Sebagai salah satu dari setidaknya 200 juta orang Indonesia yang
secara administratif beragama Islam, pastinya Ramadan adalah salah satu hal
yang yang paling kunantikan setiap tahunnya. Mulai serunya bangun jam 3 pagi untuk
sahur, ngabuburit, melimpahnya menu berbuka, bagaimana menjadi religious itu begitu menyenangkan
meskipun euphoria itu hanya bertahan
tidak lebih dari seminggu saja ketika segalanya akhirnya terlihat hanya sebatas
festival kuliner sebulan dan diskon besar-besaran, sama seperti festive season lainnya. Namun yang tidak
habis pikir buatku adalah bagaimana sesuatu yang diluar dugaan bisa terjadi, terutama karena ini menyangkut hubunganku
dengan Tuhan, saat Ramadan pula.
Siang itu sama seperti hari-hari biasa—panas, berdebu—ditambah
harus menahan lapar dan dahaga. Aku tiduran sambil nonton TV. Killing time lah. Banyak sekali iklan
sirup dan biscuit sepanjang Ramadan, yang menurutku “Ramadan Banget!” Gak afdol dunia pertelevisian kalau belum ada
iklan-iklan itu, ditambah sinetron-sinetron yang “mendadak Syariah” dan
beberapa kisah orang-orang yang menjadi muslim yang—entah bagaimana caranya—terlihat
sangat meyakinkan, seperti pernyataan brand
ambassador iklan”ini adalah shampoo yang akan kugunakan selamanya karena
menjawab semua kebutuhan rambutku”. Sampai suatu ketika aku melihat iklan obat
kumur edisi Ramadan.
“Siapa bilang setan dibelenggu saat Ramadan?” suara mas-mas
terdengar bersama dengan ilustrasi kuman berbentuk setan yang menginvasi mulut,
dan berakhir dengan tampilan merk produk itu sendiri.
Mungkin itu terlihat
sepele dan sebatas strategi marketing yang—jujur saja—okay. Tapi, ternyata hati
dan pikiranku menuntunku jauh ke dalam, apa sebenarnya maksud dari iklan itu.
Menurutku, segala sesuatu yang kita lakukan adalah
tanggungjawab kita sendiri, atas dasar kesadaran manusia untuk mencerna, membuat
konsiderasi, keputusan dan tindakan. Paham pahala-surga dan dosa-neraka yang
diajarkan kepadaku selama ini sangat mengundang sekaligus intimidatif. Dan aku
sangat menyayangkan bagaimana sampai dengan sekarang belajar agama hanya
sebatas belajar alif-ba-ta dan doktrin-doktrin yang “tidak bisa ditembus”
dengan pertanyaan-pertanyaan awam sebagai manusia bebas.
Ketika tindakan dan akibat yang ditimbulkan adalah manifestasi
dari dalam diri manusia, hal itu bisa juga berlaku dengan paham-paham tentang
dunia setelah mati (after life).
Bagaimana akhirat adalah gambaran akan harapan manusia, karena pada dasarnya
manusia ingin terus hidup dan sempurna dan mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Dan bahkan dengan begitupun manusia masih tidak akan puas. People can’t get enough. Dan ketika
mereka bertemu dengan kematian, gambaran selanjutnya adalah kehidupan itu
sendiri, karena kehidupan adalah satu-satunya yang ada dalam diri, dan
(manusia) tidak siap dengan ketiadaan.
Di situ aku mulai less
attached dengan apa yang telah diajarkan selama ini. Tentang harapan surga
dari kebaikan yang kita lakukan, atau bayangan siksaan karena keburukan, itu
pun masih seputar after life…another life
we dream on.
Aku sadar bahwa salah satu esensi dari puasa adalah “menahan”. Tidak seperti yang sekarang terjadi, puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus
selama 14 jam, dan pada 3 jam terakhir kita disibukkan dengan berbelanja
menu-menu untuk berbuka yang bisa di luar ukuran sehari-hari ketika tidak
sedang berpuasa. Dari situ saja sebenarnya kita tidak bisa—menahan untuk menuruti keinginan gastronomis. Percaya
atau tidak, bahwa banyak sekali hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting
tapi bisa kita anggap penting hanya karena ini Ramadan. Yang paling gampang
adalah membeli baju –dan pelaku bisnis sangat memahami ini, sialan!—dan
barang-barang lainnya akan menjadi justifiable
karena Ramadan dijadikan excuse.
Ini menjadi 30 hari yang penuh dengan supply-(enforced)
demand.
Memang tidak semuanya, karena beberapa memaknai Ramadan
sebagai kontemplasi dan introspeksi. Memulai kebaikan dari diri sendiri, secara
sadar dan ikhlas. Bahwa kebaikan itu dilakukan agar mendapat reward dari Tuhan. Namun, aku juga
menyadari bahwa sebenarnya kebaikan dan keburukan itu pasti adanya meskipun tanpa
atribut-atribut religi. Bahwa “memberi pertolongan akan meringankan mereka yang
membutuhkan” akan tetap begitu adanya meskipun itu tidak dilakukan atas nama /
demi / untuk agama, Tuhan, atau dilakukan dengan tulus atau terpaksa. Dari sini
aku mulai meragukan Tuhan.
Mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang ketika aku baru
yakin akan takdir setelah sekilas mendengarkan percakapan di serial “Prison Break”. Ada beberapa hal yang
memang di luar kuasa kita, seperti halnya di film “About Time”, wajar manusia akan terus mencari dan tidak akan
pernah puas.
Sama halnya seperti alur semesta yang menuju ke kenegativan, aku
pun percaya akan hal itu. Karena itulah manusia menua dan membusuk, alam
semesta semakin menjauh seiring menurunnya gravitasi, dan keseimbangan akan
goyah. Aku percaya adanya kehancuran galaxy,
tempat peradaban manusia mengukir cerita demi cerita. Ketika semesta menuju
kehancuran, dan kehidupan menghilang, aku bertemu dengan kekosongan dan
ketiadaan.
Dan apa yang ada dalam ketiadaan itu?
Mungkin di situlah aku akan melihat Tuhan. Karena manusia
tidak bisa dengan ketiadaan dan kekosongan, atau aku akan membiarkan ketiadaan
dan kekosongan begitu saja.