaman, minta abu mereka dilarung di laut, atau ingin benda-benda kesayangan ikut serta dikuburkan dengan mereka. Dan masih banyak lagi. 


Nah, salah satu yang ingin ada setelah saya meninggal adalah mereka memutar lagu-lagu yang saya suka. It was like the last chance to get me exposed to the music sebelum cosplay jadi singkong. Selain itu, meskipun mungkin lagu-lagunya cenderung slow, namun mereka juga bisa memutar lagu-lagu ceria setelah itu. They need to celebrate life, still, no matter who's gone.


So ya here's the list of songs I'd like them to play when I die:


1. Joanne by Lady Gaga

I love Lady Gaga and this is one of the most meaningful song of hers. It's about farewell and sounds so personal. I want it to be played when I die.


2. Back To Black by Amy Winehouse

I love Amy. Dan lagu ini sepertinya cocok. Lihat deh video musiknya. Meskipun makna lagu ini sedikit kelam, tapi bagus juga. Biar lebih dramatis. 


3. Caderita by Cely Vasquez

This gonna be fun of you play this song during my funeral. Let the angels fly and dance with me to this catchy beat. Te tiene loco loco. Really. 


4. Toujours Un Ailleurs by Anggun

It's more like that I'm already in some other places but I'll always remember you, guys! 


5. Breakaway by Avril Lavigne

Sama seperti Toujours Un Ailleurs, ini seperti saya departing to somewhere else for the better. It's always for the better and I'll be missing you, guys!


6. Ghost by Justin Bieber

I love this song a lot! It's so meaningful, like it's saying "Please always bear in mind to spend your time with the people you love for we have no idea at all about what life might lead us to". 


7. Memories by Maki Otsuki

Ini perannya hampir sama seperti penutup cerita series anime itu. Kayak ada kesan bahwa ini menjadi a memorable farewell. 


8. Love Again by Dua Lipa

Setelah atmosfer low dan nyenyenyenye, lagu ini seperti awal untuk next chapter untuk mereka-mereka yang masih hidup. Life goes on as it naturally should. Let yourself dance to this song. 


9. The Nights by Avicii

Ini seperti pengingat seberapa berat pun hidup, masih ada hal baik untuk disyukuri. Lagu ini seperti lagu sejuta umat untuk menikmati hidup. 





Share:

Cerita Dari Londa, Toraja

 

Tau-tau, Londa, toraja, patung manusia
Deretan tau-tau di bagian luar Londa, Toraja


Salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat di Toraja adalah Londa, sebuah pemakaman Toraja yang berada di dalam gua. Beruntung ada kesempatan untuk berkunjung ke sana. Ada apa saja di tempat peristirahatan terakhir khas Toraja ini?


How to get there?

Makale dan Rantepao berjarak kurang lebih 8 jam perjalanan bus dari Makassar. Londa berada di perbatasan Makale dan Rantepao. Kalau dari Rantépao berjarak sekitar 20 menit, arah ke Makale, dan bisa ditempuh dengan naik angkutan umum. Nanti bilang saja turun di Londa, pasti supirnya paham.

Setelah turun dari angkot, mesti berjalan lagi sekitar satu kilometer. Jalan masuk dari jalan besar menuju lokasi tidak terlalu lebar tapi beraspal dan masih bisa untuk lewat kendaraan roda empat dan bus pariwisata. Dan sepi. Kebetulan pas sampai sana cuaca sedang mendung.


Tau-tau yang baru selesai dibuat


Sebenarnya berjalan satu kilometer itu biasa saja, apalagi kalau sedang traveling biasa jalan sampai 3-4 kilometer, sekalian menikmati pemandangan dan melihat-lihat aktivitas sosial di sebuah daerah. Tapi beda untuk satu kilometer yang satu ini. Entah karena kecapekan atau apa, jalan ke sana terasa sedikit seram. Apalagi jalan sendiri dan kiri kanan dominan pohon-pohon yang rimbun. Memang ada beberapa rumah, dan sesekali ada kendaraan wisatawan lewat, tapi tetap saja seram.


