Cerita Dari Londa, Toraja

 

Tau-tau, Londa, toraja, patung manusia
Deretan tau-tau di bagian luar Londa, Toraja


Salah satu tempat yang wajib dikunjungi saat di Toraja adalah Londa, sebuah pemakaman Toraja yang berada di dalam gua. Beruntung ada kesempatan untuk berkunjung ke sana. Ada apa saja di tempat peristirahatan terakhir khas Toraja ini?


How to get there?

Makale dan Rantepao berjarak kurang lebih 8 jam perjalanan bus dari Makassar. Londa berada di perbatasan Makale dan Rantepao. Kalau dari Rantépao berjarak sekitar 20 menit, arah ke Makale, dan bisa ditempuh dengan naik angkutan umum. Nanti bilang saja turun di Londa, pasti supirnya paham.

Setelah turun dari angkot, mesti berjalan lagi sekitar satu kilometer. Jalan masuk dari jalan besar menuju lokasi tidak terlalu lebar tapi beraspal dan masih bisa untuk lewat kendaraan roda empat dan bus pariwisata. Dan sepi. Kebetulan pas sampai sana cuaca sedang mendung.


Tau-tau yang baru selesai dibuat


Sebenarnya berjalan satu kilometer itu biasa saja, apalagi kalau sedang traveling biasa jalan sampai 3-4 kilometer, sekalian menikmati pemandangan dan melihat-lihat aktivitas sosial di sebuah daerah. Tapi beda untuk satu kilometer yang satu ini. Entah karena kecapekan atau apa, jalan ke sana terasa sedikit seram. Apalagi jalan sendiri dan kiri kanan dominan pohon-pohon yang rimbun. Memang ada beberapa rumah, dan sesekali ada kendaraan wisatawan lewat, tapi tetap saja seram.


Yang paling mengejutkan adalah di tengah perjalanan, di sebuah simpangan tiba-tiba ada kakek-kakek tua pakai baju adat Toraja (tidak lengkap tapi tidak bisa dibilang baju kebanyakan juga, kayak baju orang tua jaman dulu) berjalan perlahan bertumpu tongkat. Tidak sengaja kedua mata kami bertatapan meskipun berjauhan, dan jujur sih, it's scary. I mean, entah beliau mungkin dari mana karena jarak rumah juga cukup jauh. Untung saja setelah itu ada sepeda motor lewat jadi sedikit lega.


Ada apa saja di Londa?

Akhirnya sampai juga di lokasi. Setelah bayar tiket masuk, ada beberapa yang menawarkan untuk menjadi pemandu. Banyak juga wisatawan mancanegara yang berkunjung. Ada yang memakai jasa pemandu, ada juga yang tidak. I recommend untuk hire pemandu karena mereka mengenal lokasi dan bisa memberikan informasi tentang pemakaman ini. Selain itu, pemandu juga dibekali senter (headlight). Apalagi jalan sendirian, tidak ada kawan kayak saya, tanpa pikir panjang langsung hire pemandu. Mungkin karena trauma saat berada di Kete Kesu, saat naik ke dalam gua dan sepanjang tangga banyak tengkorak manusia dan sangat tidak nyaman kalau berjalan sendiri dengan pemandangan seperti itu. Kami segera masuk ke kawasan pemakaman. Di sini hijau dan udara sejuk sekali. Setelah naik turun anak tangga, akhirnya sampai di depan gua.


Erong, Toraja, Londa, peti jenazah
Erong, peti jenazah khas Toraja, digantung di bagian depan gua Londa


Di depan gua bisa dilihat banyak sekali peti jenazah yang digantung, ditumpuk di bagian muka gua. Selain itu, ada semacam "balkoni" yang berisi patung-patung manusia. Peti-peti besar yang berbentuk rumah adat itu disebut "erong", sedangkan patung manusia itu disebut Tau-Tau. 


Semakin tinggi erong digantung, semakin tinggi pula status seseorang. Masyarakat Toraja percaya bahwa mereka hanya akan berganti kehidupan saja saat meninggal. Jadi, mereka akan membawa "beberapa" barang untuk dimasukkan ke dalam peti mati. Mungkin itu juga alasannya kenapa peti kaum bangsat digantung tinggi-tinggi, karena pasti mereka membawa banyak "bekal" yang dimasukkan ke dalam peti dan agar tidak dicuri.


Tau-tau adalah patung life-size yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan di Tana Toraja. Tau-tau dibuat dari kayu nangka. Alasan kenapa orang-orang memakai kayu tersebut adalah karena rayap tidak akan memakannya sehingga bertahan lama, juga, getah putihnya melambangkan status dan kebangsawan. Mereka dibuat dan dipakaikan baju yang colourful dan memandang ke bawah seakan mereka berada di balkon melihat ke bawah, ke rakyat mereka. Pas lihat ke atas balkon yang berisi tau-tau itu, perasaan kagum dan takut bercampur, terutama dengan tatapan mereka.


Toraja, Londa, gua, makam Toraja,
Salah satu sudut di dalam gua Londa, Toraja


Gua Londa memiliki panjang sekitar 700-1000 meter. Gua ini diperuntukkan untuk klan Tolengke dan sudah dipakai selama ratusan tahun. Kami berjalan ke dalam gua. Di dalam tentu saja gelap. Dan banyak sekali peti jenazah ditumpuk, dijejalkan ke dalam celah-celah gua. Tidak ada bau aneh-aneh meskipun kiri kanan kami penuh dengan jenazah orang meninggal. Ada banyak sekali rokok dan uang di sini. Dan pastinya, tengkorak dan tulang-belulang manusia.


Kami berhenti di sebuah tempat di mana ada dua  tengkorak, kata itu adalah peti pasangan muda (kekasih) yang saya-tidak-akan-mengatakan-secara-langsung karena terhalang restu orang tua. I was like "whaaaaaaat?" Kami lanjut menelusuri beberapa bagian gua. Sesekali harus ekstra hati-hati agar kepala tidak kepentok batu, dan tidak menyentuh sisa-sisa jenazah yang ada di sana. Ada juga peti yang masih baru, biasanya ditutupi kelambu. Dan itu yang bikin ngeri sebenarnya. I mean, lebih lega melihat tengkorak dan tulang-belulang daripada membayangkan jasad yang belum lama mati kan? Akhirnya kami berjalan kembali keluar gua. Jujur, saya juga tidak mau berlama-lama di dalam sana.


Sekembali dari dalam gua, ternyata ada beberapa orang sedang menyiapkan tau-tau untuk ditempatkan ke balkon. Cukup lama saya berdiam di sana, menikmati sejuknya udara dan menyaksikan orang-orang mengerek patung itu sampai akhirnya duduk manis di balkon. Puas, akhirnya saya meninggalkan kawasan Londa. Sayang sekali tidak ada ojek menuju jalan besar, dan bayangan jalan sendiri sejauh satu kilometer terlintas dan bikin merinding. Sore itu berkesan sekali.




note:

Perjalanan dilakukan pada pertengahan 2018, foto-foto merupakan jepretan penulis.

Share:

Melihat Babi Di Pasar Bolu Rantepao Toraja

Babi, pasar, hewan, Toraja
Babi siap antar. Lokasi: Pasar Bolu Rantepao Toraja


Toraja adalah salah satu tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Daerah ini menawarkan banyak hal, mulai dari peninggalan nenek moyang, upacara adat / tradisional yang menjadi agenda wisata, rumah-rumah adat sampai dengan pasar yang berbeda dari daerah lain. I was so lucky to have a chance to visit the region. 


Berangkat dari Makassar hampir tengah malam, bus melaju dengan kecepatan sedang menuju ke utara melalui jalan berkelok-kelok. Sekitar pukul setengah delapan pagi bus turun di Rantepao, dekat sekali dengan pasar hewan. Sebenarnya tempat pertama yang saya kunjungi adalah Rumah Tongkonan, tapi saya mau cerita tentang Pasar Bolu dulu (next post I'll be writing about them all). 


Anyway, jadi siang itu setelah puas melihat rumah adat, saya lanjut ke pasar bolu. Sebelumnya telah browsing tentang pasar ini. Basically, Pasar Bolu Rantepao ini adalah pasar hewan di mana kita bisa melihat banyak sekali kerbau untuk diperjualbelikan. Harganya jangan tanya. Mahal. Dan sepertinya, kerbau menjadi hewan ternak yang cukup umum di Toraja dan Sulawesi Selatan pada umumnya, karena saya pernah lihat kerbau saat mengunjungi Benteng Somba Opu. Jadi saat tiba di sana, tidak begitu kaget dengan pemandangan kerbau mulai dari warna lumpur sampai pink dengan corak hitam. Meskipun tidak seramai seperti yang pernah ditayangkan di televisi, namun pasar ini cukup riuh dengan hiruk-pikuk pengunjung. 



Babi, pasar, hewan, toraja
Potong rambut dulu, guys. 


Sampai akhirnya saya mendengar bunyi "ngok ngok" yang sedikit samar oleh bunyi kendaraan dan orang-orang. Dan ternyata, masih di kompleks pasar itu terdapat tempat penjualan babi. Banyak sekali orang yang menjual babi di sana. Jadi ada semacam petak-petak seperti umumnya di pasar tradisional, tapi dengan tembok setinggi lutut. Di dalamnya banyak babi yang "mager" menunggu pelanggan. 


