Kesalahan terbesar yang kulakukan ketika kakiku menginjak Negeri Jiran adalah aku terlalu mencintai dollar sampai aku lupa aku harus punya cadangan Ringgit. Pesawat ke Saigon berangkat jam 7.25 pagi dan aku tiba di bandara jam 10 malam. Masih ada 8 jam nganggur yang bisa aku habiskan dengan ….mungkin tidur atau…tidur…sumpah ngantuk sekali. Dan aku lapar!
“Any
money changer nearby?” aku bertanya kepada petugas
pusat informasi bandara.
“Kat sini Cuma satu saje. You belok kanan dekat arrival hall. It’s supposed to be open lah, biasanya sampe pukul sepuluh setengah.” Meyakinkan sekali mbak-mbak ini, mungkin karena dia petugas bandara jadi harus selalu terlihat seperti itu.
Aku pergi ke arah yang disebutkan tadi.
“Sialan.” Aku menggumam melihat money changer sudah tutup.
Aku periksa dompet lagi, mungkin ada sisa-sisa Ringgit, tapi ternyata Cuma tinggal uang kertas 1 ringgit dan beberapa koin sen. Bisa dibayangkan apa yang bisa didapat dengan selembar uang 1 Ringgit dan koin-koin menyedihkan itu di bandara selain tidak satupun. Dengan tekat bulat aku masuk ke KFC.
“Makan sini ke?” petugas KFC dengan agresif bertanya karena aku terlihat seperti dinosaurus kelaparan.
“Can I pay in….US dollars….?”
“Cannot”
“Keparat.” hampir saja keluar dari mulutku. Untung saja tenggorokanku bekerja sesuai norma jadi kata-kata ajaib itu bisa tertahan selama beberapa detik di sana. Akhirnya aku balik kanan dan mencari tempat duduk di depan mushollah. Aku aktifkan WiFi. Sialan, WiFi pun tak ada.
Aku merogoh-rogoh tas, berharap keajaiban terjadi di dalam sana. Tadaaaa! Big Mac!
Of course, not. What the...
Aku menemukan roti yang aku beli di Tanah Merah Ferry Terminal sesaat setelah aku sampai Singapore sore harinya. Roti seharga 2 dolar ini lumayan juga, ada kismisnya. Tapi sayang, mungkin karena di Singapore segala sesuatu sangat mahal jadi pabrik roti hanya pakai bahan tepung terigu dan air saja ya. Maksudku, sumpah deh, apa di salah satu negara terkaya sejagad ini lagi krisis mentega atau telur sampai-sampai roti dua dollar ini sekali dicuil langsung bubar jalan dan berubah menjadi remah-remah?!
Karena aku selalu kreatif (sebenarnya biar tidak terlalu menyedihkan dan membosankan) maka aku buka set pack berisi peralatan makan dan memakan REMAH-REMAH roti itu dengan sumpit. Oh Tuhan, ternyata menyedihkan sekali!
Aku suka sekali dengan peralatan set pack ini. Aku membelinya di Greenbelt, salah satu mall terbesar di Makati waktu aku ke Filipina Februari lalu, seharga 200 Peso. Isinya ada sendok, garpu, dan sepasang sumpit. Aku beli karena aku pernah melihat punya Ade (rekan kerjaku dulu), jadi aku beli juga.
Karena sudah mulai eneg dengan remah-remah, aku memutuskan untuk keliling bandara. Senai Airport itu kecil, seperti Hang Nadim. Cuma bedanya, kalau Senai punya banyak penerbangan internasional dan penerbangan juga ada sampai tengah malam, tidak seperti Hang Nadim yang cuma punya SATU rute internasional (yang bahkan 1 dari 2 maskapai yang beroperasi memutuskan gulung tikar karena sebab-sebab yang sudah pasti bisa diduga yakni kurang penumpang) dan sudah sunyi senyap setelah jam 10 malam.
Aku tertidur selama beberapa menit, bangun lagi, tertidur lagi sampai akhirnya mata melek total pada jam 5 pagi.
Aku mendatangi mesin self-check in dan langsung bergegas menuju ruang tunggu. Ternyata penumpang pesawat tujuan Saigon belum diperbolehkan masuk. Aku bisa melihat ekspresi wajah-wajah lelah dari orang-orang Vietnam yang sudah sejak tadi berkumpul di depan petugas seperti antre beras murah.
Tak lama kemudian pintu dibuka. Aku buka WiFi dan yey, ada koneksi!!! Aku bahkan tidak peduli ada beberapa penerbangan yang ditunda karena kabut asap karena saking asyiknya dengan koneksi yang super cepat (dan gratis) ini. Sampai akhirnya tiba waktunya untuk terbang ke Saigon. Not bad for killing time!
