“JB Central
how much, Uncle?” aku masukin beberapa koin dollar Singapore
ke mesin yang seperti celengan di depan tempat sopir bus SBS di Woodlands.
“One
forty (SGD1.40), too much money.” Jawab uncle bus sambil pencet-pencet tombol
keluar tiket. Ada dua kali bunyi tiket keluar. Ternyata aku tadi masukin tiga
dollar untuk tiket seharga satu setengah dollar. Aku bengong dan lebih lagi
uncle bus juga mulai spaneng melihatku berdiri membatu di depannya.
Aku bisa melihat tatapan matanya seperti berkata “Ya, kamu, orang gila, jangan berdiri ngeblok penumpang lain dan cepat cari tempat duduk di belakang sana!” Aku ambil dua potongan kertas mungil dari mesin tiket dan ke belakang dengan santainya. Aku kan sudah bayar, DUA lagi.
Ya. Aku melakukan perjalanan sendiri dan beli tiket untuk dua orang. Untung cuma tiket bus. Mungkin uncle bus itu mulai berpikir aku memiliki teman imajinasi yang terlalu nyata seperti film Beautiful Mind atau apa. Terserah. Anyway, this is my holiday story.
Jadi liburanku kali ini sendiri saja. Bukan karena dua orang kebanyakan ya, tapi memang teman-teman lainnya juga sudah merencanakan liburannya sendiri (which is mostly to Bali, like…okay). Tapi liburan sendiri juga mengasyikkan loh! Terlepas dengan rentetan drama yang terjadi, but at least, aku bisa melakukan apapun, pergi kemanapun, tidur jam berapapun, apapun, sesukaku, sesuka jam biologisku. Tidak seperti liburan beramai-ramai di mana terlalu banyak cincai-cincai.
Seperti liburanku ke Medan, di mana aku dan Indra layaknya pasangan gay yang
harus sabar dan waspada terhadap setiap gerak-gerik anak semata wayang mereka yang bernama Sari
karena penampilan anak gadisnya itu terlalu mengundang para pelaku kriminal sejagad
Sumatra. Dan aku bisa lihat Indra seringkali cannot tahan dengan ulah Sari. Oh,
Tuhan! Bukannya aku egois loh ya. It’s
just…you know, solo traveller is…way exciting!
Beberapa tempat yang akan aku kunjungi adalah Ho Chi Minh City (aku lebih suka menyebutnya Saigon. Lebih gampang), Siem Reap di Cambodia, Bangkok, Kuala Lumpur dan Melaka di Malaysia (meskipun yang terakhir tidak jadi aku kunjungi karena aku sudah menjadi gelandangan sejak di Bangkok).
Itinerary dan budget sudah siap (Omigod, thank you Vico telah merancangkan banyak hal terutama budgeting untuk liburanku. Hai para direktur BUMN yang punya preferensi dengan sekretaris lelaki, I have Vico to offer you!). Aku belum ada ide apapun tentang Saigon actually, dan yang aku tahu tentang Siem Reap cuma Angkor Wat yang ternyata satu DNA dengan Prambanan di Jogjakarta. Bangkok? Aku tidak sabar dengan naturism dan telanjang dan sebagainya. Kuala Lumpur? I’ll be fine, at least we speak the same language. Melaka? So bad, aku sudah jatuh miskin dan bahkan ada tagihan menyusul. Sialan.
Rute traveling kali ini adalah Batam – Singapore – Johor Bahru – Saigon – Siem Reap – Bangkok – Kuala Lumpur – Johor Bahru – Singapore – Batam.
Persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari seperti booking tiket pesawat. You know what, aku mendapatkan tiket pesawat ke Saigon (Ho Chi Minh City) dengan harga murah. Jauh lebih murah dari pada dari Singapore dengan dollarnya. Untuk rute JB-Saigon cuma MYR159 saja, bandingkan dengan keberangkatan dari Singapore yang mencapai SGD220! Jadi, karena aku lebih memilih harga yang masuk akal dan kantong, aku rela menyeberang ke Johor Bahru. Untuk tiket pulangnya aku booking rute Bangkok – Kuala Lumpur seharga MYR177 (I love you, Air Asia).
Rute dari Batam ke Singapore sama saja dengan rute yang diambil saat ke Phuket.
Route Saigon - Siem Reap - Bangkok tanpa melewati Pnom Pehn, dan naik bus. |
Perjalanan dari JB Central ke Senai Airport sendiri juga mudah. Naik taksi cuma 51 Ringgit, perjalanan ditempuh selama 20 menit. Aku sempat terkejut karena uncle taxi ternyata sangat fasih bahasa Jawa. Maklum, karena kedua orangtuanya berasal dari Jogjakarta yang berdiaspora ke Malaysia pada jaman penjajahan dulu. Jadilah obrolan singkat Jawa Inggris gaya Malay. Lucu sekali. Dia bercerita kalau ia dan istrinya masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Heran juga kenapa seringkali masyarakat jadi spaneng dengan budaya yang dipraktikkan di negara orang. I mean, memang ada komunitas Jawa di sana dan jumlahnya juga tidak sedikit. Harusnya selain marah kita juga berterima kasih karena setidaknya mereka berusaha melestarikan, mengingat generasi sekarang juga gampang-gampang susah untuk hal-hal berbau tradisional. Dan bukannya ada juga komunitas asli Indonesia di Amerika Selatan sana, belum lagi di Belanda yang juga tidak sedikit.