Ada beberapa babi berwarna hitam yang diatur sedemikian rupa (lihat di gambar), dan penjual dengan rajin menggunting rambut di sekujur badan mereka. Saya bertanya kenapa babinya di-trimming rambutnya. Dan ternyata alasannya adalah agar pembeli mengetahui seberapa gemuk babi yang akan dibeli. Ini karena babi rambutnya bisa tumbuh lebat dan menimbulkan kesan "menang bulu aja" sehingga pembeli akan enggan membeli. 


Pandangan beralih ke babi yang berwarna pink. Jenis babi ini terlihat "gemoy" sekali karena warnanya yang pink cerah dan soft, serta badannya yang gemuk. Kebetulan saat melihat-lihat, ada pengunjung bapak-bapak yang membeli satu ekor babi dan dengan cekatannya babi tersebut diletakkan di jok motor untuk dibonceng ke rumah. Yang bikin kagum adalah bagaimana babi tersebut bisa dibonceng tanpa bikin motor oleng mengingat besarnya ukuran hewan itu. Saya cuma bisa melongo dan sesekali bilang "wow" saking takjubnya. I mean, it was my very first time to see all those things. 


Lombok, Toraja, cabe, katokkon
Cabe katokkon, cabe khas Toraja


Puas dengan perbabian, saya berjalan ke luar pasar melewati orang-orang yang menjajakan dagangan lainnya seperti makanan dan sayur-sayuran. Saya berhenti di tempat bapak-bapak menjajakan dagangan sayur seperti tomat. Ternyata itu adalah lombok katokkon, cabe khas Toraja. Cabe ini sangat pedas dan bapaknya dengan senang hati memberikan satu buah untuk dicoba. Tentu saja, saya tidak mau mencobanya lagi. Kurang tahu apakah cabe ini hanya ada di Toraja atau bisa didapatkan juga di kota-kota lainnya.


Pasar tradisional adalah salah satu tempat yang harus dikunjungi apabila ingin mengetahui aktivitas warga lokal. Mulai dari kegiatan niaga sampai dengan komoditas (hasil bumi, kerajinan, makanan, hewan, dll) semua bisa dilihat di pasar tradisional. Dan Pasar Bolu Rantepao adalah pasar tradisional terunik yang pernah saya kunjungi. Hope I could go there again someday. 


Share:

Sehari Di Karangasem

Pura, Lempuyang, Gates of Heaven, Bali
Salah satu sisi area Pura Lempuyang


It's just undeniable kalau Bali punya hampir segalanya dan seakan tidak pernah habis untuk dijelajahi. Kali ini saya mau share tentang jelajah sehari di Karangasem, sebuah region yang berada di timur Pulau Dewata. Ada tiga tempat yang dikunjungi, yakni Pura Lempuyang, Taman Tirta Gangga dan Pura Goa Lawah. 


Pura Lempuyang

Berangkat dari Seminyak dan harus sabar dengan kemacetan, berhenti sejenak jemput kawan di Sanur, dan setelah sekitar 3 jam lebih perjalanan, akhirnya sampai juga di tujuan pertama (dan terjauh), yakni Pura Lempuyang. 


Pura ini sangat terkenal karena banyaknya pengunjung yang post foto-foto dengan pemandangan belakang sepasang gapura Bali dan Gunung Agung di kejauhan. Pura ini juga dikenal dengan Gates of Heaven atau Gerbang Surga, mengacu pada salah satu gerbang dengan banyak anak tangga seakan menuju surga. Tapi yang paling terkenal adalah foto dengan latar belakang Gunung Agung. Meskipun ternyata memang efek bayangan air di foto-foto itu hanya edit / trik belaka, tapi itu tidak menyurutkan orang untuk mengunjungi tempat ini. Demi foto bagus, setidaknya.


Pura, Lempuyang, Gates of Heaven, Bali
Pura Lempuyang, Bali


Hari itu ramai sekali pengunjung, bahkan pak sopir kesulitan menemukan tempat parkir. Setelah tiba, kami langsung menuju loket untuk beli tiket masuk. Seperti tempat-tempat suci lainnya di Bali, setiap pengunjung harus pakai kain buat penutup. Kawan dapat kain motif Bali, and I got this colourful one, motif pelangi. FYI, please jangan sampai kain penutupnya dilepas ya, apalagi dikibar-kibarin. Selain itu, untuk wanita yang sedang datang bulan tidak diperkenankan masuk. Aturan-aturan ini sepertinya berlaku di banyak tempat di Bali terutama kawasan pura. 