Aku sampai di Saigon pukul 8.50 pagi waktu setempat. Pertama kali yang aku lakukan adalah mendatangi money changer dan menukar beberapa dollar ke VND. Banyak sekali yang aku dapat, bahkan ada pecahan VND200,000!
Selanjutnya aku mendatangi kaunter SIM Card di mana banyak juga wisatawan dari Malaysia yang beli kartu untuk kemudahan koneksi. Ada beberapa pilihan, yakni SIM Card seharga VND190,000 dengan kuota 600MB untuk pemakaian tujuh hari tapi tanpa SMS atau telpon. Itu yang paling murah. Ada juga yang seharga VND290,000 dengan fitur internet dan telpon, Dan ada juga yang lebih mahal. Aku memilih paket yang lebih murah karena aku tidak akan menghabiskan kuota sebanyak itu selama tiga-empat hari di sini kecuali aku melakukan video seks 24 jam nonstop (But, still! I mean, Come on!!!!!).
Dari bandara aku naik bus menuju kota. Sebenarnya jarak bandara Saigon (aku tidak bisa mengingat namanya . Terlalu rumit!) ke pusat kota tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 10 km saja. Kalau naik bus Cuma harus bayar VND5000 saja sekali jalan. Kalau naik taksi bisa sampai VND200,000 (tidak, terima kasih). Busnya juga tidak terlalu buruk. I mean, tidak ada aircon sih tapi it’s okay. Dan pintunya otomatis! Cukup mutakhir untuk ukuran bus kota reot seperti itu.
Sekitar 20 menit di bus, akhirnya sampai juga di terminal dekat dengan Ben Than Market. Para penumpang yang mayoritas turis dari Malaysia, Jepang dan beberapa bule Eropa langsung semburat ke tujuan masing-masing.
Aku memutuskan untuk ke Ben Than Market dulu, barangkali ada yang bisa dibeli. Ternyata tidak ada. Aku pikir mungkin nanti saja aku beli sesuatu di sini. Aku memutuskan untuk menelusuri jalan-jalan Saigon. Dari Ben Than Market aku memutuskan untuk belok kiri menuju Calmette. Dari situ aku berjalan lurus sampai tiba di Bitexco, gedung tertinggi di Saigon di mana ada observation deck di lantai 40 tapi harus bayar tiket VND200,000 untuk pemandangan 270 derajat kota Saigon.
Aku memutuskan singgah di salah satu café untuk makan siang dan minum kopi Vietnam. Aku Cuma menghabiskan tak lebih dari 5 sendok makan menu makan siang yang aku pesan karena rasanya sangat tidak masuk akal dan akhirnya aku mencoba kopi Vietnam. Pahit sekali. Cannot tahan! Untung saja mereka memberikan teh (dicampur es batu) tawar khas Vietnam dan itu sangat melegakan. Ditambah mereka memberikan es krim sebagai hidangan penutup. Okay, not really bad. Aku membayar bill VND65,000 untuk pesananku dan membuat kasir café itu terkejut ketika aku memberikannya pecahan 10,000 Rupiah sebagai remembrance (“Ini berapa kalau di Vietnam?”|”Sekitar VND16,000”|”Wow!! Terima kasih”| “Sama-sama”)
Setelah makan siang, aku melanjutkan jalan lurus dari arah Bitexco, yang ternyata mengarah ke Sungai Mekong. Aku memutuskan balik kanan dan berjalan ke arah Ben Than Market lagi, melewati taman menuju Pham Ngu Lao, pusat kawasan hiburan di Saigon. Untung ada GPS, jadi dengan mudah aku bisa sampai ke tempat ini, meskipun aku terlihat seperti turis gila karena berjalan dengan menatap layar hape ketimbang lihat jalan di depan.
Aku mencari tempat penginapan di sini. Banyak sekali penginapan dan hotel dengan harga yang bervariasi. Aku memutuskan untuk stay di Gotcha, sebuah penginapan yang letaknya tepat disebelah bar dan night club (cuma terpisah tembok saja!). Harganya cuma USD6.00 saja atau VND120,000 per malam termasuk sarapan (aku tidak pernah sarapan, anyway). Itu untuk harga kamar dormitory (sekamar 3 orang), kalau untuk private room harganya USD16.00 per malam, dengan luas kamar kira-kira sama dengan tipe dorm hanya saja ini “private”. Aku memilih tipe dormitory saja karena bahkan tempat tidurnya sama saja dengan tipe private, dan pastinya aku tidak mau mati bosan sendirian di kamar. Beberapa saat setelah aku masuk, ada 2 traveller lagi dari UK stay di kamar. Yey, ada teman. Kubilang juga apa!