Coconut
Moon menurutku adalah salah satu guesthouse
di Patong yang sangat recommended.
Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Bangla Street dan pantai sehingga masih
ada ruang dan ketenangan karena hal itu sangat sulit didapatkan di daerah yang
lebih dekat dengan pantai kecuali mau merogoh dompet setidaknya 1,200 bath
setiap malamnya untuk kamar tidur, dan itu tidak mungkin bagi kami. Di samping
itu, mereka mengganti handuk dan tissue setiap harinya. What a luck!
Di sebelah
kiri penginapan ada 7 Eleven di mana
kalau kelaparan dan haus dengan mudah bisa menjarah minimarket ini, dan aku
beli sandal jepit Doraemon seharga 78 bath saja and I love it! Di sebelah kanan dan seterusnya, ada deretan guesthouse, lounge, restaurant (yang
pemiliknya adalah bule bapak-bapak tua yang mengedipkan mata ke Indra ketika
kami lewat), travel agent dan toko-toko souvenir khas Thailand.
Untuk traveller
yang memakan halal/kosher seperti Indra, tidak perlu khawatir karena di sini
banyak sekali makanan halal. Tentunya harganya sedikit lebih mahal, seperti
kebab yang kubeli seharga 100 bath di stand imigran Palestina tapi rasanya
memang sebanding. Itu adalah makanan paling murah. Sedangkan nasi goreng halal
harganya ada yang 150 dan 200 bath per porsi. Bandingkan saja, Indra pernah
sarapan entah menu halal apa seharga 250 bath sedang aku hanya merogoh 150 bath
saja dan sudah mendapatkan American breakfast. Overall, terlepas harganya lumayan
mahal, tapi masih lebih worth it
ketimbang makanan halal di kampong Melayu dekat Ben Tahn Market di Viet Nam, di
mana nasi gorengnya rasanya seperti piring melamin tempat nasi goreng itu
sendiri.
Selama di Phuket
banyak kawasan yang kami jelajahi, mulai toko-toko di pinggir jalan sampai
dengan Phuket Square atau Jungceylon. Di sini banyak sekali toko-toko souvenir
khas Thailand, mulai kaos, tas (aku beli 4 tas, Indra beli banyak), pashmina
(Indra beli entah berapa), gantungan kunci (kami memutuskan beli di toko pinggir
jalan karena harganya jauh lebih murah) dan masih banyak lagi. Tempat ini
seperti Kultura di Mall of Asia
karena barang-barangnya khas local dan dikemas apik. Jungceylon Square cukup nyaman,
bikin betah para wisatawan. Ada semacam tenda besar permanen di halaman mall
dan terlihat bagus dan tropis, apalagi ketika Phuket lagi hujan panas, sangat
membahagiakan.
Untuk
oleh-oleh / souvenir, sebenarnya di kawasan dekat Bangla Street terdapat lebih
banyak pilihan dan harganya juga lebih miring. Sayang banget kami (tepatnya aku
dan Indra) baru tahu di detik-detik terakhir. Yang harus dicatat adalah jangan
beli di toko yang penjualnya orang India, karena bakal dibujuk habis-habisan
sama mereka dan cenderung memaksa. Sangat tidak nyaman.
Oiya lupa,
di daerah Patong ada kawasan bernama Bangla Street, yakni jalan selebar 30
meter di mana di kanan-kirinya berderet pub,
Thai Boxing, club, restaurant, tattoo, gadis-gadis Russia dan lady boy Thailand yang cantik banget
memamerkan (dan memasarkan) tubuh seksi mereka. Nggak afdol kalau belum
merasakan Bangla Street. Tempat ini seperti Pub Street di Siem Reap, tapi
jauuuh lebih bagus dan menarik. Setelah sekitar 1 kilometer menuyusi Bangla
Street, sampailah kami di Patong Beach. Di sini sebagian pengunjungnya adalah
kaum LGBT, dan ada lokasi di pantai di mana rainbow
flag berkibar, tanda di sini gay-friendly
atau mungkin khusus gay. Aku sih tidak begitu mempedulikan hal seperti itu
karena Phuket memang salah satu Mekkah-nya gay di Asia.