Kami berjalan beberapa menit untuk sampai di kawasan utama di mana setidaknya seratus orang mengantre untuk berfoto. Mereka berdiri, berbaris di sebuah gazebo yang terletak di sisi kiri gapura. Entah mereka sudah di sana sejak kapan, tapi yang pasti butuh waktu yang lama kalau ingin berfoto seperti yang di Instagram itu. Kami cuma melihat-lihat juru kamera memberi arahan sambil pencet-pencet tombol dan rupanya ada cermin di lensa kameranya dan itu yang memberikan efek bayangan sempurna di foto. Hari itu cukup cerah dan Gunung Agung terlihat puncaknya. Apakah kami memutiy untuk mengantre? Tentu saja tidak! Kami hanya foto-foto di deretan Gates of Heaven (karena kebetulan Pintu Surga sedang ditutup) dan ngobrol dengan para pengunjung yang tidak berfoto. 


Pura Lempuyang ini adalah salah satu pura agung di Bali. Pura ini dibangun sekitar abad kedelapan. Dari namanya, pura ini berarti Sinar Tuhan (lempu: sinar; Hyang: Tuhan). Menarik karena lokasi pura ini ada di sebelah timur, arah dari mana matahari terbit. 


Taman Tirta Gangga


Tirta Gangga, Bali, taman air
Taman Tirta Gangga, Bali


Setelah puas di sini, kami menuju tempat berikutnya: Taman Tirta Gangga. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit dari Pura Lempuyang. Tidak ada aturan memakai kain penutup / selendang untuk memasuki kawasan ini. 


Taman Tirta Gangga ini dulunya adalah taman air milik Kerajaan Karangasem. Namun sekarang dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Yang paling terkenal dari tempat ini adalah kolam dengan beberapa pijakan batu di mana pengunjung bisa berfoto sambil memberi makan ikan di sana. It looked so cool on Instagram posts. Dan memang iya. Hanya saja orang harus bersabar untuk antre di spot itu, dan pastinya dengan banyak "cameo" karena banyak sekali pengunjung. Selain itu, pengunjung bisa memberi makan ikan di kolam sebalahnya. Hanya sebentar saja waktu yang kami habiskan di sini dan langsung lanjut ke tempat berikutnya.


Pura Goa Lawah

Tujuan ketiga adalah Pura Goa Lawah. Pura ini menarik karena dibangun di kawasan gua, di mana ribuan kelelawar bersarang di dalamnya. Nama gua ini berdasarkan hewan tersebut yakni "lawah" yang berarti kelelawar dalam bahasa Bali. Selain itu, pura ini terletak dekat laut, tepat di seberang pura ini kita bisa melihat laut dan jika cuaca cerah bisa lihat juga pulau Nusa Penida di kejauhan. 


Kami beruntung karena saat berkunjung bertepatan dengan upacara sembahyang. Kami menyaksikan prosesi sembahyang umat Hindu Bali dari awal. Orang-orang berdatangan dengan baju Bali dan sesaji di tangan / di kepala mereka. Setelah itu mereka mempersiapkan sesaji dan menatanya di area sembahyang yang berada di depan gua. Setelah semua siap, sang pendeta memimpin sembahyang. Terasa hening sekali saat sembahyang berlangsung. Terakhir, pendeta memberikan air yang sudah diberikan doa untuk di-splash-kan ke kepala jemaat. Terakhir mereka membereskan tempat sembahyang namun meninggalkan sesaji di sana. 


Pura, Goa Lawah, Bali, sembahyang Hindu
Masyarakat tiba di Pura Goa Lawah untuk sembahyang


Dibandingkan dua tempat sebelumya, Pura Goa Lawah sepi pengunjung. Hanya ada kami berdua dan sepasang wisatawan asing yang beekuy. Namun, justru itulah yang lebih memberikan kesan. Tidak hanya foto-foto namun juga bisa melihat lebih dekat dengan budaya lokal. 


Seperti pura-pura kebanyakan, pengunjung diwajibkan memakai kain penutup sebelum masuk area pura. Selain itu, wanita yang sedang haid tidak boleh memasuki pura. Dan ada beberapa area di dalam pura yang tidak boleh dimasuki untuk menjaga kesucian.


Oh iya, topografi di timur Bali ini naik turun dengan jalan berkelok-kelok. Kami sesekali berhenti melihat pemandangan tegalan dan sawah dari pinggir jalan. Bagus sekali. Hijau dan berpola, tidak jauh berbeda sih dengan pemandangan di Jawa. Sebenarnya ada satu lagi tempat untuk dikunjungi. Namun kami sudah sangat lelah sekaligus bahagia dengan ketiga tempat yang kami kunjungi dalam sehari.


Overall, it was such a good day well-spent in Karangasem. 



*Disclaimer: trip ini dilakukan sebelum pandemi COVID-19


Share: