L-R: Rangga-Indra-Rudy |
Di Nagoya Hill aku sibuk memilih sepatu. Ya. Aku sudah lupa sebenarnya tujuan awal kami berdua ke sini untuk apa, yang pasti di depan mata sudah ada sepatu-sepatu yang berteriak “Take me! Take me!” seperti dalam telenovela “Maria Belen” yang seisi panti asuhan berebut orangtua asuh. Intinya, kalau ke mall jangan pernah sok-sok direncanakan deh mau beli apa karena sesampainya di sini semuanya “selesai”. Buyar.
“Kamu beli apa?” Rudy bertanya padaku.
“Nih,” jawabku sambil mengangkat tas berisi sepasang sepatu. Ekspresi dia sepertinya bukan untuk menerima jawaban sepatu. Anyway aku tidak ambil pusing. Yang penting besok ke Phuket, that’s all.
Entah karena semingguan bekerja dan stress atau kenapa, seringkali kita ke mall cuma untuk beli sesuatu—makanan, minuman, baju, kebutuhan yang lain—and that’s it.
Dan kalau dipikir-pikir itu sangat membosankan, memuakkan, dan yang paling menyedihkan adalah kita akan mengulanginya lagi minggu depannya. Atau bahkan besok. Apalagi mall di Batam yang jumlahnya bahkan masih lebih banyak jumlah jari di satu tangan. I mean, bagaimana bangunan beton itu bisa menampung satu juta lebih masayarakat Batam? Pastinya tidak akan kaget kalau kita bertemu dengan mantan pacar, atau mantan teman tidur, atau mantan teman tidur satunya, atau yang satunya lagi, atau mantan teman tidur mantan pacar, dan mantan-mantan lainnya.
Oh, what did I say? Yup! I’m going to Phuket! For holiday!
Okay, jadi aku dan dua temanku, Rudy dan Indra, akan melakukan what so called as salah satu “ibadah puncak” karena di sana akan diadakan “Phuket Pride”, salah satu festival gay yang terkenal di Asia Tenggara. Phuket Pride diadakan setiap tahun di minnggu terakhir bulan April. Biasanya selama satu munggu. Persiapan sudah dilakukan beberapa minggu sebelumnya, mulai izin cuti, pemesanan tiket ferry (cuma SGD32.00 pulang pergi, termasuk tax) dan lain-lain. Untungnya kami bertiga beda department so bisa ambil cuti bareng-bareng. Dan untungnya Rudy sebelumnya sudah pernah ke Phuket jadi aku dan Indra cuma ngikut dia aja.
Esoknya, sekitar jam sembilan pagi kami sudah siap “berhijrah” seperti perjalanan ke Barat mengambil kitab suci dalam kisah “The Monkey King” dan Rudy sebagai Bhiksu Tong-nya.
Perjalanan kami diawali di Nongsa Pura Ferry Terminal, di mana kami akan menyeberang selat Singapore selama setengah jam dan tiba di negeri seberang. Karena ini kali pertama saya ke Singapore, petugas imigrasi menggiring saya ke pengecekan sebelum diijinkan masuk. Sekedar tahu aja, kalau baru pertama kali masuk Singapore, maka siap-siap aja “kena jaring”, apalagi yang namanya –sorry to say—mengandung unsur-unsur Arab, namanya cuma ada satu (like “Michael” instead of “Michael Faraday”), atau bajunya masuk dalam kategori “perlu diperiksa” .
Sempat was-was juga sih takut kalau-kalau aku berujung dengan kembali ke Batam dengan membawa stempel “REJECTED” di passport. Tapi aku selalu mengingat pesan seperti di film “21”, “think caual, act casual, be casual.”
My first Singapore stamp. Please notice beberapa hal sebelum masuk Singapore |
Aku cuma duduk manis di situ selama 5 menit, nggak ditanya apa-apa selain mereka minta passport. Mungkin karena namaku juga lumayan netral (Rangga Yanwar Pratama) dan dari tampang lebih seperti target teroris ketimbang teroris itu sendiri, jadi mereka langsung mengembalikan passportku dan mengijinkanku masuk.
Setelah keluar ferry terminal, kami naik bus menuju Bedok, dan selanjutnya naik MRT sampai Woodlands. Kami sempat berkelakar selama di Singapore (yang selanjutnya menjadi kebiasaan) tentang bagaimana orang Singapore selalu berjalan “sangat cepat” karena takut ketinggalan MRT yang bahkan MRTnya bakalan ada 10 menit lagi. Bagaimana orang-orang bahkan harus “berjalan cepat di tangga berjalan” dengan alasan yang kurang lebih sama, bahkan eskalator di sana to be honest ya, lumayan cepat dari pada di Malaysia. Mungkin itulah kenapa orang sana bilang orang Malay itu slow. Lucu banget.
Sesampai Woodlands, kami melanjutkan naik bus menuju Johor Bahru. Anyway, imigrasi Malaysia tidak seketat yang ada di Singapore. Seperti di Indonesia, lempeng-lempeng aja. Setelah ritual “antri-stempel-cao!" selesai, kami naik bus ke stasiun bus di Larkin. Larkin seperti terminal Bungurasih di Surabaya, di mana banyak angkutan bus jurusan kota-kota di Semenanjung dan bahkan Thailand. Kami membeli tiket seharga 80 Ringgit untuk jurusan Larkin – Hatyai, kota di Thailand yang berbatasan dengan Malaysia.
Kami mampir dulu ke McDonald’s karena kami sangat lapar seperti imigran negara konflik. Restaurant cepat saji ini jadi tempat favorit ketika berlibur di kawasan karena menyediakan WiFi gratis yang bisa didapatkan di struk pembelian (which in the end is not free actually) biar cuma selama satu jam. Aku tidak ingat pukul berapa bus berangkat, mungkin pukul 6 atau 7 sore. Perjalanan akan ditempuh selama kurang lebih 12 jam.
Anyway busnya dingin banget, dan aku setengah mati harus nahan pipis. Thank God, tidak lama bus berhenti di rest area. Pak supir pun menyilahkan para penumpang dan bilang bus akan berhenti selama 10 menit. Sebelumnya aku sudah menyiapkan beberapa sen Ringgit. Indra dan Rudy tidak turun, mungkin kandung kemih mereka sudah diplester atau mereka pake popok, I dunno, yang pasti aku kebelet banget.
Pas di toilet, ada cowok yang tiba-tiba nongol di sebelah. Dan Omigod, aku langsung takut karena dia memandangku seperti “I know we can make it blablabla” and I was like “EXCUSE ME!!” Aku nggak mau berakhir di kantor polisi dengan luka bacok atau pipi lebam atau di rumah sakit karena mengalami pelecehan seksual tinggi di toilet umum di negeri orang, aku pun bergegas menuju bus. Sambil menggumam “keparat!” pastinya.