Kota Senja Kaimana, Papua Barat

Selama dua tahun saya di Kaimana, tidak ada perubahan yang dramatis dari kota kecil ini. Berbeda dengan kota-kota lain di nusantara, Kaimana dari sisi geografis berada cukup jauh dari kota besar terdekat, seperti Sorong atau Manokwari. Namun kota kecil ini sangat kaya akan budaya dengan bercampurnya latar belakang dari berbagai daerah, masyarakat lokal Papua, Makassar, Manado, Minahasa, Ambon, Jawa, Madura, Nusa Tenggara, budaya Cina dan Arab, semuanya hidup berdampingan di sini. 

Tidak ada hal fancy atau berbau metropolitan di sini. All is basic. Namun karena saya memang suka dengan tempat baru, orang-orang baru, nggak ada masalah. Now I'm going to show you some basic places in town. 

Pertama kita ke pasar Otsus. Salah satu tempat di mana kita bisa mengetahui keseharian masyarakat setempat, dan membaur adalah pasar tradisional. Tempat berniaga ini terletak antara Bandara Utarom dan Kota. Pasar ini terbagi dua, yakni pasar ikan yang berada persis di sebelah laut serta pasar sayur di seberangnya. Di pasar ikan terdapat banyak sekali jenis hasil laut, mulai cakalang, grouper, mubara (giant trevally), cumi-cumi, kerang dan tentunya kepiting Papua yang sangat terkenal itu. Dan harga kepitingnya murah, 8.000 - 12.000 rupiah per ekor. Dan besar. Selain itu ada daging seperti daging rusa dan babi. Di Kaimana jarang sekali tersedia daging sapi, karena memang jarang sekali peternak sapi di sini, kalaupun ada juga tidak memelihara banyak.

Di pasar sayur terdapat banyak buah-buahan yang sebagian besar dipasok dari luar daerah, seperti Manado. Di sini kalau beli sayur bukan menggunakan satuan per kilogram tapi tumpuk. Misalnya tomat 1 tumpuk. Unik sekali. Yang paling membahagiakan adalah ketika musim durian. It's like heaven of durian here and the whole town. 


Selanjutnya adalah pelabuhan Kaimana yang terletak di pusat kota. Biasanya orang-orang menghabiskan waktu di sekitar pelabuhan. Ada tempat bernama Jembatan Jodoh yang menghadap pelabuhan. Sebenarnya ini lebih seperti dermaga or maybe patio di samping laut ketimbang jembatan. Whatever

Seperti nama belakangnya, orang-orang percaya bisa mendapatkan teman atau bahkan jodoh di sini haha. Biasanya orang menghabiskan sore hari di sini, sambil menunggu momen matahari terbenam. Bahkan Presiden Jokowi juga pernah bersenja ria di sini saat beliau berkunjung pada tahun 2019. It's one of my favourite places in town. 

Selain itu di sepanjang jalan Trikora (yang menurutku seperti little China town-nya Kaimana) pada malam hari banyak penjual menjajakan dagangannya di sini, mulai aksesoris sampai makanan. Oh iya, ada tempat sate enak sekali di sini, di dekat kantor bank. Menurutku itu adalah sate terenak di kota! :D


 

Share:

Kaimana: Sebuah Perkenalan

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran ketika mendengar Kaimana?


Yup. Benar sekali. Tidak tahu apa itu. 

Apakah itu kata benda? Atau nama tempat? Atau nama makanan? Atau nama aplikasi permainan?

Hahaha. 


Peta Papua Barat. Kaimana terletak di "dagu" dan "leher" dari "kepala burung" Pulau New Guinea. Sumber: www.batasnegeri.com 


Daripada bingung, let’s just get to the point. 

Kaimana adalah sebuah kabupaten yang terletak di tenggara provinsi Papua Barat, lebih tepatnya di bagian dagu burung (lihat peta). Kabupaten ini memiliki luas kurang lebih 18.500 kilometer persegi, lebih besar daripada provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayahnya terdiri daerah pesisir yang berbatasan dengan pegunungan di bagian inner daratannya, serta pulau-pulau kecil sepanjang pesisir. Wilayah ini memiliki jumlah penduduk sekitar 60,000 jiwa yang menyebar mulai bagian utara sampai bagian selatan yang berbatasan dengan Mimika.


Sebagian besar perekomian ditopang dari hasil laut. Karenanya di sini sumber daya laut berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, not to mention sebagian besar juga masyarakatnya adalah nelayan dan petani. Namun kegiatan jasa juga mulai berkembang di sini, seperti transportasi, keuangan, logistik dan akomodasi. 


Akses untuk menuju wilayah ini adalah dari laut dan udara. Dari laut bias menggunakan kapal Pelni, sedangkan akses udara ada penerbangan dari Sorong. Sekedar informasi saja Sorong adalah pintu gerbang Papua Barat. Dari Sorong, penerbangan bias dilanjutkan ke berbagai kota di Papua Barat dan Papua. Penerbangan dari sorong ditempuh dalam waktu satu jam. 



Dari penjelasan di atas sepertinya Kaimana itu terpencil dan tidak ada istimewanya sama sekali ya. 


Eits, jangan salah. Wilayah ini punya banyak sekali untuk dieksplor, dari daratan sampai lautan. Oh iya, Kaimana juga dijuluki sebagai Kota Senja. Pernah dengar lagu berjudul “Senja Di Kaimana”? Yup. Karena senja di kota kecil ini bagus sekali. 


Kalau senja pasti di mana-mana juga ada. 

Wait, nanti ada informasi tentang apa-apa saja yang unik dan worth it untuk dikunjungi di sini. Until then, enjoy the sunset photo in a small town Kaimana

Sunset view di Kampung Baru, Kaimana.