Yang paling mengejutkan adalah di tengah perjalanan, di sebuah simpangan tiba-tiba ada kakek-kakek tua pakai baju adat Toraja (tidak lengkap tapi tidak bisa dibilang baju kebanyakan juga, kayak baju orang tua jaman dulu) berjalan perlahan bertumpu tongkat. Tidak sengaja kedua mata kami bertatapan meskipun berjauhan, dan jujur sih, it's scary. I mean, entah beliau mungkin dari mana karena jarak rumah juga cukup jauh. Untung saja setelah itu ada sepeda motor lewat jadi sedikit lega.


Ada apa saja di Londa?

Akhirnya sampai juga di lokasi. Setelah bayar tiket masuk, ada beberapa yang menawarkan untuk menjadi pemandu. Banyak juga wisatawan mancanegara yang berkunjung. Ada yang memakai jasa pemandu, ada juga yang tidak. I recommend untuk hire pemandu karena mereka mengenal lokasi dan bisa memberikan informasi tentang pemakaman ini. Selain itu, pemandu juga dibekali senter (headlight). Apalagi jalan sendirian, tidak ada kawan kayak saya, tanpa pikir panjang langsung hire pemandu. Mungkin karena trauma saat berada di Kete Kesu, saat naik ke dalam gua dan sepanjang tangga banyak tengkorak manusia dan sangat tidak nyaman kalau berjalan sendiri dengan pemandangan seperti itu. Kami segera masuk ke kawasan pemakaman. Di sini hijau dan udara sejuk sekali. Setelah naik turun anak tangga, akhirnya sampai di depan gua.


Erong, Toraja, Londa, peti jenazah
Erong, peti jenazah khas Toraja, digantung di bagian depan gua Londa


Di depan gua bisa dilihat banyak sekali peti jenazah yang digantung, ditumpuk di bagian muka gua. Selain itu, ada semacam "balkoni" yang berisi patung-patung manusia. Peti-peti besar yang berbentuk rumah adat itu disebut "erong", sedangkan patung manusia itu disebut Tau-Tau. 


Semakin tinggi erong digantung, semakin tinggi pula status seseorang. Masyarakat Toraja percaya bahwa mereka hanya akan berganti kehidupan saja saat meninggal. Jadi, mereka akan membawa "beberapa" barang untuk dimasukkan ke dalam peti mati. Mungkin itu juga alasannya kenapa peti kaum bangsat digantung tinggi-tinggi, karena pasti mereka membawa banyak "bekal" yang dimasukkan ke dalam peti dan agar tidak dicuri.


Tau-tau adalah patung life-size yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan di Tana Toraja. Tau-tau dibuat dari kayu nangka. Alasan kenapa orang-orang memakai kayu tersebut adalah karena rayap tidak akan memakannya sehingga bertahan lama, juga, getah putihnya melambangkan status dan kebangsawan. Mereka dibuat dan dipakaikan baju yang colourful dan memandang ke bawah seakan mereka berada di balkon melihat ke bawah, ke rakyat mereka. Pas lihat ke atas balkon yang berisi tau-tau itu, perasaan kagum dan takut bercampur, terutama dengan tatapan mereka.


Toraja, Londa, gua, makam Toraja,
Salah satu sudut di dalam gua Londa, Toraja


Gua Londa memiliki panjang sekitar 700-1000 meter. Gua ini diperuntukkan untuk klan Tolengke dan sudah dipakai selama ratusan tahun. Kami berjalan ke dalam gua. Di dalam tentu saja gelap. Dan banyak sekali peti jenazah ditumpuk, dijejalkan ke dalam celah-celah gua. Tidak ada bau aneh-aneh meskipun kiri kanan kami penuh dengan jenazah orang meninggal. Ada banyak sekali rokok dan uang di sini. Dan pastinya, tengkorak dan tulang-belulang manusia.


Kami berhenti di sebuah tempat di mana ada dua  tengkorak, kata itu adalah peti pasangan muda (kekasih) yang saya-tidak-akan-mengatakan-secara-langsung karena terhalang restu orang tua. I was like "whaaaaaaat?" Kami lanjut menelusuri beberapa bagian gua. Sesekali harus ekstra hati-hati agar kepala tidak kepentok batu, dan tidak menyentuh sisa-sisa jenazah yang ada di sana. Ada juga peti yang masih baru, biasanya ditutupi kelambu. Dan itu yang bikin ngeri sebenarnya. I mean, lebih lega melihat tengkorak dan tulang-belulang daripada membayangkan jasad yang belum lama mati kan? Akhirnya kami berjalan kembali keluar gua. Jujur, saya juga tidak mau berlama-lama di dalam sana.