|
Sunset di Patong, Phuket |
Karena aku
suka banget dengan sunset, pernah
suatu sore aku ajak Indra dan Rudi untuk ke pantai melihat sunset. Entah kenapa Rudy sakit gigi, jadi hanya aku dan Indra yang
ke pantai. Kami nggak habis pikir juga Rudy jauh-jauh ke Phuket hanya untuk sakit
gigi. I mean, come on! Kan bisa
ditunda sampai minggu depan, let’s say.
Anyway, sampai di pantai, aku langsung melepas satu
persatu pakaian yang menempel di tubuh hingga hanya menyisakan celana dalam. Mungkin
aku adalah penggemar laut paling maniak kedua setelah penghuni Bikini Bottom jadi langsung saja aku
menceburkan diri, bermain ombak, dan badanku basah air laut. Sedangkan Indra
duduk di pinggir pantai seperti Elizabeth Swan yang meratapi kekasihnya yang
bernama Will Turner di serial film Pirates
of the Carribean karena Will tega hanya mencium bibirnya saja padahal
mereka baru akan bertemu seratus tahun lagi sampai-sampai dia berpikir apa
mungkin Will seorang gay.
Di tengah
asiknya aku bermain ombak dan mencoba berenang (sayangnya pada waktu itu aku
belum bisa berenang), tiba-tiba ada bule Perancis mendekat dan menyapaku. Aku
lupa siapa nama bule plontos itu. Kami mulai mengobrol ngalor-ngidul, menceritakan perjalanan masing-masing dan kenapa aku
ada di pantai sore itu. Entah mungkin ombaknya terlalu kencang atau gimana jadi
seringkali aku menelan air laut (sempat khawatir organ dalamku bakal jadi
asinan) karena badanku tidak bisa mengapung. Bule plontos ini reflek memegangku
agar aku tidak pingsan atau mati sia-sia karena over dosis air asin. Dia bilang dia bisa mengajariku berenang. Okay, aku terima tawarannya.
Aku mencoba
memposisikan tubuhku dan dia memegang perutku. Percuma saja, karena ombaknya
juga lumayan besar dan badan ini seperti jangkar, mustahil untuk mengapung.
Kami akhirnya mengobrol panjang lebar sambil menunggu sunset, dan kami semakin dekat. Entah terbawa suasana atau
bagaimana, kami pun semakin dekat sambil dia membisikkan sesuatu dalam bahasa
Perancis di telingaku. Kami pun semakin dekat dan intim, sampai akhirnya aku
mengakhiri “sesi belajar berenang menjelang matahari terbenam” itu karena nggak
enak juga ada temanku di sana, meskipun aku tahu Indra juga nggak bakalan
peduli.
Aku meminta
bule plontos ini mengambil gambar kami berlatarbelakang sunset dan aku sangat menyukainya. Fotonya, maksudku. Bule itu
mengajak kami berdua ke tempat dia menginap. Tak jauh dari situ, hanya 200
meter saja kami sampai di depan Royal Paradise tempat ia menginap. Dia bilang
di sini tempatnya nyaman dan harganya murah cuma 1,200 bath saja per malam. Pasti
dia bakalan terguncang mentalnya kalau aku bilang bahwa kami menginap di guesthouse seharga 60 bath per malam.
Kami pun berpisah dan kembali ke penginapan.
Paradise adalah sebuah kawasan hotel yang terdiri dari 25 atau 30 lantai
(setinggi Aston Banua di Banjarmasin) dan di lantai paling atas ada restaurant dan sky lounge yang menawarkan pemandangan Phuket. Di sekitar area Paradise
inilah tempat Phuket Pride berlangsung. Banyak pertunjukan mulai dance sampai dengan kabaret di sini. Di
sini semuanya adalah kaum LGBT. Kalau cerita di Alkitab masih berlaku, mungkin di
sini adalah salah satu tempat pertama yang akan diluluhlantakkan dengan meteor.