Share:

Si Pecundang dan Cinta

Iya. Sebutan apa lagi yang pantas diberikan kepada si Pecundang selain pecundang itu sendiri. Bukankah pecundang selalu menghindari apa yang seharusnya ia hadapi? Menghindari realita, menghindari tantangan, menghindari cita-cita? Ato ia bukannya menghindari, tapi berlari. Berlari secepat angin menyapu ombak di pantai. Berlari menjauhi realita, berlari menjauhi tantangan, bahkan berlari dari hal yang belum tentu terjadi. Berlari dari mimpi. Apa pun mimpi itu. Iya, ia berlari, seakan dengan itu ia bisa bebas. Tapi lihat saja apa si Pecundang akan merasakan kebebasan pada akhirnya, setidaknya, kelegaan.


Selama bertahun-tahun bernafas, banyak hal yang telah ia alami. Hasrat. Benci. Dendam. Menahan. Impian. Cita. Cinta. Semua orang memiliki hasrat dalam berbagai hal, dengan berbagai cara, tak terkecuali si Pecundang. Semua orang membenci hal-hal dengan cara mereka. Semua  orang dendam dengan hal-hal yang mereka anggap menyakitkan dan mereka menuntut keadilan. Perasaan-perasaan itu sudah inheren dan karenanya, manusiawi. Setiap orang menyikapi perasaan-perasaan itu dengan berbagai cara yang mereka bisa, tidak terkecuali si Pecundang. Ia menyikapi perasaan-perasaannya dengan caranya sendiri: berlari...menjauh...


Berkali-kali ia merasakan perasaan itu. Berkali-kali pula ia membiarkannya. Berkali-kali pula ia berlari darinya. Berkali-kali pula ia terkurung penyesalan karenanya. Cinta. Kata lima huruf yang oleh si Pecundang begitu bermakna dalam hidupnya. Ia bahagia mengenal cinta. Ia semakin bahagia ketika merasakan cinta. Ia tak berdaya menghadapi cinta. Sampai akhirnya, ia memilih berlari, menjauhi cinta.


Si Pecundang merasa kesulitan dalam mengutarakan cinta kepada orang yang ia cintai. Entah kenapa lidah menjadi kelu, seperti digodam palu, dan mulut menjadi bisu. Berkata "cinta" adalah hal tersulit. Seperti pembohong yang tak mampu berkelit. Ia membela ketidakberdayaannya dengan berkata bahwa verbalisasi cinta tidaklah sebanding dengan perasaan itu sendiri. Tapi, tidakkah ia melihat begitu berartinya perasaan itu sehingga verbalisasi menjadi sangat bermakna? Ia mencoba membela, lagi, dengan berkata bahwa justru karena itulah verbalisasi tidak sebanding, dan bersikeras dengan merasakan tanpa mengungkapkan. Ia berkata bahwa gestur lebih bermakna dari pada sekedar verbalisasi. Iya, karena ia menyangkal realita bahwa verbalisasi membuatnya terlihat konyol, karena verbalisasi membuatnya serasa terhimpit, gestur lah yang ia besar-besarkan. Tapi, apa itu cukup? Si Pecundang bilang, itu cukup.


Ia tidak memilih verbalisasi. Ia menghindari verbalisasi. Ia memilih gestur. Ia menyimpannya tanpa pernah mengutarakannya. Seperti cairan yang ia minum setiap harinya, ya, ia menyimpannya. Cairan-cairan itu membuatnya tidak kehausan, tetap hidup. Tapi, tidak tahukah ia bahwa pada satu titik cairan-cairan itu menjadi usang? Seperti besi dengan karatnya? Tidak tahukah ia bahwa cairan usang itu harus dikeluarkan pada akhirnya? Karena cairan-cairan itu malah akan meracuninya dan membuatnya tidak berdaya lagi. Namun, si Pencundang tetap menyimpannya. Ia menghindari semua itu. Namun, ia tidak bisa mengindari realita bahwa "kecukupan" yang ia banggakan berkurang dan terus berkurang. Kecukupannya menjadi ketidakcukupan. Tidak cukup.


Si Pecundang berkaca, dan melihat di depannya sesosok figur yang penuh dengan ... ketidakberdayaan. Ia menyadari bahwa ketidakcukupan mulai menghantuinya. Verbalisasi menghantuinya. Cairan-cairan itu telah meracuninya. Penolakan dengan berlari menjauhi realita yang ada berujung pada sebuah kontemplasi. Bukan itu sebenarnya alasan mendasar mengapa si Pecundang menghindari verbalisasi. Bukan karena verbalisasi tidak sebanding. Bukan gestur itu lebih bermakna dan itu sudah cukup. Bukan itu. Ia menjauhi verbalisasi karena sebenarnya, jauh di dalam dirinya, ia takut kesenangan karena cinta yang selama ini ia simpan berubah menjadi duka yang akan menghantuinya karena verbalisasi. Ia takut tersakiti. Karenanya ia menghindari verbalisasi. Ia takut ketika cairan-cairan itu tidak ada ia takkan lagi bertahan hidup. Ia takut kehilangan. Tapi, tidakkah ia tahu bahwa semakin lama ia menyimpan cairan-cairan itu, semakin ia teracuni, tak berdaya, dan mati karenanya?


Sekarang ia melihat, tidak ada kebebasan dalam dirinya. Bahkan, kelegaan terkecil pun tak tampak. Ia terjebak dalam kecukupannya. Semakin tak berdaya karena cairan usang yang sekarang meracuninya, yang disimpannya. Ia tetap berlari...menjauh...dengan kesenangan yang sekarang menyiksa... Sampai akhirnya ia mati....





Share: