Bermula dari saling pandang antara ayah dan ibuku dan
berujung dengan percampuran cairan genital
(entah secara sadar atau karena khilaf), kedua sel itu berevolusi dengan cepat
menjadi homo sapiens bernama Rangga.
Tidak begitu kuingat bagaimana fase awal kehidupanku. Hanya
beberapa kenangan, seperti bagaimana kami – aku dan teman-temanku – selalu
menirukan apapun yang kami tonton di televisi saat itu. Mulai dari kita
menghias kaca depan dan samping rumah dengan tanaman menjalar dan bunga-bunga
yang ada untuk ritual berhala seperti
yang ada di serial Siluman Ular Putih,
bagaimana kami bermain Power Rangers
yang beranggotakan sampai sepuluh orang dan kami berebut warna karena
kenyataannya Power Rangers cuma ada lima dan tak seorangpun mau menjadi Alpha, sampai percaya bahwa Bona dan Rongrong adalah nyata dan rajawali
bisa bicara meskipun disertai keheranan bagaimana mungkin murid bisa pacaran
sama guru ceweknya.
Banyak sekali hal-hal
konyol lainnya yang ada di pikiranku. Dulu aku yakin sekali kalau tahu yang
dimasak setiap harinya dipetik dari pohon, dan semangka menggantung seperti
jambu. Beberapa takhayul juga sangat dipegang teguh, seperti jumlah benjolan
yang ada di pergelangan tangan bagian dalam adalah banyaknya anakmu kelak, ketika
kuku dipendam di tanah maka setelah tiga hari akan berubah menjadi uang Rp50
dan akan menjadi Rp500 kalau itu berupa sekaleng penuh kelereng. Namun sayang sekali
karena tidak sesuai dengan yang kami bayangkan, kami terus memaksakan harapan
bodoh itu dengan memperpanjang waktu dari tiga hari menjadi seminggu, sebulan
bahkan setahun. Untungnya kami cepat melupakan hal itu.
Beberapa hal yang kurang mengenakkan juga terjadi, seperti
bagaimana aku selalu dibanding-bandingkan dengan saudaraku. Kenapa aku tidak
setangkas, sepintar, serapi, tidak ceroboh atau se-lebih-baik dari apa yang
saudaraku lakukan, di samping fakta bahwa aku tidak seperti anak laki-laki
lainnya yang bisa main sepak bola dan olahraga lain. Kadang itu hanya berupa
ucapan dari orangtua, atau sekedar ejekan dari teman-teman kakakku dan kakakku atau
juga dari teman-teman ketika aku masih sekolah dasar. Untungnya aku terbiasa
dengan hal itu dan diam adalah satu-satunya cara yang kuanggap tepat karena aku
bakal bete seharian kalau aku meladeni hal-hal begituan yang berujung dengan
aku menangis sendirian.
Fase selanjutnya adalah saat usiaku beranjak sebelas tahun, dunia
putih merah berubah menjadi putih biru dan aku lebih percaya diri dan terbuka.
Mungkin karena tempat dan teman-teman baru. Namun, perlakuan tidak mengenakkan
juga kualami di tahun pertama dunia baruku. Bagaimana siswa-siswa satu kelas
menjadikanku bulan-bulanan karena mereka menganggapku … I dunno what to say…berbeda? Atau apapun. Di samping mereka kesal
karena aku berteman dengan para kakak kelas. Aku sudah mulai memasuki fase “aku tidak mau ambil pusing” dengan sikap-sikap
seperti itu. Sempat kuingin sekali bilang karena mereka tidak mau berteman
denganku makanya aku berteman dengan senior karena mereka mau berteman denganku
(sederhana, kan?), tapi kuurungkan dan terus melanjutkan rutinitas sehari-hari
dan semuanya berakhir setelah satu tahun.
Masa putih biru pun berubah menjadi putih abu-abu di mana
aku menjad pribadi yang lebih terbuka dan lebih berekspresi. Aku mengenal dunia
seni melalui teater dan dunia hitam putih melalui kelompok debat. Mungkin dunia
teater sangat berperan penting dalam membentuk karakterku yang lebih ekspresif
dan tidak ada tedeng aling-aling. Sedangkan dunia debat mengajarkanku bagaimana
menjadi konsisten dan menerima rasionalitas dan berelaborasi berargumen. Bahkan
nantinya hal itulah yang menjadikanku selalu bertanya-tanya tentang berbagai
hal dan membuatku tahu lebih banyak tentang lingkungan, kehidupan bahkan yang
lebih luas, semesta tempatku hidup. Masa-masa ini juga adalah masa ketika aku
memasuki apa yang orang anggap “abu-abu”. Terlepas dari debat yang black & white, aku mulai menelusuri
dunia “abu-abu” yang penuh tanya dan kontroversi. Aku mengenal cinta untuk
pertama kalinya dengan teman sekelasku, dari situlah aku memulai kehidupan “abu-abu”.
Hari berganti minggu, kemudian menjadi bulan dan tahun dan
seketika itu dunia remaja yang dielu-elukan berakhir. Namun, seragam putih
abu-abu yang pernah kupakai selama tiga tahun tidaklah luntur dari kehidupanku.
Sampai suatu hari aku memutuskan untuk coming
out of the closet. Hal itu kulakukan karena ingin membiasakan lingkungan
sekitarku (setidaknya teman-teman kuliah) untuk melihat kenyataan dan mulai
menerima. Menurutku, entah itu discreet
atau coming out, tujuannya sama yakni
melindungi diri karena itu insting paling mendasar semua makhluk di planet ini.