Kami sangat menikmati malam-malam di kawasan Paradise Complex ini. Lebih
tepatnya, aku dan Indra karena Rudy tidak mau ikut.
Di sini
juga banyak fasilitas seperti sauna
dan gay massage. Pernah Rudy dan
Indra mencoba gay massage di sini dan
Indra memutuskan untuk menutup mulut rapat-rapat ketika aku tanya apa yang terjadi
saat mereka massage. Menyebalkan
sekali.
Keesokan harinya
Indra dan Rudy pergi untuk tour. Aku tidak iku dengan alasan aku mulai
kehabisan uang. Sorenya pas kami ke travel agent untuk booking tur, ibu-ibu di sana sempat menggodaku. Mungkin karena aku
terlihat lebih gosong karena pantai dibanding yang lain (Rudy putih Chinese dan
wajahnya lemah lembut, sedangkan Indra bohai yang berarti adalah saingan si ibu
travel agent itu sendiri) dan aku pake celana jeans pendek dan singlet Starbucks
jadi ibu-ibu itu beranggapan aku adalah sasaran paling masuk akal untuk
digodai.
“You don’t come along with them tomorrow?” dengan logat Thailand yang susah
ditirukan, ibu ini bertanya padaku dengan genit stadium 4.
“No, I don’t,” jawabku santai.
“If you don’t have any program, come here, I
have programs for you tomorrow,” ibu ini ternyata genitnya maksimal.
“I see,” jawabku singkat. Aku sengaja nggak bilang ke
ibu itu karena aku nggak mau bikin dia kecewa dan merusak ekspresi (dan mungkin
imajinasi) genitnya saat itu.
Mereka
berdua bangun pagi sekali karena bus sudah menunggu jam 7 pagi di depan guesthouse. Tour berlangsung hari dan selesai
pada jam 2 siang. Karena bosan, aku memainkan hapeku dan membuka aplikasi “jejaring
sosial kaum Adam”. Dan langsung saja, banyak sekali pilihan. Ada yang ngajakin jalan ke Kata
rame-rame (aku menolak karena harus menginap dan besok aku harus meninggalkan
Phuket), ada yang sekedar kenalan sampai akhirnya seorang hotelier menyapaku
dan kami bertukar foto.
“Okay, I’ll be waiting,” adalah pesan terakhir yang aku
kirimkan pagi itu.
Kurang dari
15 menit dia pun datang. Mungkin karena dia bekerja di hotel jadi dia sangat
menarik dan rapi dan …ya…di Thailand, sayang banget kan. I mean, nothing to lose, come on! Jesus Chirst!
Tidak
terjadi hal-hal yang terlalu jauh, hanya sedikit bersenang-senang, mulai tempat
tidur, kamar mandi sampai di dekat pintu menuju balkoni. Kami tidak peduli
orang di luar sana melihat kami, bahkan
kalaupun bule di guesthouse depan itu
melihatnya. I mean, bahkan dua hari sebelumnya dia memamerkan “dede”nya entah
dengan maksud apa. We’re just having fun
and explored each other’s side dan kami benar-benar menikmatinya. Sesi “upclose and personal” berlangsung
sekitar 40 menit. Aku melanjutkan tidur sampai Indra dan Rudy kembali dari tour.
Dan seakan tidak ada yang terjadi. Perfect!
Overall, liburan kami bertiga sangat berkesan dan penuh
dengan drama. Mulai awal berangkat, terjebak demo dan berjalan dua mil sambil
kehujanan di tengah malam, sampai ketinggalan bus di Hatyai saat kembali ke
Batam dan harus menginap di Indra Hotel yang ternyata hotelnya sangat
menyedihkan. Anyway, this is one of the
moments I will never forget in my life.
Ini bagian akhir. Terima kasih telah membaca.