Sekembali dari dalam gua, ternyata ada beberapa orang sedang menyiapkan tau-tau untuk ditempatkan ke balkon. Cukup lama saya berdiam di sana, menikmati sejuknya udara dan menyaksikan orang-orang mengerek patung itu sampai akhirnya duduk manis di balkon. Puas, akhirnya saya meninggalkan kawasan Londa. Sayang sekali tidak ada ojek menuju jalan besar, dan bayangan jalan sendiri sejauh satu kilometer terlintas dan bikin merinding. Sore itu berkesan sekali.




note:

Perjalanan dilakukan pada pertengahan 2018, foto-foto merupakan jepretan penulis.

Share:

Melihat Babi Di Pasar Bolu Rantepao Toraja

Babi, pasar, hewan, Toraja
Babi siap antar. Lokasi: Pasar Bolu Rantepao Toraja


Toraja adalah salah satu tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Daerah ini menawarkan banyak hal, mulai dari peninggalan nenek moyang, upacara adat / tradisional yang menjadi agenda wisata, rumah-rumah adat sampai dengan pasar yang berbeda dari daerah lain. I was so lucky to have a chance to visit the region. 


Berangkat dari Makassar hampir tengah malam, bus melaju dengan kecepatan sedang menuju ke utara melalui jalan berkelok-kelok. Sekitar pukul setengah delapan pagi bus turun di Rantepao, dekat sekali dengan pasar hewan. Sebenarnya tempat pertama yang saya kunjungi adalah Rumah Tongkonan, tapi saya mau cerita tentang Pasar Bolu dulu (next post I'll be writing about them all). 


Anyway, jadi siang itu setelah puas melihat rumah adat, saya lanjut ke pasar bolu. Sebelumnya telah browsing tentang pasar ini. Basically, Pasar Bolu Rantepao ini adalah pasar hewan di mana kita bisa melihat banyak sekali kerbau untuk diperjualbelikan. Harganya jangan tanya. Mahal. Dan sepertinya, kerbau menjadi hewan ternak yang cukup umum di Toraja dan Sulawesi Selatan pada umumnya, karena saya pernah lihat kerbau saat mengunjungi Benteng Somba Opu. Jadi saat tiba di sana, tidak begitu kaget dengan pemandangan kerbau mulai dari warna lumpur sampai pink dengan corak hitam. Meskipun tidak seramai seperti yang pernah ditayangkan di televisi, namun pasar ini cukup riuh dengan hiruk-pikuk pengunjung. 



Babi, pasar, hewan, toraja
Potong rambut dulu, guys. 


Sampai akhirnya saya mendengar bunyi "ngok ngok" yang sedikit samar oleh bunyi kendaraan dan orang-orang. Dan ternyata, masih di kompleks pasar itu terdapat tempat penjualan babi. Banyak sekali orang yang menjual babi di sana. Jadi ada semacam petak-petak seperti umumnya di pasar tradisional, tapi dengan tembok setinggi lutut. Di dalamnya banyak babi yang "mager" menunggu pelanggan. 


Ada beberapa babi berwarna hitam yang diatur sedemikian rupa (lihat di gambar), dan penjual dengan rajin menggunting rambut di sekujur badan mereka. Saya bertanya kenapa babinya di-trimming rambutnya. Dan ternyata alasannya adalah agar pembeli mengetahui seberapa gemuk babi yang akan dibeli. Ini karena babi rambutnya bisa tumbuh lebat dan menimbulkan kesan "menang bulu aja" sehingga pembeli akan enggan membeli. 


Pandangan beralih ke babi yang berwarna pink. Jenis babi ini terlihat "gemoy" sekali karena warnanya yang pink cerah dan soft, serta badannya yang gemuk. Kebetulan saat melihat-lihat, ada pengunjung bapak-bapak yang membeli satu ekor babi dan dengan cekatannya babi tersebut diletakkan di jok motor untuk dibonceng ke rumah. Yang bikin kagum adalah bagaimana babi tersebut bisa dibonceng tanpa bikin motor oleng mengingat besarnya ukuran hewan itu. Saya cuma bisa melongo dan sesekali bilang "wow" saking takjubnya. I mean, it was my very first time to see all those things. 


