Click. Click.
Aku menekan “shut down”
di monitor dan bergegas pulang. Senang banget kalau Ramadan seperti ini karena
jam kerja berkurang satu jam, yang biasanya pulang jam 5 sekarang menjadi jam 4
sore.
“Pulang pulang!” aku membaca pesan Whatsapp dari Vicky.
“Ni lg beres2 mau balik” jawabku singkat, tak lupa dengan ikon
sepeda motor di akhir pesan dan melanjutkan “how’s
ur day, buddy?”
“A mess! I hate
Ramadan. Gak produktif” begitulah Vicky. Dia kadang sangat kontroversial
dan ektrim. Sebenarnya aku mau benanyakan “why?”
tapi kulihat ada tulisan “typing…”
Oh, dia pasti sangat kesal.
“masa td ksana jam10 aja udh gk ada. Okay lah maybe meeting or smthing. But still, jam stgh 2 udh bubar jalan.
Sepi itu kntor. Gila aja kyknya sbulan ini gak krja gt deh,” balasnya
Maksud dia adalah kantor pemerintahan. Bisa dimaklumi Vicky
bekerja sebagai sales executive di
salah satu hotel di sini dan dia in
charge untuk segmen government.
“Emg gk bsa ditelpon, buddy?”
aku membalas. “Buddy” adalah versi
lain dari “sayang” di antara kami. Lucu sekali sebenarnya, namun, semenjak aku
kenal dia di acara D&D perusahaan tahun lalu, rasanya kami seperti sudah
puluhan tahun berhubungan.
“Gk dtlpon pun hrusnya ada donk. I mean, staff mreka aja bilng sudh pulang. Sklian safari Ramadan
lah apalah. Males bgt. Wajar sih. I mean,
gk bulan puasa aja kdg pulang cepet, aplg Ramadan gni. Susah deh klo Ramadan dijadiin
excuse.” Balasnya panjang lebar.
“Sabar ya J”
aku coba menghibur.
Tapi memang ada benarnya kata Vicky. Ramadan seringkali
dijadikan excuse oleh beberapa
pegawai di instansi. Maksudku, gimana nggak, bahkan hari biasa aja mereka
kadang pulang lebih cepat, apalagi bulan puasa kayak gini. Pasti lah. Ironis
memang.
Aku melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 4.15. Masih
cukup untuk mempersiapkan buka puasa di rumah. Maksudku, beli takjil dan kroni-kroninya,
tentunya, karena entah bagaimana deretan makanan yang dijajakan sepanjang jalan
menjelang maghrib itu sangat menggoda dan seringkali memenuhi pikiran selama
berpuasa. Kolak pisang, bubur kacang merah, kacang hijau, es cendol, sup buah,
jajanan pasar, cake, es pisang ijo, kurma—dan masih banyak lagi—akan ludes
dalam waktu 2 jam menjelang maghrib. Bagaimana Ramadan menjadi peluang bisnis
musiman yang sangat menjanjikan karena tingkat konsumerisme masyarakat meroket,
seakan beruang yang baru selesai hiberasi dan mendapati rombongan salmon
melompat-lompat indah di sungai ketika mereka bangun. Kadang aku menyayangkan
bagaimana Ramadan menjadi seperti festival kuliner dan diskon besar-besaran selama
sebulan, bukan lagi pada esensi puasa itu sendiri. Tapi, bukannya perayaan
keagamaan sekarang seperti itu?
Anyway, aku
bekerja di salah satu perusahaan di bidang engineering
di Batam, sebuah pulau yang hanya berjarak 20 mil saja dari Singapore namun
memiliki perbedaan 20 tahun kebelakang secara infrastruktur, sosial dan
ekonomi. Mungkin sedikit membingungkan, tapi sedikit bocoran aja bahwa tempatku
bekerja ini memproduksi integrated
circuit untuk industry otomotif.
Aku keluar kantor dan langsung menuju area parkir motor. Ternyata
mendung menggantung sore ini di atas Batam, seakan siap menumpahkan segala
isinya dalam beberapa saat. Aku bergegas menghampiri Scoopy putihku berhiaskan bendera Jepang saat Perang Dunia II di
kedua sisinya. Itu semua ulah adikku. Di tambah lagi stiker bergambar seperti
keong di kedua spion yang ternyata adalah lambang Naruto. Dan keong-keong itu tumpah ruah di helm bersama dengan
stiker Hello Kitty—demi Tuhan!
Ngomong-ngomong, di mana helmku? Aku mencari dan bertanya
kepada karyawan lainnya yang berada di sana. Karena tidak membuahkan hasil, aku
menuju pos security karena pasti di
sana ada CCTV kan? Namun ternyata yang kudapat adalah jawaban “tidak tahu”.
Mungkin karena mereka terlalu sibuk dengan The
Voice di YouTube. Sialan.
Percuma saja tidak ada hasil, aku memutuskan untuk pulang
saja meskipun tanpa helm. Asal tahu saja, tempat kerjaku berada di komplek industri
dan pastinya, sekeluar dari gerbang komplek adalah jalan raya yang setiap sore
ada polantas stand by untuk mengatur
lalu-lintas selama jam sibuk. Aku menghindari keramaian yang—sesuai tebakanku—ternyata
adalah para “warga yang malang” karena kena jaring razia polisi. Mungkin aku
beruntung kali ini karena aku berhasil lolos dengan berputar melalui jalan
perumahan.
Aku sebel banget dengan siapapun yang mengambil helmku.
Bagaimana hanya karena helm saja bisa sangat merepotkan, justru karena kita
tidak menggunakannya. Yang harusnya aku bisa melenggang dengan santai sekarang
harus berputar jauh karena tidak ada helm—dan tidak jadi beli takjil,
menyebalkan sekali. Bagaimana jika tiba-tiba—at worst scenario—mengalami hal-hal buruk dengan kepala selama
berkendara karena tidak memakai helm? Maksudku, bukan karena helmnya, namun
lebih kepada akibat dari perbuatan mereka mencuri itu.
Ini aja baru sebuah
helm. Bagaimana dengan para koruptor yang mencuri miliaran uang negara yang
harusnya bisa digunakan untuk membangun jembatan yang rusak, fasilitas
kesehatan, pendidikan atau untuk pembangunan lainnya, karena tindakan mereka masa
depan banyak orang yang menjadi korban. Atau, bagaimana mencuri hak hidup
seseorang—katakanlah, menghilangkan nyawa—sama halnya dengan mengorbankan masa
depan bagi seorang anak, atau seorang ibu, atau seorang ayah, dan harapan
keluarga yang terenggut karena tindakan “mencuri”. I mean, belajar dari hilangnya helm Hello Kitty-ku, bukan tindakan apa yang kita lakukan kepada orang
lain, namun, apa akibat dari tindakan tersebut untuk orang lain. Itu yang
penting.
Aku tiba di rumah dalam kondisi basah kuyup. Ketika aku
masuk ruang tamu, ada Vicky duduk menonton TV dengan adikku.
“Sudah pulang, Dika? Ini ada Vicky tadi bawain soup buah
buat buka puasa.” Tiba-tiba ibuku sudah mentereng aja di depanku dengan
hebohnya. “Kamu basah kuyup gini, cepetan ganti baju, terus buka puasa. Itu Vicky
udah nungguin.” Sambungnya sambil melihat Vicky dan tersenyum, kemudian meminta
adikku ikut dengannya menghambur ke dapur. Dasar
ibu-ibu.
“So, how’s your day?”
nggak peduli basah kuyup, aku menghampiri Vicky di sofa.
“Better now…you?”
tanyanya balik.
“Never better,”
aku meraih tangannya dan tersenyum.