Hal yang paling penting adalah ketika aku menjadi atheist
meskipun hanya cuma beberapa bulan. Sungguh kebetulan karena aku menjadi
atheist ketika sedang menonton iklan obat kumur saat bulan Ramadan. Aku paham
semakin chic dan “ngena” kalimat iklan, semakin diingat dan dikenal iklan itu dan
berpengaruh terhadap tingkat kesadaran masyarakat dan berujung dengan angka.
Jadi iklan itu berkelakar bahwa tidak semua setan terkurung
saat bulan Ramadan. Mereka menggambarkan setan sebagai kuman yang
berkembangbiak di mulut. Dari situ aku mulai memahami bahwa segala sesuatu
berasal dari diri kita, kebaikan, keraguan, keburukan karena kita memiliki
kebebasan yang menjadi hak paling asasi ketika kita lahir ke dunia ini. Aku
mulai skeptis dengan paham ketuhanan, apalagi dengan paham setan malaikat dan
kehidupan setelah mati. Pada akhirnya, meskipun masih skeptic, aku percaya
adanya Tuhan karena mungkin hanya pemikiranku saja yang tidak mampu menjangkau
konsep itu. Aku melepaskan label agama dari dalam diriku dan menjalani hidup
tanpa beban “kemungkinan kehidupan yang dijanjikan setelah mati”. Setidaknya
aku masih percaya Tuhan. Maksudku, biarlah Tuhan ada dalam ketiadaan atau tiada
dalam keberadaan-Nya. Menurutku, Dia tidak peduli, manusia saja yang seringkali
bikin ribut.
Hal penting lainnya adalah ketika aku jatuh cinta, patahhati, dan benar-benar memahami makna keihklasan. Selain itu, aku juga mengalami
momentum di mana aku berada diantara kematian. Ini terjadi ketika keponakanku
yang baru lahir harus dirawat dirumah sakit, dan aku menyaksikan kematian demi
kematian setiap hari selama seminggu berada di sana. Aku adalah orang yang
takut dengan kematian, sampai akhirnya dihadapkan dengan kematian itu sendiri,
yakni keponakanku. Aku benar-benar bersyukur karena bisa keluar dari “ketakutan
yang sangat menakutkan” itu. Maksudku, itu semacam terapi alergi, sedikit demi
sedikit yang pada akhirnya menjadi terbiasa. Dan itu melegakan! Thank God!
Aku mulai memasuki dunia kerja (dunia sesungguhnya) yang
tidak ramah dan tidak semanis apa yang selama ini dibayangkan. Untungnya aku
tidak banyak membayangkan jadi aku melihatnya dengan realistis, menjalaninya
dan menikmatinya. Aku mulai mengunjungi banyak tempat baru, berinteraksi dengan
orang-orang baru, dan mencoba hal-hal baru lainnya. Aku mencoba meresapi setiap
langkah kaki, setiap pixel obyek yang kulihat, dan setiap desibel suara yang kudengar.
Aku berencana untuk menjelajah sejauh yang aku bisa, melihat dunia, karena dari
situ aku yakin akan belajar banyak hal. Sampai suatu ketika aku kembali bertemu
keluargaku. Dari sinilah aku mengalami fase kehidupan selanjutnya, dan ini
penting.
Mungkin aku banyak belajar dari melihat dunia baru dan segala
tetek-bengeknya. Namun, keluarga mengajarkanku satu hal, yakni dedikasi. Mungkin
aku egois karena selama ini hanya berkutat dengan duniaku sendiri. Being single and happy. Lajang dan
bahagia. Yey!
Memang lajang tidak ada beban dan tanggungan, namun bahagia
juga bukan menjadi jaminan. Aku mulai memaknai “kebahagiaan diri” dengan
bagaimana sebenarnya dengan apa yang kukerjakan, materi yang didapat akan bisa
bermanfaat bagi orang-orang di dekatku, dan itu dimulai dari keluargaku. Instead of menyisihkan sebagian kecil
dan sisanya hanya untuk duniaku yang pasti tidak akan pernah puas, kenapa tidak
sepenuhnya memberikan manfaat yang lebih buat mereka? Mungkin memang tidak
banyak, namun akan lebih berarti, dan ini adalah bentuk terima kasihku kepada
mereka yang selama ini selalu mendukungku. Mungkin terlambat, namun aku telah
memulainya, dan aku bersyukur akan itu.
Biarlah segala ketidakcocokan yang ada tetap begitu adanya.
Ada saat di mana kita lah yang harus mengerti dengan segala hal yang terjadi,
bukan selalu membela diri dan bersikukuh dengan argument filosofis dan (terkadang)
ilmiah yang terdengar mutakhir. Mungkin kita bisa bersikap seperti itu, namun, jarang
sekali kita melihat bahwa mereka tidak mengalami apa yang pernah kita alami.
Karena di balik apapun tentang kehidupan kita, keluarga berjalan seperti
sediakala, dengan kesederhanaan akan harapan dan rutinitas kehidupan. Keluarga
akan selalu berawal dengan menjadi balita, masa sekolah, bekerja dan
berkeluarga. Dari situlah dituntut sikap bijak kita, yakni memahami dan embrace. Toh itu tidak berarti kita
melepas segala idealisme dan harapan personal yang telah kita bentuk.
Karena hidupku akan tetap menjadi hidupku, seperti halnya
kehidupan setiap makhluk di alam semesta ini. Aku hanya ingin hidupku seperti
tanah yang bermanfaat tak termakan jaman. Yang menjadi pijakan setiap zat yang
melewatinya, menumbuhkan harapan yang tertanam di dalamnya, menyerap panas
dingin manis pahitnya dunia, dan menguraikan kesedihan dari fana siklus kehidupan.