Lombok, Toraja, cabe, katokkon
Cabe katokkon, cabe khas Toraja


Puas dengan perbabian, saya berjalan ke luar pasar melewati orang-orang yang menjajakan dagangan lainnya seperti makanan dan sayur-sayuran. Saya berhenti di tempat bapak-bapak menjajakan dagangan sayur seperti tomat. Ternyata itu adalah lombok katokkon, cabe khas Toraja. Cabe ini sangat pedas dan bapaknya dengan senang hati memberikan satu buah untuk dicoba. Tentu saja, saya tidak mau mencobanya lagi. Kurang tahu apakah cabe ini hanya ada di Toraja atau bisa didapatkan juga di kota-kota lainnya.


Pasar tradisional adalah salah satu tempat yang harus dikunjungi apabila ingin mengetahui aktivitas warga lokal. Mulai dari kegiatan niaga sampai dengan komoditas (hasil bumi, kerajinan, makanan, hewan, dll) semua bisa dilihat di pasar tradisional. Dan Pasar Bolu Rantepao adalah pasar tradisional terunik yang pernah saya kunjungi. Hope I could go there again someday. 


Share:

Sehari Di Karangasem

Pura, Lempuyang, Gates of Heaven, Bali
Salah satu sisi area Pura Lempuyang


It's just undeniable kalau Bali punya hampir segalanya dan seakan tidak pernah habis untuk dijelajahi. Kali ini saya mau share tentang jelajah sehari di Karangasem, sebuah region yang berada di timur Pulau Dewata. Ada tiga tempat yang dikunjungi, yakni Pura Lempuyang, Taman Tirta Gangga dan Pura Goa Lawah. 


Pura Lempuyang

Berangkat dari Seminyak dan harus sabar dengan kemacetan, berhenti sejenak jemput kawan di Sanur, dan setelah sekitar 3 jam lebih perjalanan, akhirnya sampai juga di tujuan pertama (dan terjauh), yakni Pura Lempuyang. 


Pura ini sangat terkenal karena banyaknya pengunjung yang post foto-foto dengan pemandangan belakang sepasang gapura Bali dan Gunung Agung di kejauhan. Pura ini juga dikenal dengan Gates of Heaven atau Gerbang Surga, mengacu pada salah satu gerbang dengan banyak anak tangga seakan menuju surga. Tapi yang paling terkenal adalah foto dengan latar belakang Gunung Agung. Meskipun ternyata memang efek bayangan air di foto-foto itu hanya edit / trik belaka, tapi itu tidak menyurutkan orang untuk mengunjungi tempat ini. Demi foto bagus, setidaknya.


Pura, Lempuyang, Gates of Heaven, Bali
Pura Lempuyang, Bali


Hari itu ramai sekali pengunjung, bahkan pak sopir kesulitan menemukan tempat parkir. Setelah tiba, kami langsung menuju loket untuk beli tiket masuk. Seperti tempat-tempat suci lainnya di Bali, setiap pengunjung harus pakai kain buat penutup. Kawan dapat kain motif Bali, and I got this colourful one, motif pelangi. FYI, please jangan sampai kain penutupnya dilepas ya, apalagi dikibar-kibarin. Selain itu, untuk wanita yang sedang datang bulan tidak diperkenankan masuk. Aturan-aturan ini sepertinya berlaku di banyak tempat di Bali terutama kawasan pura. 


Kami berjalan beberapa menit untuk sampai di kawasan utama di mana setidaknya seratus orang mengantre untuk berfoto. Mereka berdiri, berbaris di sebuah gazebo yang terletak di sisi kiri gapura. Entah mereka sudah di sana sejak kapan, tapi yang pasti butuh waktu yang lama kalau ingin berfoto seperti yang di Instagram itu. Kami cuma melihat-lihat juru kamera memberi arahan sambil pencet-pencet tombol dan rupanya ada cermin di lensa kameranya dan itu yang memberikan efek bayangan sempurna di foto. Hari itu cukup cerah dan Gunung Agung terlihat puncaknya. Apakah kami memutiy untuk mengantre? Tentu saja tidak! Kami hanya foto-foto di deretan Gates of Heaven (karena kebetulan Pintu Surga sedang ditutup) dan ngobrol dengan para pengunjung yang tidak berfoto. 


Pura Lempuyang ini adalah salah satu pura agung di Bali. Pura ini dibangun sekitar abad kedelapan. Dari namanya, pura ini berarti Sinar Tuhan (lempu: sinar; Hyang: Tuhan). Menarik karena lokasi pura ini ada di sebelah timur, arah dari mana matahari terbit. 


Taman Tirta Gangga


Tirta Gangga, Bali, taman air
Taman Tirta Gangga, Bali


Setelah puas di sini, kami menuju tempat berikutnya: Taman Tirta Gangga. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit dari Pura Lempuyang. Tidak ada aturan memakai kain penutup / selendang untuk memasuki kawasan ini. 


Taman Tirta Gangga ini dulunya adalah taman air milik Kerajaan Karangasem. Namun sekarang dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Yang paling terkenal dari tempat ini adalah kolam dengan beberapa pijakan batu di mana pengunjung bisa berfoto sambil memberi makan ikan di sana. It looked so cool on Instagram posts. Dan memang iya. Hanya saja orang harus bersabar untuk antre di spot itu, dan pastinya dengan banyak "cameo" karena banyak sekali pengunjung. Selain itu, pengunjung bisa memberi makan ikan di kolam sebalahnya. Hanya sebentar saja waktu yang kami habiskan di sini dan langsung lanjut ke tempat berikutnya.


Pura Goa Lawah

Tujuan ketiga adalah Pura Goa Lawah. Pura ini menarik karena dibangun di kawasan gua, di mana ribuan kelelawar bersarang di dalamnya. Nama gua ini berdasarkan hewan tersebut yakni "lawah" yang berarti kelelawar dalam bahasa Bali. Selain itu, pura ini terletak dekat laut, tepat di seberang pura ini kita bisa melihat laut dan jika cuaca cerah bisa lihat juga pulau Nusa Penida di kejauhan. 


Kami beruntung karena saat berkunjung bertepatan dengan upacara sembahyang. Kami menyaksikan prosesi sembahyang umat Hindu Bali dari awal. Orang-orang berdatangan dengan baju Bali dan sesaji di tangan / di kepala mereka. Setelah itu mereka mempersiapkan sesaji dan menatanya di area sembahyang yang berada di depan gua. Setelah semua siap, sang pendeta memimpin sembahyang. Terasa hening sekali saat sembahyang berlangsung. Terakhir, pendeta memberikan air yang sudah diberikan doa untuk di-splash-kan ke kepala jemaat. Terakhir mereka membereskan tempat sembahyang namun meninggalkan sesaji di sana. 


Pura, Goa Lawah, Bali, sembahyang Hindu
Masyarakat tiba di Pura Goa Lawah untuk sembahyang


Dibandingkan dua tempat sebelumya, Pura Goa Lawah sepi pengunjung. Hanya ada kami berdua dan sepasang wisatawan asing yang beekuy. Namun, justru itulah yang lebih memberikan kesan. Tidak hanya foto-foto namun juga bisa melihat lebih dekat dengan budaya lokal. 


Seperti pura-pura kebanyakan, pengunjung diwajibkan memakai kain penutup sebelum masuk area pura. Selain itu, wanita yang sedang haid tidak boleh memasuki pura. Dan ada beberapa area di dalam pura yang tidak boleh dimasuki untuk menjaga kesucian.


Oh iya, topografi di timur Bali ini naik turun dengan jalan berkelok-kelok. Kami sesekali berhenti melihat pemandangan tegalan dan sawah dari pinggir jalan. Bagus sekali. Hijau dan berpola, tidak jauh berbeda sih dengan pemandangan di Jawa. Sebenarnya ada satu lagi tempat untuk dikunjungi. Namun kami sudah sangat lelah sekaligus bahagia dengan ketiga tempat yang kami kunjungi dalam sehari.


Overall, it was such a good day well-spent in Karangasem. 



*Disclaimer: trip ini dilakukan sebelum pandemi COVID-19


Share:

Watching Balinese Offerings at Goa Lawah Temple

Temple, Bali, Balinese, Goa Lawa, cave, bats cave
People praying at Goa Lawah Temple, Bali

As nothing much to do in Tirta Gangga water garden, we decided to go to the next place, the last one to visit. It's called Pura Goa Lawah (Goa Lawah Temple). After around 50 minute drive we finally reached the place. 


Goa Lawah Temple is a temple located in a cave in which thousands of bats are nesting. The name itself means Cave of Bats. The temple was built in eleventh century by Mpu Kuturan, a Hindu priest.


It's a unique place as we could see the nature, Balinese art and spiritual activities in one place. It's located near to the sea, moreover, the temple was built in front of the cave. A specified area for praying was set in front of the cave mouth. 


We were lucky then as we could see the people praying, from the beginning till done. It was my very first time to see how Hindu Balinese prayed. The people started coming to the temple with ritual offerings in hands or stacked on the head (the ladies usually did it). Then they arranged the offerings nicely at the spot in front of the cave. After all was set, the priest led them pray. It was calm, silent and serene when they started praying. The ritual continued with the priest giving splashing kind of holy water to the members. It ended up with people cleaning the area but leaving the offerings.


Some points we need to notice before entering the temple. First, we need to wear cloth / sarong to cover the lower part of our body. Second, women in period (menstruate) is not allowed to enter the temple. It's a part of keeping the temple clean and to respect the sacred of the place. And third, we have to stay aware of what area we cannot trespass. It also applies to many other places especially temples in the island. 


Share:

Enjoy the Water Garden of Tirta Gangga, Bali


Water garden, Tirta, Gangga, bali
Tirta Gangga water garden, Bali


After spending at least two hours at Lempuyang Temple, we went to the second place, still in the region of Karangasem, which was basically a water garden. It's Tirta Gangga. It's also one of the most Instagram-posted places in Bali. You know a lady sitting on the stone steps on the pond with fish surrounding her? Yup. That's the place.

On the way there we dropped by for a minute to have a rice-field view from the road. Just so you know, it's a winding road in Karangasem. From the uphill road we could see the view down the hill and feel the breeze through the window. It's way colder here than in Denpasar area, as it's at higher altitude. We reached there after 30-minute drive.  

The name of Tirta Gangga means the water of the Ganges. Maybe because both Bali and India has something in common--Hindu--so it means more like the holy water of Ganges. Tirta Gangga used to be a private water garden belonging to the kingdom of Karangasem. The most recognisable spot of this place is that one pond with a distinct fountain at the center in which the visitors can go across the pond by walking on the stone steps. You have to be patiently waiting tho to take some pictures at this spot. We decided to chill at the other pond, feeding the fish with our feet got soaked in the pond.

Otherwise, you can walk around the area seeing the flowers, feeding the fish, or looking at the view from the compound at the upper level and take some pictures. Is that it? Yes 😄 Maybe some of you who has been there can let me know what else to do. 



Share:

Crazy Line Up at Lempuyang Temple Bali

Bali, temple, lempuyang, gates of heaven
Lempuyang Temple (Gates of Heaven), Bali


When it comes to Bali, there's always something to talk about. Happy hour, sunsets, beaches, exclusive villas, food, cultures, and of course, Balinese temples. That's one of the main attractive icons of the island. 


Lucky I had a chance to visit one of the most Instagram-posted places in Bali. It's Lempuyang Temple, the complete name is Pura Penataran Agung Lempuyang. Maybe some of you will ask "which one?". Maybe you once saw some photos of a person/ couple standing or posing yoga and things in front of a Balinese gate with the background of a magnificent mountain. In addition, the mirror-like reflection from the water below them makes it look dramatically beautiful. Even that particular photo spot is called as Gates of Heaven. 


The thing is, it's just too good to look real. And yes, in 2019 it was revealed that those pictures taken were faked. Especially, when it comes to mirror-like reflection as there's no water compound whatsoever. It's edited by the photographer using mirror that was put below the camera lense. Apparently, the tourist who was revealed it got disappointed because they felt they got false information. 


And then?


That's it. People keep coming anyway, including me. So I took a car from Seminyak that morning in July. The air was hot and humid then. I fetched my friend on the way there. We planned to visit three places in one day, with the first one was Lempuyang Temple, the furthest, then it continued with the second place (Tirta Gangga) and third one (Gua Lawa) on the way back. It took around five hours from Seminyak to Lempuyang Temple. It was so crowded that even the driver could barely find a place to park. 


Right after we dropped out of the car, we approached locket to buy the tickets. Just like many other temples in Bali, the visitors were obliged to cover the body with cloth as a respect to the place. It took around 5 minutes from the entrance to the Lempuyang Temple. Once we got there, we were like shocked by the crowd. We finally saw the gate the people were talking about. And we saw visitors posing in front of the gate with a cameraman tapping the screen whatsoever of the camera, while  giving instructions to the photo object. 


video: people lining up for pictures at the gates


There's a pendopo (gazebo-like building) next to the gate where we could see at least one hundred people lining up in zig-zag "S" flow, queueing for their turn to take pictures at the gate. Not to mention, they had to pay for it. We were like "It's crazy, how long will they get to their turn?" Of course, we didn't want to join them as it's gonna take the whole day for it. Just, nah. I asked one of the visitors since when they've been there and they said it's been two hours already. Well...


Anyway, we decided to hang around the area but not joining the line (for sure!). The was cloud covering half of the mountain, and we didn't see it as worth to wait. We still had two more places to visit anyway. However, there's a spot that was beautiful to take some pictures at. It was behind the pendopo and it has stairs up to the main temple. We decided to just chill over there. We couldn't enter the complex as it's sacred place, but it's okay. 


So, is Lempuyang Temple worth to visit? Yes. At least for once in a lifetime. We didn't get disappointed by the fact that the photos tricked or were faked or edited whatsoever. Especially when we know it's posted on Instagram LOL. Maybe some people just want to make some beautiful memories through photographs, and aesthetic is becoming the main elements in most pictures taken nowadays.  Just, enjoy it as long as you can. 




Disclaimer: the trip was taken before COVID-19 pandemic.
Share:

Melihat Ular Suci Tanah Lot


Ular, suci, tanah Lot, bali, ular laut
Pertama kali menyentuh ular suci Tanah Lot.

Siang itu saya dan kawan saya memutuskan untuk mengunjungi Tanah Lot, Bali. Rencananya, kami mau menyaksikan matahari terbenam di sana. Mobil taksi daring meluncur dari Kerobokan menuju Tanah Lot. Butuh waktu sekitar 30 menit menuju ke sana. 

Sesampainya di sana, kami langsung menuju kawasan pantai yang, sebenarnya tidak berpasir bagus seperti pantai Seminyak atau Kuta. Tanah Lot berpasir hitam dan berbatu. Banyak sisi-sisi bebatuan yang licin sehingga harus ekstra hati-hati. 

Kami mencoba mengunjungi pura yang berada di bukit batu. Bukit ini apabila laut pasang terlihat terpisah dari daratan utama, namun untungnya saat itu sedang surut sehingga memungkinkan untuk berkunjung. Sebelum masuk, kami didoakan di mana penjaganya mengusapkan beras yang bisa nempel seperti stiker kulkas di kening dan dahi. Setelah itu kami naik ke atas pura. Cukup bagus pemandangan dari atas bukit, meskipun jalannya sempit. Sayangnya, kami tidak bisa masuk ke dalam pura untuk menjaga kesucian tempat ibadah itu. Anyway, it was cool enough tho.

Ternyata di pantai dekat bukit batu tadi ada gua di mana kita bisa melihat seorang penjaga dengan ular sucinya. Penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk masuk. I thought about ular phyton besar saat mendengar kata-kata ular suci. Namun, di luar dugaan karena ular suci yang dimaksud ternyata ular laut. Yes, it was a sea snake. Banded sea krait. Dengan motif belang-belang hitam putih di tubuhnya dan ekornya yang pipih dan licin seperti ekor ikan, ular suci itu terlihat "tenang" di samping sang "pawang". Ada semacam lubang di samping sang pawang yang merupakan tempat tinggal ular (sepertinya). Menurut cerita, ular suci ini adalah jelmaan selendang Dang Hyang Nirartha, seseorang yang dulunya bertapa di gua ini. Adanya ular ini adalah agar beliau bisa bertapa tanpa adanya gangguan. Namun sekarang, tinggal ular suci ini yang mendiami gua.

Si bapak meyakinkan saya untuk menyentuh si ular. Saya pernah melihat ular laut sebelumnya setidaknya dua kali, saat masih di Papua Barat. Pertama, saat berenang di pantai dan kami semua langsung semburat berenang ke tepi sampai ngos-ngosan saat melihat ular laut naik ke permukaan menuju karang untuk mengambil nafas. Kedua, saat sedang sendiri di tepi pantai dan ular itu tersapu ombak besar sebelum kembali ke laut. Dari informasi baik itu dari buku atau para penyelam, ular laut ini sangat berbisa dan bisa membunuh dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada durasi album Chromatica. Jadi, tentu saja, tidak ada niatan untuk mencoba mendekat apalagi menyentuhnya. 

Tapi sore itu berbeda. Dengan sedikit deg-degan, saya mencoba untuk menyentuh ular suci itu. Tentu saja dengan si bapak tetap memegang ular itu, semantara tangan satunya memegang sebat dengan santainya. It's not safe. At all😄 Rasanya? Sama seperti ular kebanyakan, hanya saja ini lebih licin. Di samping itu, ekstra hati-hati juga. Sebenarnya memang harus begitu sih, selalu menganggap semua ular itu berbisa. 

Terlepas dari cerita dan kepercayaan di baliknya, personally saya khawatir dengan si bapak itu. Takut tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi. Maksudnya, sejinak-jinaknya ular tetaplah hewan buas / liar. Apalagi itu ular laut. Tapi mungkin juga ada faktor-faktor lainnya yang membuat kemungkinan itu lebih kecil. Seperti fakta bahwa sebenarnya ular laut menghabiskan waktunya di air daripada di darat, mungkin juga ular suci itu jadi tidak semengerikan yang saya bayangkan, setidaknya bagi sang penjaga.





Share:

Cerita Singkat Di Kota Tua Ampenan

Kota, tua, Ampenan, lombok, Nusa tenggara, barat
Salah satu ruas jalan Kota Tua Ampenan

Pertama kali menginjak Pulau Lombok, to be honest, I had no idea at all what to do other than staying in one of the Gili's. Setelah kapal berhenti di pelabuhan Lembar, Lombok Barat, saya langsung keluar pelabuhan dan disambut dengan banyaknya bapak-bapak yang menawarkan mobil travel menuju Mataram. Setelah berjalan cukup jauh, sekitar 2 kilometer dari pelabuhan, akhirnya saya bisa menemukan angkutan umum jurusan Mataram. Entah sebuah kebetulan atau gimana, I Googled apa-apa yang menarik di sini dan tibalah di Kota Tua Ampenan.

I went there sekitar dua minggu sebelum gempa besar Lombok tahun 2018. Singkat sekali waktu yang dihabiskan di sini. Menurutku Kota Tua Ampenan tidak kalah bagus dengan kawasan kota tua di daerah lain. Di sini banyak bangunan tua dan peninggalan kolonial, beberapa ruas jalan jarang dilewati kendaraan sehingga cukup nyaman untuk dijelajahi hanya dengan jalan kaki. 

Banyak toko-toko yang jual makanan di kawasan ini. Saya mencoba mencicipi salah satu kedai mie dengan citarasa oriental. Bangunan-bangunan tua bagus sekali untuk dijadikan objek fotografi. Yang menarik di sini adalah masyarakatnya yang heterogen. Ada Jawa, Tionghoa, Bugis bermukim di sini, di samping suku-suku lainnya. Mungkin karena dulu kawasan ini adalah pelabuhan / dekat dengan laut, di mana kontak langsung dengan dunia luar terjadi melalui perdagangan.

Signage, penunjuk jalan, Kota Tua Ampenan, Lombok, nusa tenggara, barat
Penunjuk jalan dengan 3 bahasa di Kota Tua Ampenan, Lombok

Selain itu, saya menemukan signage jalan yang menggunakan aksara Latin, huruf Jawi dan aksara Bali. Di signage itu tertulis "Jl. Niaga" dalam huruf Latin dan Bali yang masing-masing bisa saya baca dan pahami. Tapi, untuk huruf Jawi hanya bisa membaca Niaga saja. Kata pertama mungkin bahasa Sasak atau bahasa lainnya. I'm not sure

Jujur, ingin sekali mengunjungi kota tua ini sekali lagi. Menghabiskan beberapa hari, melihat dinamika aktivitas keseharian dan merasakan beberapa kuliner yang belum sempat saya coba. Tak lupa, matahari sore sayang untuk dilewatkan menyambut senja. Semoga.

Share: